8
Enam jam naik bus. Bus berhenti di sebuah terminal di Jawa tengah. Semarang, daerah yang baru pertama dikunjungi Sri. Dia tidak mengenal daerah ini, tidak punya saudara atau pun kenalan. Hanya modal nekad demi menyelamatkan dirinya, demi hidupnya dan buah hatinya.
Nadhira mulai tenang, saat berhenti di salah satu persinggahan untuk sholat dan makan siang, Sri sengaja menyuapkan bubur instan pada bayinya itu, agar perutnya kenyang.
Bentol-bentol merah di kulit Nadhira semakin membesar, dia bahkan menggaruk dengan tangan mungilnya.
Satu cara yang didapatkan Sri jika dia kembali rewel, menyusukan dia walaupun tidak ada ASI yang keluar dari sana.
"Mau ke mana, Mbak?" Seorang kenek mobil menghampiri Sri.
"Saya baru sampai, lagi nunggu saudara." Sri sengaja berbohong. Demi keamanan dari gangguan kenek yang menatapnya setengah genit itu.
"Oh, siapa?"
"Kakak saya," ketus Sri. Dia memutuskan untuk beranjak dari kursi besi yang sudah berkarat itu. Menggendong Nadhira yang masih menggaruk-garuk lengannya.
"Pertama, kita cari rumah dulu, ya nak!" Setelah itu, mama akan bawa kamu ke dokter. Sri mengecup kepala Nadhira.
Sri terus berjalan, menajamkan penglihatannya, dia butuh rumah untuk tinggal sementara. Tentu saja posisinya harus strategis, kalau memungkinkan dia akan merawat Nadhira sambil bekerja.
"Mmmm ... Mah ma." Nadhira berceloteh, Sri ternyum, sambil mencium pipi anaknya itu.
"Sabar ya sayang, mama tau kamu gerah, kamu butuh mandi, iya kan?"
"Mmm, mah ma." Celotehnya lagi. Hati Sri menghangat, dia mendekap Nadhira dengan kasih, seakan anaknya itu mulai memanggil dia dengan sebutan mama.
Mata Sri terpaku pada sebuah restoran cepat saji yang menempelkan pengumuman sedang mencari karyawan wanita. Tempatnya masih baru, bahkan bau cat masih tercium kental.
Sri mengetatkan menggendong Nadhira. Kemudian mendorong pintu kaca itu sambil menjulurkan kepalanya ke dalam.
"Permisi."
"Ya?" Seorang wanita muda menengok ke arahnya, dia tengah menata bunga-bunga di sudut restoran.
"Lagi nyari karyawan ya?"
"Iya, kenapa mbak?"
"Saya berminat."
Wanita muda itu melirik ke arah Nadhira yang asik menghisap jempolnya.
"Kerjaannya di bagian apa ya, kalau boleh tau."
"Bersih-bersih, Mbak. Cleaning service. Kalau Mbak berminat, masukkan lamarannya. Besok lusa semua yang mendaftar akan diseleksi. Tapi saya ragu, soalnya mbak punya bayi."
"Oh, mbak siapanya di sini?"
"Maksud Mbak?"
"Jabatan mbak apa di restoran ini?"
"Saya pelayannya."
"Bukan pemiliknya?"
"Bukan."
"Kalau gitu, mbak tidak punya hak memberi keputusan, karena mbak juga karyawan biasa. Iya kan?"
Sri membuka pintu kaca, keluar dengan perasaan jengkel. Dia tidak terima, anaknya dianggap penghambat pekerjaan. Setidaknya begitulah arti tatapan dan kalimat yang keluar dari nona pelayan itu.
***
"Bagaimana, Dok?" Sri menggendong kembali anaknya yang baru saja selesai diperiksa. Nadhira terlihat tenang, karena ruangan spesialis anak itu dingin dan wangi.
"Dia terkena alergi. Alergi tidak bisa disembuhkan, kita hanya perlu menghindari penyebabnya. Atau melakukan beberapa kiat agar keringat tak muncul berlebih."
"Bagaimana caranya, Dok?"
"Beri dia pakaian yang nyaman, mengompres bagian yang benjol dengan air dingin. Kalau bisa, jaga suhu ruangan agar tidak terlalu panas. Nanti saya kasih salep, kalau dalam waktu tiga hari belum ada kesembuhan, bawa lagi anaknya ke sini."
"Baiklah, terimakasih, Dok."
Sri sampai di kosannya setelah terlebih dulu mampir ke toko elektronik. Dia memutuskan untuk membeli AC dan memasang di kosannya. Dia tak menyangka, Lusi memberikan uang yang tak disangka-sangka jumlahnya. Empat juta, setelah dibelikan ke AC, masih tersisa delapan ratus ribu lagi sebagai simpanan.
"Saya nggak tanggung jawab, ya. Kalau tagihannya membengkak." Bu kos mengomel, bahkan Nadhira mulai merengek risih dengan suara cempreng Bu kosnya itu.
"Saya tau, saya yang akan bayar tagihannya, bukan ibu."
"Baiklah! Jangan lupa, pemakaian air harus hemat." Bu kos cerewet itu berlalu.
"Ooh! Akhirnya, ayo nak! Kita tidur siang, Nadhira nggak bakal kepanasan lagi. Tapi sebelum itu, kita mandi dulu, okey?"
"Mmmm ... Ma mah."
"Iya sayang, oh pintarnya." Sri terseny um bahagia. Setidaknya, dia kembali merasakan apa itu hidup.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top