Someday

Apa yang menyebabkanmu begitu percaya dengan kata "bahagia di suatu hari nanti"?. Apa yang mengakibatkanmu percaya bahwa nanti akan ada bahagia yang sedang menunggu? Apa yang membuatmu percaya bahwa suatu hati nanti yang membahagiakan itu memang benar adanya?

Aku bahkan sudah tidak percaya lagi dengan angan yang selalu kalian ucap. Dengan segala harap yang selalu kalian ingat. Karena, menurutku suatu hari nanti itu sudah mati. Bahagia di kemudian hari itu sudah hilang. Suatu hari nanti yang indah itu sudah punah.

Bagaimana bisa aku tetap percaya jika bahkan kamu-suatu hari nanti-yang selalu aku semogakan pergi begitu saja. Pergi setelah menoreh luka dan pergi setelah menghancurkan segala harap yang berada di relung dada. Tentang segala suatu hari nanti yang selalu aku semogakan. Maaf, kini aku membenci itu semua.

***

Aku berjalan tergesa-gesa menuju ruang tamu. Kata ibuku, ada paket tanpa pengirim yang ditujukan untukku. Aku sedikit penasaran, siapakah orang misterius yang mengirim paket ini?. Setelah aku menandatangi tanda terima paket, aku segera berjalan ke ruang tengah untuk membukanya. Ada sedikit rasa takut. Jangan-jangan ini adalah paket bom atau teror seperti di cerita novel yang pernah aku baca.

Aku membukanya. Lalu, aku terkejut melihat benda yang berada di dalamnya. Untuk memastikan, aku mengeluarkan satu per satu barang yang tersedia di dalam kotak. Hingga di bagian terakhir, tubuhku membeku. Otakku blank. Darahku seperti berhenti mengalir. Waktu seperti berhenti berjalan. Bahkan, jam dinding pun seperti berhenti berdetak. Aku merinding.

"Paket dari siapa, Ra?" tanya ibuku. Aku masih berdiam diri. Enggan untuk menjawab, ini terlau mengejutkan.

"Loh ini apa?" ucap ibuku lagi. Dia sekarang sudah berada di sampingku sambil melihat isi dari kotak tersebut. Hingga di bagian paling bawah ibu menemukan sepucuk surat berwarna jingga, warna kesukaan-ku.

"Bu, sepertinya Andi yang mengirim ini semua," ucapku terbata. Sambil berusaha mencerna apa yang sedang terjadi.

"Lho? Untuk apa dia mengirimkan barang-barang seperti ini?"

"Ini adalah barang yang sudah pernah aku berikan kepadanya," jawabku parau. Seperti mengerti dengan keadaan yang terjadi. Ibu langsung memelukku. Tanpa banyak mengeluarkan kata-kata. Sepertinya, ibu tahu apa yang paling aku butuhkan saat ini. Sedikitpun aku tak menyangka Andi akan melakukan ini semua. 

Andi adalah tunanganku. Kita sudah bertunangan selama 1 tahun. Tetapi, selama ini kita menjalani hubungan jarak jauh karena dia bekerja di luar kota. Kita masih sering bertemu, bahkan komunikasi pun tidak pernah terlewat.

Tetapi, 2 minggu yang lalu dia bilang Ponselnya rusak dan belum bisa memberi kabar. Apalagi yang bisa aku lakukan selain menunggu? Menunggu kabar dari dia hingga hari ini. Rindu memang, tapi aku berpikir inilah ujian yang harus kita jalani.

Aku tak pernah berpikir negative-hingga hari ini. Aku selalu bersabar menunggu dia dan berharap ada kebahagiaan yang sedang menunggu kita, nanti.

Pernahkah kalian berpikir, bahwa suatu hari nanti akan ada kebahagiaan yang sedang menunggu kita? Akan ada bayaran dari setiap rindu yang sudah kita jaga? Akan ada senyum merekah yang selalu kita rindukan? Ya, aku merindukan 'suatu hari nanti' tersebut. Setiap harinya aku hanya barharap bahwa aku sedang berjalan menuju kebahagian itu.

Aku membereskan semua barang dan kembali ke kamar. Untuk menenangkan hati, aku butuh waktu sendiri. Untuk mencerna segala kenyataan pahit, aku ingin ruang pribadi.

Setelah sampai di kamar. Aku mengunci pintu, aku sedang tidak ingin bertemu dengan siapapun. Bahkan lalat sekalipun. Aku menyimpan kotak tersebut dan mengambil surat berwarna jingga yang menarik perhatianku sejak tadi. Ini pasti penjelasan dari semuanya.

Setelah membaca semuanya, aku menutup mataku. Aku sudah berusaha keras agar air mata ini tidak keluar. Tetapi, dia memaksa dan akhirnya aku kalah. Sekitar 15 menit aku menenangkan diri, lalu aku bangkit. Aku tidak boleh kalah seperti ini.

"Nomor yang anda tuju tidak bisa dihubungi ...."

Selalu seperti ini. Ini sudah percobaan ke 10x dan hasilnya sama. Nothing. Aku sedih, tapi marahlah yang lebih menguasaiku saat ini.

Tok Tok Tok!

"Ra! Ibu boleh masuk?" tanya ibu dari luar. Aku berpikir sebentar hingga akhirnya aku mengalah. Aku berjalan menuju pintu dan membuka kunci. Ibu terlihat sedikit terkejut melihat aku yang berantakan. Tapi, aku tidak peduli.

Ibu duduk di pinggiran kasur. Menatapku sendu, sebelum akhirnya dia berkata

"Ibu enggak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hanya saja, ibu yakin itu bukanlah hal baik"

Aku hanya menatap ke luar jendela. Enggan untuk menatap mata itu. Mata yang selalu memancarkan kesejukan setiap kali aku melihatnya. Mata milik orang yang selalu mengerti bahkan tanpa perlu aku jelaskan.

"Apakah dia pergi?" ibu berkata "jangan menyalahkan dia, juga dirimu sendiri. Yakini saja bahwa ternyata dia bukan kebahagiaan yang kamu cari"

"Tapi bu ... aku sudah sangat setia menunggunya. Aku sudah membayangkan tentang bahagia yang dia janjikan, juga tentang suatu hari nanti yang indah bersamanya."

"Apakah kau tahu? Kepongpong perlu melewati masa sakit yang panjang untuk berubah menjadi kupu-kupu yang cantik. Tak ada peristiwa yang tak ada keindahan di dalamnya."

Ibu berjalan menghampiriku, aku masih berdiam diri di depan meja belajar. Angin yang berhembus dari jendela samping seolah ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Semilir angin ini menerpa kulitku yang sudah dingin menahan air mata agar tak jatuh di hadapan wanita tegar ini.

"Sudahlah," ucap ibu lembut "tak apa jika kau ingin menangis, tapi berjanjilah kau akan menangis hari ini saja. Air matamu terlalu berharga untuk menangisi orang yang salah." Ibu mengusap rambutku, aku memeluk ibu erat. Tak ada lagi yang mampu memberiku kekuatan seperti ini selain dia. Pertahananku runtuh, aku menumpahkan air mata dipelukannya.

Cukup lama aku berada di pelukannya. Hingga akhirnya aku sudah merasa lega.

"Apakah ibu tidak merasa kecewa kepadanya?" tanyaku.

"Kau tau? Tak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang ibu selain melihat anaknya sakit. Jika kau tanya apakah ibu merasa kecewa, jawabannya adalah iya. Hanya saja, itu tidak sebanding dengan kekecewaanmu kepadanya, iya 'kan?. Lupakan dia. Dia hanya jembatan menuju kebahagiaanmu yang sesungguhnya."

"Entahlah bu, kebahagiaan itu sudah tak aku percayai lagi," ucapku lemah.

"Anak ibu harus bahagia. Bertahanlah." Aku melihat ibu tersenyum. Wanita kuat kini telah memberi ku banyak kekuatan. Dia selalu mengajarkanku bahwa hidup itu tidaklah mudah. Hanya saja, dia selalu mampu meyakinkanku bahwa aku akan selalu mampu melewatinya.

Ibu pergi setelah kita berbincang cukup lama. Ia memberiku banyak kekuatan juga energi positive. Aku bersyukur bahwa dia adalah ibuku.

Aku berbaring di ranjang. Kepalaku sedikit pening setelah menangis, juga menahan kesakitan sesakit ini. Angin masih berhembus menyeruak ke seluruh penjuru kamar. Aku sedikit merenung, setelah dipikir Andi memang sedikit berbeda akhir-akhir ini. Mungkin aku yang tidak menyadarinya, dia sudah ingin untuk pergi sejak lama.

Aku sudah lelah untuk menangis, sudah tidak ada lagi air mata yang mampu menggambarkan luka. Aku teringat dengan kutipan di sebuah buku yang pernah aku baca.

"Bahkan ada rasa sakit yang tak bisa digambarkan oleh kata, dilukiskan oleh air mata. Ketika itu terjadi, percayalah, dia sedang benar-benar rapuh."

Aku menutup mataku. Mungkin aku sedang berada di level tersebut saat ini. Tak ada yang mampu aku lakukan selain merasa ikhlas. Tak ada kata yang mampu aku ungkapkan. Aku sudah merasa terbuang, dikhianati, dan merasa tak dibutuhkan lagi pada saat yang bersamaan.  Lalu, apa yang harus aku lakukan? Aku hanya harus meninggalkannya seperti dia meninggalkanku. Mungkin benar, aku hanya butuh diriku sendiri untuk mengobati luka yang aku alami.

***

My dearest Raina, how are you? Are you oke? Long time no see, right?

Aku entah harus menjelaskannya dari mana. Aku ... sungguh-sungguh saat aku mengatakan aku mencintaimu. Bahkan saat ini, kau masih selalu mencuri perhatianku. Aku masih ingat saat kita bertemu, kamu mengatakan bahwa kamu merasa tersesat dan saat itu aku terpaksa harus mengantarkanmu pulang. Masih aku ingat wajah khawatirmu kala itu. Sungguh, kamu sangat menggemaskan, kamu seperti kucing yang sedang kehilangan arah. Lucu.

Otakku masih menyimpan kenangan kala kita bertemu untuk kelima kalinya, di sebuat kafe di dekat rumahku. Kamu menggunakan baju berwarna jingga dan rambut yang terurai indah. Saat itu, aku sedikit ragu untuk menyapa, hanya saja tuntutan hati ini telah memberiku keberanian. Aku sangat penasaran, apakah kau akan tersenyum kala aku menyapamu? Dan aku langsung mendapatkan jawaban detik berikutnya. Ternyata benar, aku merindukan senyuman indah itu.

Masih pula aku ingat wajah bahagiamu kala aku mengatakan ingin menjalani hari-hariku bersamamu. Wajahmu merona bahagia. Aku suka kala kamu tersipu malu sambil mengatakan "Iya". Kamu bahkan tak menatap mataku saat itu. Ah sungguh banyak kenangan indah yang sudah kita lewati. Aku bahkan akan sangat kelelahan untuk menceritakan bahagimana aku bahagianya memilikimu dan bersyukurnya aku disayangi oleh wanita sepertimu.

Tapi Raina, percayalah aku juga terkadang tidak mengerti dengan rencana Tuhan. Aku mencintaimu, tetapi aku menemukan orang yang aku pikir aku tak bisa hidup tanpanya. Aku menemukan orang lain yang dengannya aku merasa aku berguna, aku berharga, dan aku sempurna. Aku tidak yakin aku mencintainya, hanya saja, aku yakin kalau aku akan sangat frustasi jika tanpanya. Raina, aku bahkan tidak memiliki kuasa atas perasaanku sendiri, maaf. Ini terjadi begitu saja.

Raina percahalah, aku merasa bimbang selama ini, haruskah aku tetap bersamamu? Haruskah aku meninggalkannya? Haruskah aku tetap bersama kalian berdua? Entah apa yang harus aku lakukan. Hingga akhirnya aku sadar, kamu terlalu berharga untuk bersama dengan lelaki seperti aku.

Kau tahu, kamu itu seperti bunga yang selalu aku jaga keindahannya. Kamu seperti mawar yang selalu aku tunggu untuk mekar. Dan kini aku sadar, aku terlalu maruk jika ingin tetap bersama denganmu. Aku hanya ... entahlah. Aku merasa aku sudah tidak pantas untuk tetap mepertahankan cinta ini.

Aku tak akan meminta maafmu. Karna aku sadar, aku tidak layak untuk dimaafkan. Aku hanya ingin kau tahu, bahwa kini, hatiku bukan lagi milikmu. Aku menemukan hati yang baru. Yang benar-benar membutuhkanku dan juga aku membutuhkannya. Kita saling menginginkan, Ra. Aku mohon kau mengerti itu.

Aku mengembalikan semua barang yang sudah kau beri. Bukan karna aku sudah tak menginginkannya, tapi aku merasa tak layak untuk memakainya. Juga, cincin tunangan kita. Semoga dia menemukan jari yang tepat. Ternyata waktu yang memberikan jawaban, bahwa aku bukan pemilik dari cincin indah itu.

Aku harap kamu mengerti, bahwa kebahagiaan yang selalu kita bayangkan suatu hari nanti itu ternyata hanya harapan belaka. Aku minta maaf karena telah menjanjikan bahagia yang kamu inginkan. Aku minta maaf karena aku tidak bisa memberikannya, dan aku minta maaf, karena aku sudah membuatmu terluka.

Sincerely yours,
Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top