"I don't need marriage to be a great parent!"

Pangeran Kenelway dan ketiga pangeran lainnya sepakat untuk meninggalkan pesta lebih awal, hanya beberapa saat sebelum berakhir. Mereka suka sekali pujian-pujian karena rela melonggarkan waktu yang berharga untuk hadir di pesta sederhana, dan mengabaikan bisikan-bisikan mencemooh para bangsawan lain karena kesombongan mereka. Keempat pangeran itu sudah pensiun, sepuh, dan selalu didengar. Mereka berhak melakukan apa pun di masa tua sekarang tanpa takut risiko sangsi sosial.

Kereta Pangeran Kenelway berderak dan bergoyang-goyang saat gagal menghindari sebuah cekungan yang tak terlihat di kegelapan malam. Sang pria tua, yang tengah meneguk anggur dari mulut botol dengan vulgar, mengumpat kala pucuk hidung merahnya terciprati anggur.

"Kemudikan yang benar!" Pangeran Kenelway memukul langit-langit kereta. Ia mendesis saat Karles buru-buru mengelap cipratan anggur di tubuhnya, lantas menawarkan saputangan lain untuk sang pangeran. "Demi Tuhan, mending kau kemudikan saja keretanya."

"Tentu saja aku bisa, Lord yang baik, tetapi tidak akan ada yang mendengar keluh kesah engkau selagi mabuk."

"Bah! Dasar anak yang baik." Pangeran Kenelway mendesah keras-keras. Ia meneguk anggurnya untuk terakhir kali sebelum menyerahkan botol itu kepada Karles dengan enggan. Ia segera bersandar lemas pada jendela yang bergetar. Penerangan di sepanjang jalan begitu buruk. Albertane hanya peduli pada rumah megahnya saja, sementara rumah-rumah penduduk di sekitar harus membantu penerangan jalan dengan bergantian menyulut tiang-tiang lentera. Cahaya yang tumpah bahkan tidak lebih terang daripada sinar bulan purnama tanpa awan. Sudah berapa ratus kasus kecelakaan kereta dan roda yang rusak pada malam hari karena jalanan yang juga tak kunjung diperbaiki?

"Aku ingin muntah, Kalesss."

Karles sudah tidak pernah mengoreksi sebutan namanya saat sang kakek tua mabuk. "Apakah Anda ingin keretanya berhenti sejenak, tuanku?"

"Tidak! Tapi kita menginap saja. Cari penginapan yang manusiawi. Aku ingin mandi air panas."

Dengan manusiawi, berarti penginapan yang pantas untuk sang mantan gubernur. Karles mengangguk dan kembali mengingat di mana kereta mereka sedang melaju sekarang. Ia ikut melongok keluar jendela. Mencari penginapan itu mudah. Semakin terang pencahayaan di pekarangan depan dan semakin luas istal kudanya, maka semakin bagus. Kira-kira dua atau tiga kilometer lagi, mereka akan mencapai tepi pusat kota. Lebih banyak penginapan layak di sana.

Mereka beruntung karena Pangeran Kenelway meninggalkan pesta lebih awal, dan itu berarti penginapan-penginapan bagus belum diserbu para bangsawan lainnya. Pangeran Kenelway juga selalu membawa ribuan dimer bersamanya. Ia pasti akan menyewa satu penginapan penuh demi menghindari penat dan kegaduhan tiap sarapan yang disesaki jiwa-jiwa kelaparan.

Kereta akhirnya melambat setelah Karles memukul sebagai isyarat. Mereka berhenti di depan sebuah penginapan yang tidak terlalu besar, tetapi jelas-jelas hanya ditujukan untuk para kaum bangsawan kelas atas. Kaca-kacanya berukir rumit, tirai-tirainya berat dan selalu dilap setiap pagi, pot-potnya dari tanah liat dan semen yang digosok licin, dan dua orang pemuda terkantuk-kantuk yang bekerja sebagai penyambut tamu. Jas kumal dan topi kebesaran di kepala memaksa mereka untuk tampil berkelas, yang membuat keduanya justru terlihat makin menyedihkan saat Karles Jefferton mendekat.

"Bangun." Ia menjentikkan jari pada seorang pemuda yang tersentak kaget. "Turunkan barang-barang."

Sementara kedua kacung itu dengan panik mendekati kereta, Karles mengurus penyewaan penginapan. Pangeran Kenelway sudah memberi pesan yang sama setiap kalinya; pesan seluruh kamar sekaligus, dan buatkan sarapan termahal yang mereka mampu keesokan harinya. Pangeran Kenelway juga ingin bak air panas yang mengepulkan asap, lengkap dengan sabun-sabun wangi dan handuk lembut yang bisa ditemukan di seluruh penjuru kota, dan lebih bagus lagi kalau semua pelayan mau mengacuhkannya malam ini. Pangeran Kenelway benci keintiman pelayanan yang masih dijunjung pada tahun 1840.

Pangeran Kenelway mendapat kamar paling bagus di lantai puncak. Setengah mati Karles membopongnya ke sana. Bukan karena berat tubuhnya, sebab Karles berotot kencang dan mudah baginya untuk menggendong tubuh Kenelway yang semakin renta, tapi karena ulah sang tua yang suka menyeret kaki ke mana-mana. Tingkahnya menarik perhatian para staf penginapan yang mengintip dengan geli, atau kedua kacung yang susah payah membawa barang bawaan mereka. Setelah berhasil mengistirahatkan Kenelway di kasur empuk dan menyodorkan ember untuk muntah, Karles menyelinap keluar kamar dan memasukkan masing-masing tiga keping dimer yang menggiurkan kepada kedua kacung.

"Terima kasih atas bantuannya," ujarnya dengan santun saat kedua kacung itu mencengkeram kantong mereka rapat-rapat. "Kiranya kalian tunjukkan padaku dimana dapur yang bisa kukunjungi dan membuat beberapa hidangan tanpa diganggu gugat, maka itu lebih baik."

"Ada dapur khusus tamu di ujung lorong timur di bawah, Tuanku," seorang kacung menjawab. "Anda sungguh-sungguh tak menginginkan bantuan?"

"Biarkan kami sendiri."

Berharap bahwa perintah itu akan membawa lebih banyak keping tutup mulut keesokan harinya, kedua kacung itu berjanji akan mengunci kawan-kawan pelayan mereka yang serba penasaran semalaman, dan Karles menghargainya. Setelah keduanya pergi, Karles mengintip kembali ke dalam kamar. Tepat saat Pangeran Kenelway tengah mengerang.

"Ahhhh, Rueku yang manis!"

"Rue sedang sibuk menghitung dimer dan memilah-milah gadis, Tuanku. Apa engkau sudah selesai muntah?"

"Padahal aku bisa memberinya dimer berlimpah. Ia tak perlu mengais dimer di tempat terkutuk itu." Pangeran Kenelway nyaris menangis. Ia merebahkan diri sejenak pada kasur yang menguarkan aroma kesturi lembut dan secercah bunga sedap malam. "Mana air panasku?"

"Sudah disiapkan. Apa engkau ingin mandi sekarang?"

"Aku lapar, Anak Muda!"

"Berendamlah dan seusai itu engkau bisa menyantap banyak-banyak makanan yang baik untuk mengobati mabukmu. Apakah engkau bersedia untuk mandi sekarang, Tuanku?"

Pangeran Kenelway menggerutu. "Terserah."

Karles dengan sabar membangunkan sang tua kembali agar duduk, menanggalkan pakaiannya satu per satu dengan santun dan membungkusnya dengan handuk yang lembut. Ia membopongnya ke kamar mandi, sekali lagi menanyakan keperluan Pangeran Kenelway hingga diusir tanpa sadar, dan Karles menutup pintu. Ia membawa ember berisi muntahan turun.

Penginapan senyap seolah-olah tak pernah ada orang di sini. Bahkan meja resepsionisnya kosong, dan pintu depan telah digembok rapat-rapat. Para kusir kereta diamankan di kamar masing-masing dan kuda-kuda dipastikan diasuh oleh para kacung yang lain. Tak ada siapa pun yang berkeliaran di bangunan utama selain Karles sekarang. Waktu menunjukkan tengah malam.

Karles membuka segala toples, menarik keranjang-keranjang kayu, dan memanaskan tungku. Penginapan ini menyetok bahan-bahan makanan dengan cukup baik, kendati Karles menyayangkan kualitas acar mereka yang tidak enak. Tak masalah. Masih ada telur, jahe, ubi, dan ... ah, bayam! Karles harap mereka menyiapkan sarapan daging merah besok. Pelayan-pelayan itu, kendati mereka dihalang-halangi untuk mengintip mantan gubernur Toromish Selatan yang kepayahan, harusnya paham bahwa sarapan yang sangat lezat dan sehat dibutuhkan esok pagi.

Karles mengetuk pintu Pangeran Kenelway setelah satu jam. Ia membawa baki berisi makanan tengah malam yang sangat cocok untuk meringankan mabuk sang tua. Pangeran Kenelway telah mengenakan jubah mandinya dengan rapi, duduk di tepi kasur dengan mata menerawang keluar jendela.

"Kudengar Selena akan menikah. Sudah bertunangan rupanya."

Karles membenarkan seraya menaruh mangkuk-mangkuk porselen ke meja kayu besar, berlapis taplak yang beraroma debu dan apek.

"Kenapa kau tidak menikah saja dengannya? Kau akan menyelamatkan nama Jefferton."

"Aku tidak membutuhkannya."

"Kau bisa bilang begitu karena rumah-rumahku akan menjadi milikmu setelah aku mati. Tapi aku tidak akan mati dengan cepat!"

"Tentu tidak, tuanku, selama engkau mau memperbaiki kebiasaan minum-minummu acap kali salah satu dari mereka mengejek situasi kita. Ketahuilah; kekayaanmu, bahkan kehormatanmu, tak pernah luntur di mata masyarakat mana pun dan akan tetap berada di puncak."

"Puncak." Pangeran Kenelway mendengus. "Dan aku akan mati di tanah miskin ini? Tapi aku juga tidak mau kembali ke Demania Raya yang bagai kutukan Tuhan di atas awan!"

Tak ada yang benar-benar paham racauan Pangeran Kenelway, dan semua selalu menebak-nebak apakah Karles memahaminya dengan sepenuh hati, karena telah membersamainya selama hampir lima belas tahun. Selesai menata seluruh hidangan di meja termasuk menuangkan rebusan jahe yang mengepulkan asap, Karles menghampiri Pangeran Kenelway untuk menuntunnya ke meja. Si tua menolak uluran tangannya.

"Aku bisa sendiri," tukasnya. "Umurku baru tujuh puluh tahun."

"Engkau masih sehat, semua tahu itu."

Baru kali ini Pangeran Kenelway terkekeh. Ia menarik kursinya dengan sedikit terlalu keras dan duduk dengan angkuh. Cupang hidungnya kembang-kempis saat menghirup dalam-dalam segala aroma yang berpadu di depannya. "Anak pintar," pujinya. "Kau bahkan selalu memasak makanan yang enak-enak. Gadis mana pun yang menikahimu sebaiknya tidak hanya ongkang-ongkang kaki saja dan sekadar menanti di kasur."

Karles tersenyum tipis. Ia menyilakan sang tua untuk menyesap jahenya. "Engkau mau mendengar sesuatu dari sang putri, tuanku?" dan tanpa menunggu respon, Karles menambah dengan seringai geli. "Ia berharap lebih baik menikahiku saja."

"Tentu saja, apa kau sudah lihat siapa calonnya? Kau beribu kali lebih tampan dan gagah, meski butuh satu tahun lagi bagimu untuk mencapai usia legal." Pangeran Kenelway menyeruput jahenya, merasakan gelenyar hangat yang mengaliri kerongkongan. Ia memejamkan mata sejenak dan menarik napas dalam-dalam. "Tapi kalau mereka tidak menikah, bakal susah bagi kita untuk tetap bisa tinggal di sini. Harus ada bangsawan lokal yang dinikahi anggota kerajaan."

"Bagaimana dengan anak mereka kelak?"

"Selepas itu, mereka akan menikahi bangsawan utara. Tidak baik kalau mempertahankan banyak bangsawan lokal di istana, atau kita mulai terusir."

Dengan menyebut 'kita', sebenarnya Pangeran Kenelway tidak memaksudkan para bangsawan kelas tinggi semacamnya. Mereka tidak mudah terusir dari tanah jajahan. Barangkali bangsawan sekelas Albertane, yang jelas-jelas berusaha memikat hati para bangsawan lokal, yang bisa terancam untuk didepak kembali ke tanah utara yang tidak lagi menghormatinya. Karles tahu pasti itu.

"Kalau begitu aku akan menikahi putri mereka saja, itu pun kalau mereka melahirkan seorang gadis," Karles membalas dengan ringan.

"Apa kau akan melajang selama dua puluh tahun lagi? Apa kau akan meniruku? Bagaimana kelak aku akan menjawab pertanyaan-pertanyaan kedua orang tuamu di surga?"

Memangnya Pangeran Kenelway akan masuk surga? Kalau pun memang begitu, maka sang pemuda takkan membiarkannya terjadi secepat itu. Karles memilih untuk menyimpan pertanyaan itu di dalam hati, dan membiarkan sang tua menyantap makanan pengantar tidurnya dengan nikmat. Ketika jam di lobi lantai dasar berdentang dua kali, Pangeran Kenelway telah selesai bersantap dan berkata akan membaca sejenak sebelum tidur. Ia mengusir Karles.

"Tidurlah," ujar Pangeran Kenelway, yang selepas itu mengomel pada kanopi tempat tidurnya. "Dan akan kubuktikan bahwa aku bisa menjadi pengasuh yang terbaik tanpa menjadi orang tua dahulu!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top