Jay's Ramyeon
Musim dingin telah kembali, begitu pula dengan keterpurukan yang Jay alami selama dua tahun terakhir. Lelah, memang. Selalu bertemu dengan kejadian yang sama berulang-ulang. Namun, sampai kapan pun, aku tidak akan pernah bisa memahami perasaannya.
Seperti biasa, pintu kamar itu tertutup rapat. Jay hanya membukanya saat malam menyapa dan perut merintih. Ia tidak peduli dengan apa pun, bahkan perkamen yang teronggok di ruang lukisnya sama sekali tak disentuh. Entah apa yang ia pikirkan, mungkin ada hubungannya dengan kepergian Jungwon, aku tak mau menebak-nebak. Bertanya pula buat apa? Bisa-bisa rumah ini habis diacak-acak olehnya.
Air dalam panci telah mendidih. Segera kumasukkan dua bungkus mi instan ke dalamnya. Dulu, kami selalu menyantapnya bersama teh hijau yang diseduh oleh Jungwon. Andai hal ini berhasil mengingatkan dan membawa Jay ke titik paling mengerikan, aku sudah menyiapkan berbagai nasihat murahan.
"Jay, aku masuk," ucapku tanpa mengetuk pintu setelah mentas dari dapur. Maklum, tanganku sedang penuh.
"Aku nggak mau diganggu."
Aku meletakkan nampan pada nakas, lalu mengambil meja lipat yang tersimpan di samping lemari. Kemudian menata tiga mangkuk dan dua piring kecil dengan rapi. Semua kusiapkan di dekat Jay agar ia bisa melihatnya dengan mudah. Aku yakin, aroma mi instan yang dibawa kepulan asap telah sampai ke hidungnya.
"Aku tahu kamu belum makan. Ibumu yang mengatakannya. Duduk sini."
"Heeseung Hyung, kumohon pulanglah."
"Mau sampai kapan kamu biarkan mangkuk itu kosong, Jay?"
Lagi, air matanya menetes. Sungguh, aku mengatakannya dengan lembut. Atau mungkin, itulah yang membangkitkan memorinya. Ah, entahlah, memprediksi suasana hati Jay di waktu seperti ini tidaklah gampang. Ia menatapku saja sudah cukup, layaknya sekarang.
Lelaki itu segera mengalihkan pandangan pada mangkuk yang sengaja kukosongi. Aku tahu, makna yang kusampaikan tidak meleset, tapi reaksinya kini cukup jauh dari perkiraan.
"Biasanya Jungwon yang mengisinya."
Aku menelan ludah saat mendengar responsnya. "Iya, kan?"
Jay mengangguk. Meski berkaca-kaca, aku dapat melihat senyum tipisnya.
"Anak itu nggak pernah mau membuat mi sendiri. Dibuatkan pun nggak akan dimakan. Dia lebih suka mengambil jatah kita."
Suara Jay terus bergetar. Aku menyambut tangannya saat ia berjalan mendekat. Kemudian menuntunnya agar duduk di depan mangkuk yang kosong tersebut. Ia menatap lekat, aku pun begitu.
"Tapi, sekarang nggak ada yang mengganggu kita, Hyung. Dua mangkuk mi ini nggak akan habis. Jungwon nggak ada di sini."
"Dia ada di sini," Aku mendekati Jay dan menyentuh dadanya, "di sini."
"Aku nggak mengerti, Hyung," ucapnya sambil menggeleng.
"Jay, aku bisa menghabiskan dua mangkuk ini sendirian. Kamu bisa mengusikku seperti yang Jungwon lakukan."
"Buat apa? Itu nggak mengubah apa pun."
"Tentu, tapi setidaknya kehadiran dia tetap terasa. Jadilah perantaranya, Jay."
Sebenarnya, aku sendiri tak paham dengan apa yang kuucapkan. Namun, ketidakhadiran Jungwon yang berlarut-larut tidaklah baik untuk diratapi. Lantas, aku mengusap punggung tangan Jay lalu menggenggamnya erat.
"Kamu tahu, kan, apa yang biasa Jungwon lakukan?"
Seraya tersenyum, kami saling tatap dan kompak mengatakan, "Memberi lada tanpa izin."
Setelahnya, Jay melakukan hal yang selalu Jungwon perbuat. Meski masih samar dan diselingi tangis, aku telah menemukan rona hidupnya kembali.
❄️❄️❄️
TAMAT
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top