14
Wanita itu masih bersimpuh di tengah jalan tanpa mempedulikan dia menjadi pusat perhatian bagi orang yang berlalu lalang. Air mata bercampur air hujan membasahi bumi yang menjadi saksi, atas usahanya mempertahankan anaknya sendiri.
Runtuh sudah dunianya saat ini. Jika ada rasa sakit kehilangan laki-laki yang dicintai, maka lebih sakit lagi rasa sakit seorang ibu yang kehilangan anak.
Tak pernah dia merasakan hatinya seremuk ini, Nadhira adalah alasan satu-satunya untuk hidup, dan dengan teganya Novan merenggutnya tanpa memberi dia kesempatan.
"Mbak, menyingkir sana! Kalau mau bunuh diri, jangan di sini! Kalau di sini nggak mbak aja yang celaka, orang juga." Seorang pengendara motor berhenti persis di samping Sri, suaranya tidak begitu jelas, tapi Sri masih bisa mendengarnya.
Mau tak mau, Sri bangkit. Tertatih dia menyeret kakinya. Darah segar mengalir dari telapak kakinya dan dibawa hanyut oleh air hujan. Tapi, yang sakit bukan di sana, dia tak lagi peduli dengan rasa perih di bagian lain.
Klakson panjang dan umpatan kasar tak dihiraukan Sri, dia berjalan tak tentu arah sambil sesekali masih sesenggukan. Dia mengikuti ke mana kakinya melangkah, tak tentu arah, mungkin saat dia kehabisan tenaga untuk berjalan, maka disaat itulah dia berhenti.
Sebuah mobil menepi, menampakkan seraut wajah tua yang sudah berkerut. Rambut tembaganya yang berkilau ditempa lampu jalan, tumbuh di kepalanya yang menjulur ke luar pintu mobil, karena penasaran.
Hans, sudah lama memperhatikan gerak-gerik wanita aneh yang tak lain adalah Sri. Tepat saat dia mampir sejenak di mini market yang tak begitu jauh keberadaannya dari jalan raya. Dia juga sempat melihat Sri berlari sambil menangis hebat, mengejar mobil mewah yang Hans yakini adalah target incarannya.
Dia memang bukan orang yang sangat baik, tapi dia mudah berempati pada orang lain.
Hans keluar dari mobilnya, mendekati Sri yang masih berjalan tertatih dengan rambutnya yang kusut masai.
"Perlu saya antar pulang, Nona? Keadaan anda sangat mengkhawatirkan."
Sri berhenti berjalan, tangisnya terhenti, dia menatap lurus Hans dan mobil Hans secara bergantian.
"Apa anda mau membantu saya?"
***
Hans memperhatikan wanita yang tengah termangu di hadapannya. Bahkan secangkir coklat panas yang dihidangkan pelayan belum diminum sama sekali. Baju wanita itu telah kering di badan, rambutnya yang tadi awut-awutan sudah kembali diikat rapi.
Hujan masih turun dengan lebatnya, petir menggelegar dan menampakkan kilat yang terlihat dari kaca jendela rumah besar yang memiliki gorden bewarna hitam itu.
Hans masih memberi waktu pada wanita itu untuk menenangkan diri.
"Kenapa anda peduli pada saya?" Suara kecil Sri memecah kesunyian.
Hans menatap mata kosong putus asa milik Sri.
"Aku bukan lah orang yang tega terhadap orang lain."
"Meskipun orang asing?"
Hans diam saja, tentu saja, meski orang asing, bahkan dia menyelamatkan bayi yang dibuang di tong sampah dan mengangkat menjadi anaknya sendiri tanpa peduli dari mana asal usulnya.
"Apakah kita harus membedakan siapa yang akan ditolong? Orang asing atau orang yang dikenal, aku rasa sama saja. Nilai pahalanya sama bukan?"
Sri diam saja, dia tak pernah bertemu apalagi mengenal laki-laki itu. Dari tatapannya, Sri bisa menilai laki-laki itu tak berniat jahat. Tatapannya mengisyaratkan kesepian.
"Kalau begitu, apa anda mau menolong saya? Saya akan membalas jasa anda suatu saat nanti."
Sri diam sejenak."Saya yakin anda sangat kaya dan memiliki kekuasaan, buktinya anda punya mobil dengan harga miliyaran dan rumah seperti istana, saya juga yakin anda tak seperti orang kaya pada umumnya. Buktinya, dari ratusan orang yang melihat saya, hanya anda yang peduli."
"Apa yang kamu inginkan?" tanya Hans.
"Anakku."
Kening Hans berkerut.
"Anak saya telah direbut paksa oleh keluarga suami saya sendiri. Saya kalah dipersidangan karena tak memiliki uang dan kekuasaan, sehingga hak asuh jatuh ke tangan suami saya. Saya ingin anak itu kembali ke tangan saya dan sah secara hukum. Apa anda bisa membantu? Sebagai gantinya, saya akan menjadi pembantu di rumah ini."
Hans tampak menimbang.
"Saya memiliki cukup banyak pembantu di rumah ini."
"Saya takkan melupakan jasa-jasa anda, demi Tuhan, anak saya ... Bahkan dia masih menyusu, bagaimana dia nantinya jika berada di tangan ayahnya yang hanya peduli pada dirinya sendiri. Bagaimana nantinya anak saya, dia takkan bisa tidur tanpa di susui, dia tak bisa meminum susu formula, dan dia memiliki alergi jika terkena panas. Bapak tau? Saya bahkan sudah membelikannya AC agar dia selalu nyaman, namun, namun ... Hiks," Sri tak bisa melanjutkan ucapannya. Dia menutup wajahnya yang sudah sembab.
"Di mana keluargamu?" Dari tadi ini yang ingin ditanyakan Hans.
"Saya tak memiliki siapa-siapa. Sejak kecil saya sudah berada di panti asuhan, saya tak punya keluarga yang akan membela saya." Sri berusaha menekan suaranya yang serak.
"Baiklah."
***
Rini, mama Novan, sudah hilang akal menenangkan Nadhira yang terus saja rewel sejak dua jam yang lalu. Sejak Novan memutuskan untuk ke Semarang, Rini memaksa untuk ikut.
Bayi yang umurnya masih hitungan bulan itu, menolak saat Rini menyuapkan bubur ke mulutnya. Dia menyemburkan bubur itu kembali sehingga mengotori bajunya sendiri.
"Kenapa dia menangis terus, Ma?" Novan pun mulai kebingungan, bahkan suara tangis Nadhira mulai parau karena sudah terlalu lama dia mengeluarkan suaranya.
"Mama juga nggak tau, biasanya dia nggak begini, biasanya dikasih susu soya pakai DOT biasanya mau, ini kok enggak." Rini menggendong Nadhira sambil menenangkannya, tapi bayi itu malah melentikkan badannya sambil menangis hebat.
"Apa yang telah dikasih sama Sri, sampai dia kayak gini?" Novan jengkel.
"Padahal dia sama Sri baru beberapa hari, mama nggak ngerti juga. Cup! Cup sayang, ini nenek, Nak!"
"Sini aku gendong," kata Novan. Walaupun agak ragu, Rini memberikan Nadhira pada Novan.
Novan menggendong Nadhira, meneliti wajah mungil yang memerah karena masih menangis itu. Sesungguhnya, dia juga kebingungan, dia tak menduga, ternyata mengurus anak tak semudah yang dia bayangkan.
"Sudahlah, Nak! Ini papa," Novan mencium kepala anaknya dengan perasaan tulus. Memang, dia dan Nadhira tak pernah dekat, sejak dia lahir ke dunia, Nadhira telah diasuh oleh Baby Sitter. Bahkan tidur pun dengan pengasuhnya, setelah mereka pindah ke ruko tempat mereka menjual sepatu, Nadhira sempat dalam pengasuhan Sri walau sebentar, pada masa itu pun dia tak dekat dengan anaknya. Sampai akhirnya ketika dia dan Sri bercerai, dia dan Nadhira pun tak lagi bertemu.
Suara tangis Nadhira mulai melemah, Novan menatap mamanya, dan Rini meletakkan jari telunjuknya di depan mulut.
"Ssst! Dia sudah tidur."
"Ooh, syukurlah!" Novan mengeluarkan nafas lega, dia membawa bayi itu ke kamarnya, sambil mengusap peluhnya sendiri di keningnya. Peluh lelahnya sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top