"That's not a nice thing to say, M'lady."
Pangeran Albertane selalu mengadakan pesta yang mewah, kendati semua tahu dalam diam bahwa pesta-pesta terbaik diadakan oleh para bangsawan lokal. Tentu saja. Itulah mengapa para bangsawan pendatang berbondong-bondong datang kemari dengan maksud terpendam untuk mencuri kejayaan mereka, tetapi kita bisa bicarakan itu nanti.
House Albertane berusaha menjiplak kemewahan budaya lokal. Tirai-tirai emas berat yang berkilau menggantung sempurna menutupi setiap jengkal dinding yang bernoda kusam. Kandil bersusun tujuh dengan ratusan lilin ditarik oleh rantai-rantai besar. Karpet hijau zamrud dan lentera-lentera logam baru yang diimpor langsung dari Demania Raya dan membutuhkan waktu tiga bulan perjalanan. Siapa yang mengira Pangeran Albertane akan berbuat sejauh itu untuk memesona tamu-tamunya? Upaya kerja kerasnya untuk meningkatkan rasa dengki para pesaingnya sukses, mata para tamu kelas menengah pun berbinar-binar sendu, kecuali segelintir saja yang menganggap bahwa Pangeran Albertane tetaplah bukan pesaing mereka.
Untunglah, Putri Mahkota Selena benar-benar hadir. Berbagai rumor sempat muncul, meresahkan sang kepala keluarga Albertane hingga janggut tebalnya berguguran, namun kehadirannya dengan gaun sederhana di pintu berlapis emas Manor Albertane membuat sang pangeran begitu gembira. Ia nyaris menyosor saat menawarkan sang putri untuk dansa pertamanya. Sang putri dengan begitu santun menerima, meski ia cepat-cepat menarik Karles Jefferton agar segera berdansa dengannya sebelum musik pertama berakhir.
Sudah berapa banyak bahan gosip yang mampir ke telinga Karles malam ini?
"Kebanyakan tentangmu," jawab Karles saat kaki-kaki mereka mulai bergeser dengan syahdu. Gaun sang putri menyapu lantai marmer bercorak emas dengan elegan. "Dia mati-matian memastikan bahwa engkau hadir, menyewa belasan pedagang dan pengantar surat untuk mendengar kebenaran rumor akan kehadiranmu—langsung dari ibukota."
"Aku juga mendengarnya," aku Selena, berkutat dengan suara yang tak lebih dari bisikan. Selena punya kebiasaan bersuara lantang, tidak seperti Karles yang mudah sekali bertutur tanpa suara di bawah embusan napas.
"Karena itukah engkau memutuskan untuk hadir?"
"Yahhh ...."
"Putri macam apa kau ini?" Karles nyaris tersenyum. "Aku bisa saja menjual satu patah kata ucapanmu untuk beratus-ratus keping dimer."
Selena buru-buru mengatupkan mulut. Matanya menyipit dibalik kilau keemasan yang membingkai mata birunya. Selena sangat cantik, sebagaimana eksotisme gadis lokal Toromish pada umumnya, dengan campuran darah Demania Raya dari sang ibunda. Itulah mengapa, kendati Selena memiliki kulit karamel pucat dengan rambut legam, matanya berwarna biru sekelam Samudra Panjang yang mengisolasi Toromish dari Demania Raya.
Sementara Karles jelas-jelas adalah sepupu ipar dari pihak ibu. Tidak ada warga lokal Toromish yang punya nama keutaraan semacam itu. Albertane, Jefferton, Kenelway—semua adalah nama kaum bangsawan pendatang yang merapat ke Toromish sejak puluhan tahun lalu.
"Dan lelaki macam apa kau ini," Selena membalas dengan lembut, "untuk menjual perkataan putri mahkota kepada gadis-gadis yang lapar akan hiburan di kala penat mereka?"
"Tanpaku, kau akan mendengar berita-berita jauh lebih lambat daripada para pemburu paus di tengah samudra." Selena memutar bola matanya dengan kesal. Untuk kali ini ia tidak akan mengelak. Karles memang benar. Mereka berputar seiring gelayut merdu musik bersama belasan pasangan lainnya. Senyum-senyum malu dan binar mata meliputi pasangan-pasangan muda di sekeliling mereka.
Gelagat sang putri yang tidak terlalu berselera untuk membalas Karles membuatnya heran, lantas sang pemuda teringat akan kejadian menghebohkan yang menimpa sang putri. "Ahhh," katanya. "Aku nyaris lupa. Selamat atas pernikahanmu sebentar lagi."
Tampaknya dugaan Karles memang benar, karena sinar mata Selena hampir redup seutuhnya saat mendengar ucapan itu. Matanya mengerjap sayu dan bibir penuhnya menyunggingkan senyum tipis.
"Terima kasih, meski aku harap aku menikahimu saja, Karles. Kau tetaplah pemuda paling tampan meski mulutmu perlu disekolahkan lagi."
Karles mengernyit, dan jelas-jelas mengabaikan ejekan yang kedua. "Aku harap telinga-telinga di sekeliling kita tuli."
Mengejutkan, meski Karles tidak buru-buru untuk menjual gosip yang satu ini. Kalau pun ada pihak lain yang mendengar dan bergegas menyebarnya sebelum Karles Jefferton, ia tidak keberatan. Para gadis pendengar tahu siapa pembawa berita paling kredibel. Mereka akan tetap datang kepadanya, dan orang-orang yang membayar mahal akan lebih suka mendengarnya dari bibir-bibir ranum para gadis itu. Karles telah menciptakan rantai gosip yang sekuat baja dan berlapis emas.
Segalanya memang tentang emas di tanah Toromish, berbeda dengan dunia utara yang begitu menghargai perak kelabu membosankan mereka. Emas lebih norak dan menjanjikan di sini.
Selena hanya menanggapi ucapan Karles dengan senyum. Dansa sebentar lagi berakhir. Selena menginginkan satu dansa lagi. Berdansa dengan Karles, kendati menarik perhatian para mama vulgar yang mengira adanya percikan cinta tersembunyi menjelang pernikahan sang putri, membuatnya sangat nyaman. Setiap Selena akan menyanggupi undangan pesta, Karles dipastikan juga hadir. Hal sebaliknya tidak berlaku. Karles tidak butuh dampingan siapa pun, berbeda dengan Selena yang lebih menyukai sepupunya si tukang jual gosip ketimbang bangsawan-bangsawan lain yang reputasinya jelas-jelas bersih luar dalam. Karles hanya berkilau di luarnya saja.
Ketika dansa kedua mereka usai, Selena akhirnya menepi untuk menyanggupi jamuan tuan rumah. Karles menyingkir secara otomatis dari lantai dansa yang gemerlap, berpayung kain-kain emas bertumpuk yang terikat pada kandil raksasa. Ia kembali pada kodratnya secara otomatis ketika mendekati sebuah meja bundar di sisi lain aula. Meja ini ekslusif. Ada lebih banyak pria berseragam yang mengawal daripada jumlah pria yang duduk. Namun mereka bukan bangsawan biasa; keempat bangsawan sepuh yang mengitari meja bertaplak sutra itu adalah pensiunan gubernur. Mereka adalah para bangsawan utara yang mendapat gelar pangeran seketika ibunda Selena menikahi Raja Toromish, tiga puluhan tahun lalu. Mereka pula yang tak menganggap bahwa Albertane pantas dijadikan saingan. Selama tiga puluhan tahun terakhir, tak pernah ada pangeran atau bangsawan lain yang berhasil masuk ke lingkar persaingan keempatnya.
Karles mendekat pada Pangeran Martin Kenelway, yang bertubuh jangkung dengan bahu paling lebar di antara semua, rambut perak tipis yang selembut awan di atas kepala licinnya, dan dagu yang selalu terangkat angkuh. Kedatangan Karles membawa senyum licik di bibirnya yang tipis.
"Ini dia," katanya, mengundang ketiga pangeran lainnya untuk menambatkan pandangan pada Karles. Sang pemuda dengan santun memberi salam. "Karlesku yang lebih gemilang daripada mahkota emas! Katakan, apa kau baru saja berdansa dua kali dengan tuan putri?"
Pangeran Kenelway menyilakan Karles untuk menempati satu kursi kosong yang tersisa. Sembari menunggu dua pelayan Toromish untuk menghidangkan sajian daging ikan paus, Pangeran Joos Marmaduke mendengus.
"Dia selalu berdansa dengan sang putri. Mereka sepupu."
"Sepupu ipar." Koreksi Pangeran Edwarden Emeston.
"Tuan putri akan menikahi bangsawan lokal terbaik. Pertunangannya sudah terjadi, tuan-tuan, bukan lagi rumor belaka, andaikata daya jangka memori-memori kalian sudah semakin memendek," tukas Pangeran Lucas Leonarden. Mata gelap kecilnya mengawasi kucuran saus lemon yang mengilap pada potongan daging paus Karles. Ia buru-buru mengisyaratkan seorang pelayan agar menambah jatah hidangannya.
"Apa kau bahkan tahu siapa Karles?" Pangeran Kenelway menghentikan perdebatan di antara ketiganya. "Kalian mungkin pernah melihatnya—atau selalu melihatnya, baik bersamaku atau tidak, pada pesta-pesta mewah yang kalian datangi, tetapi kalian belum tahu siapa Karles Jefferton."
Menyebut nama Jefferton saja sudah cukup untuk membuat berpasang-pasang mata kembali terarah pada Karles, tak terkecuali para pengawal yang diam-diam menyimpan informasi berharga itu di dalam benak mereka. Karles tidak bisa memotong daging ikan paus favoritnya dengan tenang. Ia tersenyum tipis.
"Saya yang tersisa," jawabnya sedikit tercekat, lantas menyuap potongan paus dengan cepat.
"Jadi masih ada yang tersisa," respon Pangeran Leonarden, dan Karles tidak tahu pasti apakah beliau tengah bersimpati atau mencemoohnya. Dahinya yang senantiasa berkerut bahkan sebelum menua membuat segala sesuatunya menjadi berkonotasi negatif. "Kukira kau kacung biasa."
"Tidak ada kacung yang seelok dan sebersih pemuda ini, apalagi bisa berdansa dengan sang putri di tiap pesta." balasan Pangeran Marmaduke mengundang anggukan puas dari Pangeran Kenelway. "Aku sudah lama curiga, tapi aku tahu persis wajahmu yang menyuruh-nyuruh untuk menunggu waktu yang tepat untuk mengatakannya."
"Karles kini sudah dua puluh tahun." Pangeran Kenelway memamerkannya seolah-olah anak kandung bungsu yang dirawatnya penuh cinta, bergelimang kemewahan yang melampaui kakak-kakaknya. "Menyempurnakan segala hal tentangnya! Dia adalah seorang pemuda utara tulen yang menguasai kehidupan selatan Toromish sesempurna pemuda-pemuda lokal yang terkuat. Aku yakin Karles Jefferton adalah bangsawan terbaik, tertampan, dan tersempurna di tanah Toromish sekarang."
"Aku yakin itu," kata Pangeran Emeston. Ia baru saja menandaskan hidangannya dalam diam, dan sembari mengelap kumis tebalnya dari sisa saus lemon, bibirnya menyeringai. "Kecuali masa depannya. Siapa yang menginginkan bangsawan sebatang kara yang engkau jadikan kacung, Kenelway yang Terhormat?"
Ketika tawa mendera di meja, Karles nyaris saja menunduk untuk pertama kalinya saat mendengar cemoohan itu. Ia tak pernah menunduk. Tapi tekanan yang ia rasakan, sekaligus bayang-bayang wajah Selena yang lesu membuatnya nyaris menanggalkan wibawanya.
Pangeran Kenelway menanggapi ejekan itu dengan senyum. "Karles sempurna, karena sebagai bangsawan utara yang tinggi lagi santun ia bisa merasakan kehidupan sederhana dan keras Toromish, memperlakukan pelayan-pelayan kami dengan begitu mulia dan bersahabat, dan tak ada yang tak mencintai Karles karena mulutnya tak pernah meragukan jalan hidup seseorang."
Pangeran Leonarden yang pertama kali berhenti tertawa, tetapi semata-mata karena ia tersedak, dan situasi berubah dengan cepat saat para pengawal panik untuk mencari cara membantunya.
Karles, tentu saja, dengan sigap menepuk-nepuk punggung Pangeran Leonarden dan mengalungkan kedua tangannya di atas perut, menghentaknya hingga sang bangsawan mampu bernapas dengan benar, dan wajahnya yang memerah berterima kasih dengan sedikit enggan. Pertunjukan singkat yang nyaris saja mengundang perhatian besar dari meja-meja bangsawan sekitar itu berhasil membungkam tawa kedua pangeran lainnya, dan senyum terus menghias wajah bengis Pangeran Kenelway hingga pesta berakhir.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top