12

Wajah tampan, dengan garis rahang yang tegas itu melempar handphonenya sendiri ke sembarang arah. Sedangkan wanita yang sudah berumur namun masih menyisakan kecantikan sewaktu muda di sampingnya, menatapnya penuh harap.

"Bagaimana? Apa sudah ada titik terang?"

Pria yang tak lain adalah Novan itu mengepalkan tangannya.

"Semarang, orang kita melihatnya di Semarang, dia bekerja di sebuah resto besar di sana."

"Ya Tuhan. Bagaimana nasib cucuku, bagaimana dia bisa mengasuh anak jika bekerja seperti itu." Mama Novan menitikkan air mata.

"Aku sendiri yang akan mencarinya ke sana. Mama tenang saja, aku berjanji akan membawa Nadhira kembali," kata Novan sambil menenangkan mamanya.

Di lain tempat, Sri tengah bersiap-siap untuk pulang ke rumah. Tubuhnya terasa lelah, hari ini resto dikunjungi banyak orang, resto unik yang menyediakan makanan mahal itu, begitu cepat populer. Sayangnya, di sini masih kekurangan tenaga untuk bersih-bersih. Jadilah Sri merangkap pekerjaan mulai dari ruangan resto sampai toliet.

"Titip Nadhira bentar ya, Mbak Anne. Saya mau ke toilet dulu."

"Okay, dengan senang hati," jawab Anne, dia tengah asik bermain dengan Nadhira.

Sri tersenyum samar, dia butuh air untuk mencuci mukanya yang terasa lengket dan berkeringat.

Kondisi resto mulai agak sepi, biasanya tamu akan ramai kembali setelah Maghrib. Menjelang Maghrib ini lah pertukaran Shift terjadi.

Sri memandang pantulan wajahnya di cermin. Tirus, wajahnya tirus, bahkan cendrung pucat, untung saja ada lipstik yang bisa membuatnya tampak lebih segar.

Baru saja dia ingin mematikan keran air, dia dikejutkan dengan pintu toilet yang ditutup tiba-tiba. Sosok gempal dengan senyum mencurigakan datang menghampirinya. Otomatis, Sri kaget luar biasa.

"Pak? Maaf, ini kan toiliet wanita, mau apa bapak ke sini?" Sri mulai memasang wajah waspada.

Triyono meletakkan jari telunjuknya yang besar itu di depan mulutnya sendiri.

"Ssssttt! Karena itu lah aku ke sini, cepatlah! Selagi kondisi sepi." Triyono menarik lengan Sri dan ditepiskan oleh Sri.

"Pak, anda mau apa?"

"Aku tidak bisa tidur semalaman karena memikirkan kamu, ayo! Kilat saja!" Pria itu berusaha menggapai kancing kemeja Sri, namun dengan lincah Sri mengelak dan memandang Triyono dengan garang.

"Jangan berbuat macam-macam pada saya! Saya bisa saja melaporkan anda pada pak Briyan."

Wajah Triyono yang tadi dipenuhi senyum berubah keruh. Di mengetatkan rahangnya karena terpancing emosi.

"Jangan bertingkah jual mahal! Berapa harga tubuhmu itu? Aku akan membelinya, jangan-jangan pak Briyan lebih dulu mencicipinya." Triyono semakin lancang menatap Sri.

Walaupun takut, Sri tetap waspada. Saat Triyono lengah, dia berlari ke arah pintu keluar dan membukanya paksa, sayang, pintu itu sengaja dikunci.

"Ha ha ha, kau takkan bisa membukanya, karena, kuncinya ada padaku!" Triyono menggoyangkan kunci itu di depan wajahnya. Dia semakin senang saat Sri menampakkan wajah takut dan putus asa.

Bagaikan singa lapar menangkap mangsa, bahkan Triyono kesusahan menelan ludahnya yang hendak menetes, dia mulai mendekati Sri sambil mengembangkan ke dua jemarinya yang besar. Seakan Sri adalah kelinci yang gampang untuk ditangkap.

Sedangkan Sri mencoba menyelamatkan diri dengan menggedor-gedor pintu toilet. Sungguh! Dia tak ingin menjadi korban pelecehan pria itu.

"Tolooooong!" Suara Sri yang kecil seakan mencicit, dia semakin putus asa saat Triyono semakin mendekat padanya. Bahkan mata kurang ajarnya, semakin bernafsu pada Sri.

"Menjauhlah, Pak. Apa yang anda lakukan akan menghancurkan anda sendiri." Sri berusaha bernegosiasi dan mengukur waktu, tapi tampaknya pria tambun itu tak terpengaruh.

"Cepatlah! Kau mulai membuatku bosan menunggu."

Triyono mulai melancarkan aksinya dengan mencekal lengan Sri. Menarik paksa wanita itu dan hendak menciumnya, Sri menghindar, sehingga mulut lebar Triyono mengenai angin. Hal itu membuat dia marah, sekali sentak, dia menjambak rambut Sri. Sri terpekik, namun dia berusaha untuk melawan.

"Perempuan jalang, jangan munafik, aku tau kau adalah janda beranak satu. Bukan lagi gadis perawan yang sok jual mahal."

"Lepas, lepaskan saya! Tolooooong."

Sri beringsut ke didinding toilet saat dia didorong paksa bahkan kepalanya terbentur ke dinding. Bibirnya menjerit lemah seiring dengan pandangannya yang berkunang-kunang.

Cuma hitungan detik, kegelapan menjemputnya.

***
Wajah pertama yang dilihatnya adalah wajah tampan dengan hidung mancungnya yang melekat sempurna di wajahnya. Lalu, pria bertubuh besar yang tengah memberinya tatapan mengancam.

"Apa yang terjadi? Triyono menemukanmu tengah pingsan di toilet." Suara datar Briyan menggema di ruangan itu. Sri memilih bungkam, matanya sempat singgah di wajah Triyono yang menegang.

"Saya rasa dia kurang sehat, Pak Briyan. Lihat saja wajahnya pucat." Triyono menyahut.

Sri diam saja, walaupun dia menyumpahi laki-laki itu dalam hati.

"Jika kamu tidak sehat, kamu bisa istirahat di rumah untuk beberapa hari, kami tak sekejam itu memperkerjakan karyawan yang sakit."

"Hei, kau. Tak sopan sekali tak menyahut saat atasanmu bicara!" Suara Triyono meninggi. Sedangkan Sri tidak terpengaruh. Tanpa mempedulikan dua atasannya itu, Sri melangkah terseok sambil bergumam kecil.

"Anak saya! Pasti dia sudah haus." Dia pergi begitu saja, sedangkan Triyono melepaskan nafas lega dan Briyan memandang heran pada wanita yang tampak tak peduli dengan apa yang dikatakannya.

Benar saja, Nadhira menghisap ASI tak sabaran, Anne yang telah menjaga Nadhira mohon pamit karena bersiap-siap hendak pulang. Sepeninggal Anne, Sri menangis sesenggukan, mendekap erat Nadhira sambil menciumi wajah mungilnya.

Hampir saja, dia menjadi korban kecabulan atasannya. Sri menyadari, Tuhanlah penyelamatnya, dia tak bisa berharap ke pada manusia. Dia memilih tak bicara demi pekerjaan yang menjanjikannya sesuap nasi. Dia dan anaknya harus hidup, sedangkan mencari pekerjaan tidak gampang. Sri mengusap air matanya sendiri, mungkin ini adalah suratan takdirnya, dia tak punya pilihan selain menjalani.

***
Sri menatap resah hujan yang turun semakin lebat. Bahkan ini sudah lewat jam tujuh malam. Pengunjung restoran semakin ramai, sementara jadwalnya sudah berlalu sejak jam enam sore tadi. Nadhira sudah tertidur dalam gendongan, tidak mungkin dia menerobos hujan berjalan kaki ke kossan yang memang tak begitu jauh dari resto.

"Kamu tinggal di mana? Biar saya antar." Briyan muncul, mobilnya terparkir persis di depan Sri.

"Tidak usah, Pak. Saya dekat sini kok." Sri menolak.

"Bantuan ini bukan untukmu, kasian anakmu, dia pasti butuh tidur yang nyaman, dari pagi sudah menemanimu bekerja," ucap Briyan tulus.

Sri menunduk, memperhatikan wajah Nadhira yang juga menampakan gurat lelah. Dia mulai bimbang.

"Masuklah! Jangan terbiasa menolak bantuan orang lain, karena itu salah satu sifat angkuh." Briyan membuka pintu untuk Sri. Mau tak mau wanita cantik itu masuk dan menurut.

Sri duduk di samping Briyan , matanya memandang lekat wajah yang sama persis seperti orang yang dicintainya. Andaikan dia adalah Aryo, Sri sudah memeluknya dan mengadu perihal apa yang baru saja dia alami.

"Ada apa?" Briyan sadar ditatap lekat oleh wanita itu. Bahkan dia merasa risih.

"Kenapa bapak peduli? Jangan terlalu memberi saya perhatian," ucapnya lirih.

Briyan terdiam.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top