Part 2


Seperti yang Eyrin ramalkan. Setelah kecewa karena tak ada aroma makanan apa pun yang membuat perutnya mula –yang kata Mamanya adalah tanda-tanda seorang wanita sedang hamil-, Mamanya tak henti-hentinya menyodorkan berbagai jenis makanan yang bisa menambah kesuburan rahimnya. Sudah cukup setiap hari ia berpura-pura tak tahu jika mama mertuanya menyelipkan entah ramuan apa di gelas minumannya, dan berkat bantuan Regar, ia bisa makan makanan apa pun tanpa sepegetahuan mama mertuanya.

"Kau hanya perlu hamil dan melahirkan, dan biarkan mama dan tante Lely ..."

"Mama, Sonia." Lely membenarkan panggilan Sonia untuk dirinya.

"Iya, biarkan mama dan mama Lely yang akan mengurus anakmu nanti."

"Tapi ... ini masih terlalu awal untuk mempunya anak, Ma. A-aku dan Edgar baru saja menikah. Kami perlu beradaptasi ..."

"Beradaptasi? Kalian sudah saling mengenal sejak masih bayi," sergah Sonia.

"Kami tidak terburu-buru." Eyrin melirik ke arah Edgar yang duduk di kursi seberang, sibuk menunduk dan tenggelam dalam tablet di genggaman pria itu. "Benar, kan, Edgar?"

Sonia dan Lely menoleh ke arah Edgar.

"Pst, Edgar!" panggil Eyrin.

Edgar mendongak. Mengangkat alisnya dan menatap bergantian mulai dari Lely, Eyrin, dan Sonia.

"Kau setuju, kan?" tanya Lely.

Edgar tak tahu apa yang ketiga wanita itu bincangkan, ia hanya mengangguk sekali. Lalu berpamit ke lantai atas untuk memeriksa berkas-berkas Regar yang berantakan.

"Melihat tubuh bugarnya, malam-malam kalian pasti sangat panas dan menggelora, kan?" Sonia menyenggol pundak Eyrin menggoda, matanya tak henti-hentinya mengamati bagian belakang tubuh Edgar yang menggiurkan.

"Ma??" Eyrin memutar matanya jengah. Bahkan dalam pandangan mata wanita paruh baya seperti mamanya, Edgar adalah pemandangan terindah. Hanya wanita tidak normal yang tidak tergoda oleh pesona keseksian pria itu.

"Papanya pun tak sebugar Edgar sewaktu masih muda. Kau benar-benar sangat beruntung, Eyrin."

"Kau yang memberinya keberuntungan ini," sahut Sonia.

Oke, pembicaraan ini mulai membuat Eyrin harus mengundurkan diri. Ia berpamit menjadikan toilet sebagai alasan.

"Oke, kami memahaminya. Kalian masih muda."

Sonia mengangguk. "Pergilah. Edgar sudah menunggumu di kamar."

Eyrin membuka mulut, tapi kembali tertutup. Beranjak dari sofa menuju lantai dua. Menuju kamar Regar yang ada di bangunan sebelah kanan.

"Regar!" Eyrin menerobos masuk ke dalam kamar Regar. Regar yang sedang sibuk berbicara mesra dengan ponsel di telinga dan berbaring di sofa panjang menoleh. Mengakhiri obrolan centil tersebut dengan suara ciuman yang menjijikkan dan kata-kata mesra yang membuat perut Eyrin mual. Tak ada waktu untuk berkomentar tentang mainan-mainan pria itu, Eyrin bergegas mengulurkan tangan. "Mana benda itu?"

Regar mengerutkan kening, kemudian memahami apa yang dimaksud Eyrin dan menunjuk kantong berwarna hitam mengkilat yang ada di meja. Eyrin berjalan mendekati benda yang ditunjuk Regar, mengeluarkan isi kantong tersebut sambil merapal mantra.

Lingerie berwarna ungu yang tadi siang dilihatnya di butik. "Kau yakin aku harus mengenakannya?" tanyanya lagi meyakinkan pendapat Regar yang sudah berdiri di sampingnya. Setelah menurunkannya di rumah tadi siang, ia tahu Regar pasti mampir ke butik itu lagi. Tahu sekarang atau nanti dirinya akan membutuhkannya benda itu.

"Aku akan mencobanya. Satu kali saja. Jika tidak berhasil, mulai besok kau tidak akan menjadi kakak iparku lagi," ucap Eyrin.

"Oke." Regar mengangguk, lalu meletakkan tangannya di kedua pundak Eyrin. Memberi wanita itu dukungan dan semangat. "Apa yang harus kulakukan?"

"Aku tidak tahu, apa yang harus kulakukan dengan kain itu? Walaupun kau bukan seorang pria di mataku, kau pasti tahu pikiran seperti apa yang diinginkan oleh seorang pria, kan?"

Senyum tersirat di bola mata Regar yang seketika berkilau. Lingerie dan wanita, semua akan berakhir sangat panas dan membakar. "Aku membayangkan, lampu kamar yang remang, lilin, bunga, anggur, dan kau sebagai makanan utamanya."

Mulut Eyrin meringis jijik. "Kauyakin?"

Regar terkikik. "Bercanda."

"Serius, Re."

"Oke. Tunggu sebentar." Regar mengerutkan kening, tampak berpikir sejenak. "Aku akan masuk ke ruang kerja Edgar, memasukkan obat perangsang ke minumannya, lalu kau menunggu di kamar mengenakan lingerie seksi itu. Aku akan membawanya ke kamar kalian, dan kau hanya perlu menggodanya satu kali, aku yakin dia akan langsung menangkapmu. Sepertinya satu kali cukup untuk membuatmu hamil dan membuat mama kita bungkam. Bagaimana?"

Eyrin tak yakin itu ide yang bagus untuk penyelesaian permasalahan mereka. Tetapi ia sudah merasa sangat putus asa. "Baiklah, cukup satu kali aku akan mengorbankan harga diriku. Jika ini tetap tidak berhasil, mungkin aku akan turun ranjang dan menikah denganmu."

Regar membelalak. Segera menjauhkan kedua tangannya dari tubuh Eyrin dan menyentuh tengkuknya. "Kau membuat bulu kudukku berdiri, Ey. Semangat kita mendadak berubah menjadi horor."

"Maka buat rencana ini berhasil!" Eyrin mengepalkan tangannya di udara.

"Yeayy!!" Regar memukulkan kepalan tangannya menyentuh kepalan milik Eyrin. "Kita pasti berhasil!"

***

Keesokan harinya ...

Hancur berantakan. Selesai. Ia menyerah.

Pagi itu, Eyrin bangun lebih pagi dan sibuk menyiapkan diri untuk berangkat ke kantor. Menghindari bertatapan dengan Edgar dan bersikap seolah pria itu adalah makhluk tak kasat mata yang juga tak peduli dengan keberadaannya. Tak ingin makan pagi di meja yang sama dengan Edgar, Eyrin bergegas berangkat ke kantor dengan menyeret Regar dan sarapan di restoran langganan mereka.

"Aku tak tahu bagaimana dia bisa tahu aku memasukkan sesuatu di minumannya, dan dia menebaknya dengan sangat tepat," ucap Regar penuh penyesalan dan keheranan yang belum lenyap sampai sekarang. "Dua puluh tiga tahun hidup sebagai adiknya, aku baru tahu kalau dia punya indera keenam."

Eyrin mengembuskan napasnya dengan keras. Tak sungguh-sungguh mendengarkan gerutuan Regar karena rasa malu yang ia pendam dalam-dalam sejak tadi malam, kini kembali merebak di wajahnya ketika mengingat kejadian tadi malam.

Bagaimana Edgar yang sama sekali tak melirik ke arahnya ketika ia berdiri menggunakan lingerie seksi itu di depan kamar mandi, setelah menunggu Edgar selama satu jam lebih. Ia berpose seseksi mungkin menyambut kedatangan Edgar dengan harapan akan menghabiskan malam panas konyol dengan pria itu.

Dan dengan sikap dinginnya, Edgar hanya berkata, 'Apa kau tidak tidur?'

"Dia juga mengatakan agar berhenti bergaul denganmu karena aku hanya memberinya pengaruh yang buruk. Ck, Apa di kamarmu tidak ada kaca?" decak Regar.

Ponsel di tasnya yang mengintip keluar, tampak bergetar sejenak tanda satu pesan masuk. Eyrin membukanya kemudian membuang napas lagi.

"Kenapa? Edgar?" Regar menjulurkan kepalanya ke seberang meja, mengintip layar ponsel yang menambah kegalauan Eyrin.

Eyrin menunjukkan notif mbanking di layar ponsel. "Aku hampir mengira dia seorang pemurah," sinis Eyrin.

Mata Regarr membelalak, kembali menghitung deretan nominal yang berjajar menambah saldo rekening Eyrin. "Kenapa gajimu sebagai istri lebih banyak daripada aku yang manager pemasaran?" Regar menarik tubuhnya menempel di sandara kursi restoran, sambil mengeluh, "Ini benar-benar tidak adil!"

Eyrin melempar ponselnya ke tas. Ia bahkan lebih senang ketika gaji kerja –tidak terlalu- kerasnya masuk ketimbang uang dari Edgar yang jumlahnya tiga kali lipat lebih banyak.

Bertopang dagu dengan telunjuk mengetuk-ngetuk pipinya. Tampak berpikir keras. Sebulan mereka menikah, ini pertama kalinya Edgar mengiriminya uang. Sejak pernikahan, segala kebutuhannya tercukupi dengan benar. Gajinya sebagai asisten Regar lebih dari cukup untuk bersenang-senang dengan Regar selama sebulan penuh. Yang tentu saja berbeda dengan gaji para asisten di perusahaan Arsafarich, karena papa mertuanya memasukkannya ke perusahaan sebagai keluarga.

"Uang ini adalah kunci kebebasanku," gumam Eyrin pelan ketika mendadak sebuah ide muncul di kepalanya.

"Apa maksudmu?"

Eyrin hanya diam. Sekarang semuanya akan benar-benar selesai.

***

"Hai, Edgar. Apa aku mengganggumu?" kata Eyrin melongok di pintu ruang kerja Edgar malam itu. Setelah seharian menimbang-nimbang keputusannya, ia pun memberanikan diri menemui Edgar di rumah. Yang tentu saja akan menghabiskan lebih waktu di ruang kerja ketimbang di kamar mereka.

Eyrin masih berdiri di depan pintu menunggu Edgar mempersilahkannya masuk. Sedikit gugup, tapi ia berusaha menghalau perasaan itu.

Edgar menunjukkan map yang dipegangnya. Mengisyaratkan pada wanita itu untuk menunggu sebentar.

Tapi sekarang Eyrin sedang tak ingin menunggu karena takut keputusannya akan berubah dan keberaniannya akan pergi. Menggeram dalam hati, 'Sialan, masalah kita lebih penting dari pekerjaanmu itu!'

Eyrin pun melangkah masuk, membanting pintu ruang kerja Edgar saat menutupnya. Okey, sudah cukup dirinya menjadi nomor dua bagi suaminya sendiri. Eyrin berdiri di depan meja kerja Edgar dan berkata dengan tegas, "Sebenarnya aku tidak peduli apa aku mengganggumu atau tidak."

Edgar tertegun, mengamati ekspresi memaksa di wajah Eyrin. Wanita itu seperti hendak meluapkan sesuatu entah apa itu yang tengah ditahan. Ada ekspresi sekuat baja di manik Eyrin, yang sebenarnya tak diperlukan. Karena ia akan memberikan perhatian penuhnya pada wanita itu kapan pun Eyrin minta.

"Setidaknya berikan perhatianmu beberapa menit saja padaku yang tidak penting ini sebelum kau kembali pada pekerjaan terpentingmu itu, Edgar."

Edgar masih terdiam. Sekali lagi mengamati wajah Eyrin dengan kening berkerut. Ada cubitan kecil di hatinya dengan penggunaan kata 'penting' dalam kalimat Eyrin. Eyrin tentu orang terpenting dalam kehidupannya sejak sumpah pernikahan diucapkan, dan pekerjaannya tidak sepenting seperti yang wanita itu katakan.

"Baiklah," kata Edgar. Menutup map yang ada di hadapannya dan memberikan perhatian penuhnya pada Eyrin. Wanita yang sudah menjadi istrinya sebulan ini. Cantik dan manis dengan caranya sendiri.

Eyrin menarik napas, lalu mengembuskannya dengan kasar dan berkata, "Apa kau yang mengirim uang ke rekeningku?"

Edgar mengangguk sekali.

"Untuk?"

Kedua alis Edgar bertaut heran dengan pertanyaan aneh Eyrin. "Kau istriku."

"Hah, istri kau bilang?" Eyrin mendengus, jawaban Edgar seperti yang sudah ia terka. Tawanya benar-benar akan meledak jika saja ia tidak ingat betapa marahnya dia dengan ekspresi terlalu tenang yang ditunjukkan Edgar saat mengatakan kata 'istri'. "Aku tak butuh uangmu."

"Kau bisa menggunakannya untuk kebutuhanmu."

"Oh, ya? Apa aku juga boleh menggunakannya untuk mengurus perceraian kita? Sepertinya aku butuh pengacara mahal hanya untuk sekedar menghamburkan uangmu."

Edgar tercenung. Wajahnya yang datar kini lebih datar lagi. Punggungnya menegang ketika dengan begitu lancarnya kalimat itu meluncur dari bibir Eyrin dengan sangat lancar. Perceraian? Apa wanita itu tahu dampak yang diberikan padanya?

"Aku sudah muak dengan pernikahan ini, Edgar. Terutama padamu. Kau menganggapku seperti duri, seperti ...." Eyrin berhenti. Otaknya berputar mencari kosakata yang tepat. "... seperti kerikil, batu atau seperti entahlah apa pun itu sebagai penghalang di kehidupanmu yang sempurna." Eyrin berhenti. Kembali mengingat kata-kata apa yang terlewat di ingatannya yang hendak ia semburkan pada Edgar. Setidaknya ia perlu mengeluarkan segala unek-unek yang mendekam di kepalanya sebelum ia dan Edgar benar-benar bercerai, kan.

"Eyrin, kau bukan ...."

"Apa ada yang salah dengan tubuhku? Apa mataku terlalu besar? Apa tubuhku terlalu gemuk? Atau wajahku terlalu aneh?"

Edgar menggeleng, "Tidak ada yang salah dengan tubuhmu."

"Apa aku kurang memenuhi seleramu untuk kau tiduri?"

Edgar menggeleng lagi. Lehernya sudah cukup pegal setelah menghabiskan waktu berjam-jam di ruang kerja dan menekuni semua pekerjaan, dan sekarang seperti akan patah hanya untuk menolak semua pernyataan yang dilemparkan Eyrin di depan mukanya.

"Lalu kenapa kau tidak pernah menyentuhku? Kau bahkan tidak pernah ingin melihat wajahku. Apa aku kurang cantik untuk dipandang sebagai istrimu? Sepertinya matamu yang bermasalah." Eyrin hampir berteriak melampiaskan semua kekesalan dan kecamuk yang ditahannya sejak malam pengantin mereka sebulan yang lalu. Ia tak sanggup lagi diperlakukan selayaknya parasit bagi Edgar.

"Eyrin." Edgar berdiri dari duduknya, "aku ...."

Eyrin terdiam, menunggu selama beberapa detik agar Edgar melanjutkan kata-kata pria itu. Tapi Edgar hanya membungkam sambil menyusurkan jemari di rambut. Nampak begitu tertekan dengan pembicaraan mereka.

"Aku tidak akan memaksamu untuk terpenjara dalam pernikahan ini, Edgar. Mungkin ini jalan terbaik untuk kita berdua. Orang tua kita akan memahaminya." Suara Eyrin mulai melunak. Kemudian wanita itu berbalik dan berlari keluar. Menghalangi air mata tumpah sebelum Edgar sempat melihatnya.

"Eyrin!"

***

"Apa kau tahu pengacara perceraian yang bagus?" Air mata merebak memenuhi seluruh manik Eyrin. Gadis itu mengusapnya seperti anak kecil yang merengek meminta permen pada kakaknya, isakan pelannya perlahan mereda dengan pelukan yang diberikan oleh Regar. "Aku menjadi janda di usiaku yang sangat muda."

"Shh ... tenanglah, Ey. Apa aku harus menikah kemudian bercerai agar kita memiliki status yang sama?"

Eyrin mengangguk. "Kau bisa memungut salah satu wanita-wanitamu dan menceraikannya. Mereka akan berebut menjadi janda dari seorang Regar."

"Tapi mungkin itu akan melukai reputasiku. Mantan jandaku harus benar-benar orang yang terpandang. Kau tahu aku sangat pemilih, kan?"

"Katakan itu sebelum kau memungut mereka secara sembarangan."

Regar hanya menyengir kuda. Lalu keduanya diam, masih dengan sisa isakan Eyrin yang terdengar.

"Kenapa bukan kau saja yang menikahiku waktu itu?"

Mendadak Regar mengangkat bahunya dengan canggung setelah mencerna pertanyaan Eyrin dengan saksama. "Well, ... a-aku tak bisa membayangkan dekat denganmu sebagai seorang pria dan wanita. Kau adalah orang terpenting di hidupku setelah kedua orang tuaku. Bahkan Edgar menduduki peringkat ketiga setelah kau."

Bibir Eyrin semakin manyun dan pundaknya menurun dengan muram. "Mungkin itu yang dirasakan Edgar padaku. Seperti meniduri adiknya sendiri." Eyrin menenggelamkan wajah di kedua lengannya yang terlipat di meja. "Apakah aku seburuk itu?"

Regar menggeleng. Mengelus pundak Eyrin. "Itu bukan salahmu. Kita bertiga terbiasa tumbuh bersama sejak kecil dan kita tak mungkin melenyapkan perasaan itu dalam sekejap. Mungkin ... butuh waktu bagi Edgar untuk melihatmu sebagai seorang wanita."

"Tidak ada waktu untuk kami berdua, Re. Aku begitu tertekan dengan obrolan orang tua kita yang selalu menyinggung tentang cucu. Seolah harga diriku sebagai seorang wanita begitu cacat jika tidak bisa memberikan cucu seperti yang mereka inginkan."

"Hei, jangan merendahkan dirimu."

"Bagaimana aku akan memiliki seorang anak, jika menarik perhatian seorang pria saja aku tidak becus." Eyrin mengangkat kepalanya.

"Aku akan bicara pada Edgar, dia pasti punya alasan." Regar tahu kalimatnya hanyalah bualan. Berhasil membujuk Edgar meminum minuman dari tangannya saja sebua kemustahilan.

"Ya, karena aku aneh dan tidak bisa membangkitkan ...."

Suara pintu yang terbuka menghentikan kalimat Eyrin. Keduanya menoleh pada Edgar yang sudah berdiri di ambang pintu. Rambut pria itu lebih kusut daripada terakhir kalinya Eyrin lihat di ruang kerja pria itu beberapa saat yang lalu.

"Aku perlu bicara dengan Eyrin," ucap Edgar pada Regar.

Regar terdiam sesaat, lalu merasakan lengannya ditahan oleh Eyrin. Menandakan Sesil tak mau meninggalkannya sendirian dengan Edgar. "Kalian memang harus bicara," bisik Regar sambil menyentuh pundak Eyrin untuk menenangkan wanita itu.

"Re," rengek Eyrin sambil menggeleng-gelengkan kepala penuh permohonan.

"Kau bukan lagi remaja labil yang merengek pada orang tuamu karena temanmu menyembunyikan sepatumu, bukan?" bisik Regar. Meremas pundak Eyrin memberikan dukungan. "Jika memang harus bercerai, setidaknya kalian perlu bicara baik-baik. Kita tak bisa menghancurkan hubungan kedua keluarga dengan cara seperti ini."

Eyrin tak bisa membantah kalimat panjang lebar Regar. Meskipun sahabatnya itu pria paling berengsek yang pernah ada di hidupnya, kata-kata pria itu memang bijaksana. Ia pun melepaskan tangannya dari Regar dan membiarkan sahabatnya pergi meninggalkannya dengan Edgar berdua.

Eyrin meremas kedua tangannya dengan gugup. Pandangan matanya beralih dari pintu yang ditutup Regar ke jendela. Ke arah mana pun asalkan bukan pada sosok yang tengah berjalan pelan menghampirinya dan duduk di kursi yang diduduki Regar sebelumnya.

Butuh lebih dari satu menit bagi Edgar untuk memecahkan keheningan di antara mereka. "Aku ... aku sama sekali tak merasa terpenjara dengan pernikahan kita."

Eyrin berniat tak memedulikan pernyataan Edgar. Alih-alih menanyakan alasan kenapa ia meminta cerai, pria itu malah mengungkapkan hal yang sama sekali tak menarik perhatiannya. Setelah ia pikir dua kali, semua sikap dingin Edgar bukanlah karena pria itu terpenjara dengan pernikahan ini, melainkan agar pria itu mengambil manfaat dari dirinya. Namun, Eyrin tak mau mencari tahu niat sebenarnya pria itu padanya. Hatinya terlalu sesak jika kemungkinan-kemungkinan buruk yang muncul di benaknya benar adanya.

Lalu, terpaksa pandangan Eyrin bergerak ke arah tangannya yang disentuh oleh Edgar. Ia terkejut, jantungnya tercekat ketika kulit tangan Edgar bersentuhan dengan kulit tangannya. Ini pertama kali Edgar menyentuhnya, menyentuh saat mereka benar-benar hanya berdua di dalam ruangan yang tertutup.

Menyadari reaksi keterkejutan di mata dan tubuh Eyrin, Edgar segera menarik tangannya. "Maafkan, aku," bisik Edgar penuh penyesalan.

Eyrin menghentakkan kakinya dan berdiri dengan kasar. Menatap marah pada Edgar. "Kenapa kau meminta maaf? Apakah kau melakukan kesalahan padaku?"

"Aku hanya takut membuatmu tak nyaman, Eyrin. Jangan salah paham." Edgar mendongak. Menatap wajah Eyrin yang menjulang tinggi di hadapannya karena ia masih duduk.

"Aku istrimu, untuk apa kau memerlukan ijin bahkan hanya untuk menyentuh tanganku saja? Apalagi meminta maaf. Ketakutanmu itulah yang justru membuatku tidak nyaman, Edgar."

Edgar terdiam sesaat.

"Ataukah ketakutanmu itu hanya alasan di balik kebencianmu pada diriku?"

"Aku sama sekali tidak membencimu," sambar Edgar tersinggung dan ikut beranjak berdiri.

"Lalu kenapa kau selalu mengabaikan keberadaanku?!" bentak Eyrin. "Apakah aku terlalu menjijikkan untuk membangkitkan gairahmu?"

"Eyrin," desah Edgar. Kedua tangannya terangkat meraih pundak Eyrin, tapi wanita itu menepisnya dengan kasar.

"Kenapa kau menyentuhku? Apa kau mulai merasa terancam dengan undangan perceraianku? Apa kau merasa tertekan dengan perasaan bersalah yang akan kau berikan pada kedua orang tuaku nanti?"

"Eyrin, bukan seperti itu." Edgar menggelengkan kepala sebagai penolakan akan tuduhan yang ditembakkan oleh Eyrin. Wajah wanita itu tampak kalut dan tak bisa menguasai emosinya sendiri.

"Sebelumnya kau bahkan tak mau repot-repot menyentuhku." Eyrin bernapas dengan keras sekali. Lalu tiba-tiba ia teringat sesuatu. "Melirikku saja kau tidak sudi."

Edgar memilih diam. Membiarkan Eyrin mengungkapkan perasaanya lebih dulu. Menyela racauan wanita itu tak akan membuat perdebatan mereka berakhir dengan baik.

"Aku bahkan menanggalkan segala rasa maluku hanya demi menarik perhatianmu dengan lingerie sialan itu." Mata Eyrin mulai basah, tapi ia segera berkedip agar tidak terlihat memalukan. Oh ya, tapi apa pedulinya pada Edgar sekarang. Ia sudah terlanjur terlihat memalukan di depan pria itu. "Apa kau tahu bagaimana perasaanku?"

Edgar menggeleng pelan, sekaligus terkejut. Ah, ia ingat kejadian tadi malam. Bagaimana ia bisa melupakannya. Ia bahkan tak bisa tidur dan harus pergi ke kamar mandi untuk mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Benar kata Eyrin, Lingerie sialan! Lingerie itu memamerkan tubuh indah Eyrin, terbuka di tempat yang tepat dan membuatnya menggeram menahan diri untuk tidak merobek kain tipis itu dari tubuh Eyrin sebelum ia membawa istrinya naik ke ranjang bersama dengannya. Dan mengikuti nalurinya sebagai seorang pria terhadap wanita dewasa yang telanjang bersamanya.

Eyrin memukul dada Edgar. "Brengsek sekali kau, bahkan kau tak mau tahu bagaimana wajahku memerah dan meninggalkanku sendirian di atas tempat tidur."

Edgar mendesah keras dalam hati. Setidaknya perasaan menyiksa itu berakhir saat Eyrin mulai memejamkan mata dan menyembunyikan tubuh di balik selimut tebal. Sedangkan dirinya, ia harus menahan gairah yang bergejolak hingga pagi menjelang. Tidur di sofa atau di ruang kerjanya bukanlah ide yang bagus jika Eyrin bangun dan tak menemukannya di ranjang mereka. Atau jika ada salah satu anggota keluarga yang memergokinya.

Eyrin terengah, kembali duduk di kursi dengan lunglai dan kepalanya menunduk dengan kedua telapak tangan menutupi wajah wanita itu yang basah. Kemudian terisak pelan.

Dengan perlahan, Edgar menyentuh pundak Eyrin. Namun, sentuhan itu tak memberikan efek yang berarti. Eyrin masih terisak dan semakin keras. Membuat Edgar memilih untuk menarik tubuh Eyrin dalam pelukannya dan berbisik lembut. "Maafkan aku."

Ada keinginan untuk mendorong tubuh Edgar menjauh dari tubuhnya, tapi pelukan Edgar terasa sangat nyaman dan membuat Eyrin tak berdaya mewujudkan keinginannya. Dasar sialan, seharusnya ia tak boleh selemah ini dengan kata maaf Edgar. Yang dengan mudahnya menghapus segala deretan dosa Edgar pada hatinya.

"Aku tak tahu kalau sikapku selama ini ternyata membuatmu merasa begitu buruk dan menyiksamu." Edgar mengelus lembut rambut Eyrin yang terurai. Harum dan lembut yang selalu menyiksanya ketika ia berada di dekat wanita itu.

Entah apa yang membuat hati Eyrin luluh dengan perlakuan lembut Edgar kali ini. Pria itu membiarkannya meluapkan kekesalan dan amarah yang ia pendam dan memberikan kenyamanan di saat bersamaan dalam sebuah pelukan. Lima menit kemudian, Edgar mengurai pelukan mereka dan menggenggam kedua tangan Eyrin dengan tangan kiri. Sedangkan tangan yang lain menghapus sisa air mata yang masih membekas di pipi Eyrin.

"Aku ingin memilikimu."  

***

Yang ga sabaran, langsung tap love storynya di akun Dreame kalian, ya. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top