Sendiri

Aku sedang duduk sendirian, di tengah keramaian kafe sore hari. Banyak anak muda yang lalu lalang di jalanan depan, bergandengan tangan dan tertawa bahagia. Aku menarik ujung bibirku sedikit, tersenyum. Dunia mungkin indah menurut mereka. Aku menatap satu cangkir latte yang sudah aku pesan hampir satu jam yang lalu. Kepulan asap sudah hilang sepenuhnya, sekarang aku yakin latte tersebut sudah dingin dan tak akan nikmat lagi untuk diminum. Apakah aku sudah selama itu berdiam diri? Apakah aku sudah selama itu menatap para remaja berlalu lalang lewat jendela cafe? Apakah aku sebegitu kesepian, seperti ini?

Ting!

Ponsel-ku berbunyi, menandakan ada pesan masuk. Aku sedikit mengintip dari pop up yang muncul. Oh, dia lagi. Entah aku harus bahagia atau sedih mendapat pesan darinya. Dia yang selalu menjadi matahariku. Dia yang membuat aku bahagia dengan cahayanya. Aku menyimpan kembali Ponselku. Enggan rasanya membaca kabar bahagia yang dia kirim.

"Yan kamu kemana aja? Eh tau enggak? Gue sudah balikan dong sama Vano."

Aku masih ingat betul wajah bahagia dia ketika menceritakan kabar bahagia versinya itu.

"Waah serius? Bagus deh. Lo enggak perlu curhat lagi sama gue dong." Yaah apa lagi yang bisa aku lakukan selain pura-pura bahagia.

"Hahha sialan. By the way, makasih yaa selama ini lo selalu ada buat gue. Apalagi saat gue sedih, lo selalu berhasil balikin mood gue."

Aku cuma senyum sambil mengacungkan jempol. Setelah basa basi sedikit dia pergi. "Yan gue pergi dulu yaa, gue ada janji sama Vano. Jangan kangen gue yaaa, nanti gue balik kok."

Sialan, dia sudah menebak dengan sangat tepat. Aku memang selalu merindukannya. Bahkan saat ini pun, yang aku tau, aku sudah rindu padanya.

Ingatanku kembali ke masa-masa 'indah' saat aku masih bersamanya. Disaat, dia datang mencoba mencari uluran tangan yang siap membantunya. Aku bersyukur, dia datang padaku. Aku sekuat tenaga membantu memberi apa yang dia ingin. Sehingga, hari-hariku selalu ditemani oleh senyuman manisnya.

Masih kuingat dengan jelas ekspresi sedih dia ketika dia sore hari datang ke rumah sambil memasang wajah sedih yang siap menumpahkan air matanya kapan saja. Bagaikan langit yang sudah sangat mendung. Ini kenapa? Langitku kok murung? Matahari kok redup? Cahayanya hampir hilang di rundu pilu.

"Riiaann masa Vano jahat sih sama aku?" Aku cuma memandang wajah dia dengan sabar, aku menunggu cerita yang akan dia sampaikan sambil berpikir lelaki mana yang tega membuat matahari indah ini meredupkan cahayanya. Hingga matahariku ini lupa akan tugasnya untuk menyinari bumi.

"Kenapa, hmm?" Aku bertanya karna tidak ada kata yang keluar lagi dari mulutnya. Kini, dia sedang menangis sesenggukan tanpa mengucap sepatah katapun. Entah kenapa, ada rasa kesal yang membuncah di dalam dada. Sesayang itukah kamu padanya sehingga tidak ada kata yang mampu menggambarkan kekecewaanmu selain air mata?

Hari demi hari, waktu demi waktu aku berusaha keras untuk membuat langitku kembali cerah. Aku melakukan apapun untuk menggambar pelangi seindah mungkin. Bukankah selalu ada pelangi setelah hujan badai?

Aku selalu menjadi orang pertama yang ada buat dia. Aku melakukan segala cara untuk membuat dia bahagia, untuk mengukir senyuman di wajahnya. Aku ingin menjadi alasan dia bahagia hingga dia lupa bahwa dia pernah sakit hati. Aku sedang berusaha mencuri hatinya.

"Riaann, temenin aku ke toko buku yu."

"Riaann, hari ini bisa jemput aku, 'kan?"

"Riaan, makasih lho es krimnya."

"Yaan, makasih yaa udah nemenin aku maen hari ini. Aku seneng banget."

"Yaan, makasih ya udah selalu ada buat aku. You did what vano never do" dia mengucapkan hal tersebut sambil tersenyum manis. Rasa sayang aku terhadap senyuman itu semakin dalam setiap kali aku melihatnya. Nah, matahari memang seharusnya bercahaya seperti itu. Menyilaukan dan memabukan.

"My pleasure," jawabku sambil tergagap. Aku sedang mencoba mengontrol detak jantungku sendiri.

"Kamu bagaimana dengan Vano?" tanyaku suatu hari.

"Setelah aku ajak dia putus, dia masih sering menghubungiku. Tapi aku biarkan."

"Why?"

"Aku hanya sedang membuat dia sadar, bahwa aku sudah bahagia dengan tanpa kehadirannya."

"Kamu sudah engga mencintainya?"

"Kamu yakin berbicara mengenai cinta dengan orang yang baru saja patah hati?

"Kamu yakin engga mau balik sama dia?"

"Entahlah, kenapa aku harus memikirkan dia ketika sekarang ada kamu di hadapanku" dia menjawab dengan yakin. Seperti memang itulah yang dia rasakan. Mungkinkah dia tidak sadar bahwa ucapakan kecil barusan sudah berhasil membuat jantungku berdetak kencang tak terkendali?

Aku tersenyum. Aku bahagia. Aku mengusap raambutnya pelan sebagai jawaban. Tidak ada obrolan lagi hingga dia pamit pergi.

Aku sedikit tersenyum mengingat kejadian tersebut. Aku tidak meyesal telah melakukan semuanya. Aku sudah bekerja keras untuk mengembalikan cahaya matahari itu hingga suatu hari aku yakin akan satu hal. Aku sudah semakin mencintai dia dengan sangat. Aku yakin bahwa sebentar lagi bukan hanya aku yang jatuh cinta.

Aku yakin, bahwa aku sudah berhasil menggambar pelangi tersebut. Aku sempat yakin bahwa kini aku adalah pemilik langit cerah ini. Aku sempat yakin bahwa tak akan ada yang mampu membuat langitku kembali turun hujan. Tak ada yang mampu mebuat matahariku kembali redup. Tapi ternyata aku salah.

Aku masih sama seperti dulu, tempatku masih sama, aku hanya pengagum langit, bukan menjadi pemiliknya. Dan kini, setelah susah payah aku mengambar pelangi untuknya, dia hanya berterima kasih lalu pergi

Ternyata, posisi ku masih sama. Masih aku yang dulu. Aku yang selalu menjadi tempat dia singgah ketika dia lelah. Aku masih menjadi "teman" bagi dia ketika aku merasakan hal yang lebih.

Aku sempat ingin mencegah dia pergi. Tidakkah dia ingat bahwa dia pernah sakit hati? Tidakkah dia sadar bahwa kini dia sedang berjalan menuju kesedihannya dulu? Tidakkah dia tahu bahwa aku sudah berusaha dengan sangat untuk membuat dia bahagia? Tidakkah dia sadar bahwa di sini ada aku yang menginginkan dia dengan begitu hebat? Akan tetapi aku sadar, aku bukan yang dia inginkan. Maka, yang aku lakukan hanya membiarkan dia pergi sambil menyimpan rasa ini rapat-rapat.

Kini, langit di luar sana sedang turun hujan. Orang-orang di luaran sana berlari hanya untuk mencari tempat berteduh. Mencoba untuk menyelamatkan diri. Di bawah guyuran hujan ini aku membeku, hatiku membuncahkan kerinduan untuknya. Akankah dia tahu bahwa aku pernah bahagia ketika sedang bersamanya? Apakah dia tahu bahwa di bawah guyuran hujan ini ada aku yang sedang merindukan dia dengan hebatnya?

Kini, ketika aku mengingat kembali masa itu, aku tidak akan pernah membencimu, sungguh. Karna kamu pernah membuat aku bahagia, walau sesaat. Aku tidak akan pernah menyesal telah mencintaimu. Hanya saja yang aku sesalkan ketika aku menyadari kenyataan bahwa, pada saat itu aku bahagia sendirian.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top