4

Dua puluh sembilan tahun yang lalu.

"Berikan bayi itu padaku!" Suara besar pria itu menggelegar, menggema memenuhi rumah besar yang hanya diterangi cahaya redup.

"Tidak!" jawab wanita muda yang semakin menggendong erat ke dua bayinya. Ke dua bayi itu menangis hebat karena takut dan terkejut. Sudah dipastikan, mereka bayi kembar identik.

"Berikan kataku!" Pria itu merampas dua bayi yang masih berumur empat bulan tersebut dengan paksa. Berhasil, bayi itu pindah ke tangannya.

"Jangan! Jangan ambil anakku! Hanya dia yang kumiliki saat ini, Ayah!" Wanita muda itu histeris. Dia mencoba menggapai dua bayi yang semakin menangis di pangkuan ayahnya. Semakin mencoba, dia gagal berulangkali.

"Anak haram ini, tidak pantas berada di keluarga ini. Aku harus melenyapkannya sebelum orang-orang tau. Aku sudah menyuruhmu menggugurkannya, namun apa yang kau lakukan, jika tidak bisa membanggakan keluarga, setidaknya jangan buat kami malu!"

"Jangan, Ayah! Jangan lakukan sesuatu yang buruk pada anak-anakku, aku yang bersalah telah membuat malu keluarga ini. Maka hukumlah aku! Aku akan melakukan apa saja asalkan bayi-bayiku tetap bersamaku. " Wanita muda itu bersujud memeluk kaki laki-laki yang dipanggilnya "ayah". Namun, sedikit pun tangisan memohon itu tidak berpengaruh padanya.

Petir menggelegar kembali, wajah garang pria bertubuh tinggi besar itu tampak sangar tanpa belas kasih. Sekali tendang, wanita yang merupakan ibu dari bayi kembar itu terjungkal ke belakang, seiring dengan jerit tangis si pemilik bayi yang menyayat hati.

Blum! Bunyi pintu dibanting begitu saja.

"Tidaaaaak! Jangan sakiti anak-anakku!" Wanita itu berlari menuju pintu, memukul pintu itu sekuat tenaga, tapi dia tau, pintu itu telah dikunci.

***

Hujan mengguyur kota Bandung tanpa henti, sudah dipastikan banjir akan terjadi sebentar lagi, melihat tingginya debit air yang mengalir di sungai Citarum.

Seorang pria menyorot ketinggian air dengan lampu senternya, mungkin ada pohon tumbang di sekitar sini sehingga terjadi pemadaman listrik.

Pria tua itu, menggeleng ke arah teman di sampingnya.

"Kita harus bersiap-siap! Waktu jagaku sudah habis, jangan lupa laporkan perkembangannya setiap saat pada juragan."

"Baik, Kang Wiro."

"Aku pulang dulu! Hati-hati ya!"

"Baik, Kang."

Wiro yang sudah berumur lebih dari setengah abad, mendorong gerobaknya menerobos hujan, selain bertugas sebagai pengamat pintu air sungai Citarum, dia juga berprofesi sebagai tukang bangunan, gerobak itu digunakan untuk membawa peralatan untuk bekerja.

"Nasiib, nasib, entah sampai kapan hidup begini, tidak pernah hidup enak." Wiro bicara sendiri di tengah hujan lebat, langkahnya mantap dan masih tegas seperti waktu muda.

Beberapa meter berjalan, dia berhenti, sesuatu yang aneh, seperti tangis bayi. Dia mencoba menajamkan pendengarannya lagi.

"Waduh, suara tangis bayi, masak Mbak Kunti melahirkan jam empat sore?" Dia kembali bergumam.

Langkahnya berbelok, menuju asal suara, semakin dekat, suara tangisan bayi itu semakin jelas. Wiro merasa jantungnya berdebar saat mengetahui asal suara itu dari tong sampah besar yang di sediakan pemerintah daerah.

Wiro meletakkan gerobaknya, kemudian mengintip ke dalam bak sampah.

"Astagfirullaaaah!" Matanya melebar.

Laki-laki itu melompat ke dalam, memeluk bayi yang diperkirakan berusia empat bulan yang tengah menangis hebat, bibir dan wajahnya membiru kedinginan.

"Siapa yang tega melakukannya? Astagfirullah." Wiro memeluk bayi itu, membawa anak itu ke dalam pelukannya. Dia sampai menitikkan air mata melihat apa yang terjadi pada bayi itu. Jika terlambat sedikit saja, bayi itu pasti akan mati.

Wiro memeluk bayi itu erat, lalu berlari menuju rumahnya, meninggalkan gerobaknya begitu saja di tengah jalan.

Bahkan tanpa mengucapkan salam, dia menerobos pintu masuk seperti kesetanan.

"Buuu, cepat! Anak ini hampir mati."

"Aduh! Anak siapa ini, Pak?"

"Nanti saja bertanya, ganti bajunya dan balut dengan selimut sampai hangat!" Seru Wiro panik. "Minta Surti untuk menyusui dia!"

"Baik, baik Pak!" Istrinya langsung memeluk bayi yang nafasnya mulai tersengal kedinginan

***

Dia cantik, sangat cantik. Kebanggaan ke dua orangtuanya, apa pun diberikan kepadanya. Kuliah di negri Paman Sam, mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan, dan memiliki orang tua yang namanya dikenal di negara ini sebagai pejabat Negara.

Satu saja kesalahannya, dia mempercayakan hati dan hidupnya pada pria brengsek. Menyerahkan apa yang dia punya, termasuk kehormatannya. Namun, dia menjadi sengsara setelah pria yang dicintainya enggan bertanggung jawab saat dia mengatakan hamil pada pria itu.

Dari awal ini salahnya, mereka berbeda kasta, sang pria yang pernah di kenalkan kepada orangtuanya, namun mendapatkan penolakan karena dia hanya karyawan biasa di salah satu bank daerah.

Jika pria memang cinta padanya, seharusnya pria itu membawanya menikah, bertanggung jawab dan membuktikan janji-janji manisnya. Bahkan dia rela meninggalkan keluarganya asalkan bisa hidup bersama pria itu. Tapi apa yang terjadi, habis manis sepah dibuang.

Wanita muda itu, menatap nanar ke arah jalan raya di bawah apartemennya. Sekarang dia tidak memiliki apa-apa lagi. Dua bayinya telah direbut paksa, entah bagaimana nasibnya. Dua bayi yang dia perjuangkan sendiri untuk melahirkannya, tanpa didampingi oleh siapa pun.

Habis sudah alasan dia untuk hidup di dunia, andaikan dia terlahir kembali, dia takkan lagi menjadi wanita bodoh.

Undangan telah tersebar, besok pagi dia akan dinikah paksakan dengan pria pilihan orangtuanya.

Wanita itu tersenyum pahit, rambut kusut masai dengan mata bengkak dan menghitam sepeti panda.

Kaki kecilnya memanjat balkon, mengela nafas sejenak. Lalu, melepaskan tubuhnya, dia saat ini ingin mengakhiri segalanya, termasuk hidupnya sendiri.

Detik berikutnya, kepalanya pecah menghantam aspal jalan raya, disusul kerumunan orang yang heboh berteriak memberi tahu satu sama lain.

***

"Apa yang akan kita lakukan, Tom?" Seorang pria berambut tembaga berusaha menenangkan bayi yang tengah menangis di pelukannya.

"Aku juga tidak tau, bukankah kau yang membawanya ke mari? Aku sadar diri, kita tidak akan pernah punya anak, karena aku lahir sebagai laki-laki."

"Bukankah itu bagus? Kita bisa mengangkat anak ini menjadi anak kita?"

"Tidak semudah itu, Hans! Aku belum siap mengurus bayi, bahkan aku tidak siap jika perilaku menyimpang kita diketahui oleh keluargaku."

"Kita harus jujur, Tom. Tidak selamanya hubungan kita, kita sembunyikan."

"Ini Indonesia, Hans. Bukan negaramu."

Tom meninggikan suaranya, bayi dalam pelukan Hans semakin menangis.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top