4 - Hukuman

Peluh bercucuran dari dahi seorang gadis berseragam putih abu-abu yang sedang menyapu halaman belakang, ia mengelap tetes demi tetes keringat dengan ujung lengan baju. Setelah itu ia menarik-narik baju bagian dada, berharap ada angin yang masuk. Bagian punggungnya sudah basah, tanda ia sudah bekerja keras.

Merasa kakinya juga gerah, ia menatap sekitar, saat dirasa aman ia lantas berpindah menarik-narik bagian depan rok sehingga angin masuk dari bawah. Segar.

Netra cokelatnya menatap sekeliling lelah, lalu mengembuskan napas lega saat semua daun yang tadinya berserakan sudah terkumpul di beberapa tempat. Sekarang ia hanya perlu membawa pengki dan memasukan sampah-sampah organik itu ke dalam trash bag.

Tepat ketika ia selesai di satu tumpukkan daun yang pertama, angin berembus kencang. Memberi rasa segar pada tubuh Reira, namun juga membuatnya kesal karena sekarang daun-daun dari pohon berguguran dan tumpukkan daun yang sudah susah payah ia kumpulkan kembali berserakan. Angin sialan!

Dengan perasaan kesal setengah hidup, dia kembali menyapu, tapi kali ini daun-daun yang ia kumpulkan langsung dimasukkan ke dalam trash bag. Hatinya lagi-lagi mengutuk dua teman kampret yang dengan kaki panjangnya tega meninggalkan ia sendirian.

Setelah daftar dosanya bertambah satu, guru BK menyuruhnya untuk membersihkan halaman belakang. Sebuah tempat yang cukup indah sebenarnya karena banyak bunga yang tumbuh. Jika tidak ingat pengurus kebun yang mewanti-wanti jangan sampai ia menyentuh keindahan berwarna-warni itu, ia pasti sudah memetiknya sejak tadi.

Matahari yang cukup terik membuat peluh lagi-lagi keluar, dan gadis itu hanya bisa merutuk saat sadar hanya dia yang dihukum. Kedua kutu kupret itu pasti sedang bersembunyi di suatu tempat, padahal ia sudah memberitahukan nama lengkap dan kelasnya pada guru piket tadi.

Tidak ada yang namanya solidaritas dalam hukum, jadi Reira dengan sengaja membawa kedua temannya turun untuk dihukum bersama. Ini baru namanya setia kawan, tidak akan membiarkan diri jatuh sendirian.

Tiga puluh menit kemudian, barulah semua pekerjaan Reira selesai. Meskipun ada beberapa daun yang terlewat karena ulah angin. Ia pura-pura buta dan langsung pergi menuju tong sampah di dekat gudang tempat menyimpan alat-alat kebersihan.

Sekarang ia benar-benar gerah dan haus, jam istirahat sudah terlewat, tapi kakinya tetap melangkah menuju kantin. Beli air minum sebentar enggak dosa, kan? Kepalang telat sekalian saja ia berniat rebahan sebentar di sana.

Sebelum benar-benar pergi, sekali lagi matanya melirik ke samping kanan, tempat bunga-bunga dari suku Amaryllidaceae bermekaran. Bunga yang paling menarik perhatiannya adalah bunga Scadoxus multiflorus yang dari jauh terlihat seperti Randa Tapak raksasa berwarna merah.

Ah, andai ada hamparan Lycoris radiata, pasti taman belakang ini akan semakin indah. Tapi rasanya akan menakutkan juga karena bunga satu itu dikenal sebagai bunga kematian.

Reira kembali batal pergi saat teringat akan julukan bunga yang dikenal Bunga Desember itu, cinta abadi. Warnanya yang merah membara ketika mekar melambangkan cinta, indah dan mempesona. Meski kemudian rontok dan layu. Tapi dia tidak mati, masih ada umbi yang akan terus hidup sampai waktunya untuk memekarkan bunga datang lagi. Asal terus disiram dengan telaten setiap hari.

Bukankah cinta juga begitu? Ada masa di mana kita membara karena cinta, bahkan ada beberapa orang yang sampai terbakar. Lalu perlahan akan tenang hingga akhirnya tidak terasa lagi. Tapi cinta itu akan tumbuh membara lagi jika terus disiram dan dipupuk, asal orangnya sabar saja.

Reira mengambil pot itu, ingin memerhatikan bunga Scadoxus lebih dekat. Mulutnya bertanya tanpa bisa dicegah, "Lo sebenarnya bunga yang melambangkan cinta abadi atau gagal move on?"

Krik. Krik. Krik.

Reira menggoyang pot itu sebentar, tiba-tiba ingatannya terbang pada seseorang yang lebih muda dua tahun darinya, Ardi. Jika bunga ini melambangkan cinta abadi, ia berniat untuk memberikannya pada pemuda itu saat menyatakan perasaan nanti.

Selama ini ia selalu mendengar dari Zidan bahwa menyatakan cinta menggunakan bunga merupakan hal yang romantis. Biasanya pemuda itu akan memberikan bunga mawar pada kekasihnya, tapi Reira tidak ingin melakukannya. Selain merasa terlalu biasa, ia juga tidak sudi melakukan hal yang sama dengan play boy menyebalkan itu.

Reira mendengar suara langkah kaki, ia pun mengalihkan pandangan intensnya dari bunga. Mungkin itu tukang kebun? Ia berniat untuk acuh, tapi saat matanya melihat siapa yang datang, hatinya langsung berbunga-bunga.

Itu malaikatnya, Ardi Nugraha!

Tanpa sadar kaki Reira membawanya untuk mendekat. Ia akan menyapa dan ... ia melihat pot bunga Scadoxus di tangan, kenapa ia tidak menyatakan perasaannya saja sekarang? Meskipun bunga ini bukan miliknya, tapi artinya tetap sama, kan? Bunga cinta abadi.

Ardi yang berniat untuk mencari tukang kebun karena disuruh oleh guru mengernyitkan dahi saat matanya menangkap sosok orang yang membuatnya cukup trauma. Setelah memakan benda yang mungkin kue buatannya, Ardi harus bolak balik ke kamar mandi.

Kenapa gadis itu ada di sini? Kali ini dia tidak mungkin merisaknya, kan? Mereka hanya kebetulan bertemu di sini, kan?

Ardi melangkahkan kaki untuk mendekati gudang, karena katanya tukang kebun itu sering ada di sana untuk mengurus bunga-bunga kesayangannya. Ketika mereka berpapasan, ia kira gadis itu hanya akan melewatinya, tetapi ternyata malah berhenti tepat di depannya, membuat ia mundur dua langkah karena merasa terlalu dekat.

"Ini." Gadis itu mengangsurkan sebuah pot yang ditanami entah bunga apa, bentuknya bulat berwarna merah dan mirip bunga lili. Ardi tidak tahu namanya.

Pemuda itu kembali mengernyitkan dahi heran, kenapa diberikan padanya? Tukang kebun yang menyuruhnya atau bagaimana? Apa gadis itu memintanya untuk merawat bunga ini? Dia benar-benar tidak mengerti.

Ia pun berniat menerima saat melihat tatapan memaksa gadis itu, biar nanti dia simpan saja pot ini di dekat tumbuhan bunga Bakung yang tumbuh subur di depan gudang. Sekarang ia hanya ingin menemui tukang kebun dan segera kembali ke kelas.

Tapi sebelum dia bisa memegangnya dengan benar, gadis itu berteriak, lalu menunduk, melepaskan pegangan pada pot sepenuhnya.

Brak.

Pot itu jatuh dengan Ardi yang hanya sempat memegang bunganya, membuat warna merahnya berguguran. Bunga itu tidak terselamatkan.

"Semut sialan, kenapa harus menggigitku di saat penting seperti ini, ha?" Ardi mengalihkan tatapan dari bunga mengenaskan itu pada gadis yang sedang menggerutu dan tangannya sibuk menggaruk betis.

Ardi tidak tahu harus berkata apa, kejadiannya benar-benar terlalu mengejutkan.

Ia mendengar suara dari belakang, pengurus kebun baru datang entah dari mana. Ia batal mengeluarkan suara saat pria paruh baya itu menjerit terkejut sarat akan kemarahan.

"Apa yang kalian lakukan pada bunga kesayangan Bapak?!"

Ups, Reira segera berhenti menggaruk dan Ardi ikut mematung. Pemuda itu baru saja masuk ke dalam lingkaran kesialan Reira.

"Bapak gak mau tahu, kalian harus ganti bunganya dan bantuin Bapak ngurus kebun selama satu minggu ke depan!"

Uh, Reira lagi-lagi terkena sial, parahnya sekarang dia membawa orang tidak bersalah bersamanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top