29 - Pembicaraan Empat Mata

Jantung Reira jedag-jedug. Gadis itu tidak sabar ingin mengetahui peringkatnya semester ini. Walaupun sistem rangking sudah tidak ada, tetapi selalu ada jalan untuk mengetahui peringkatnya. Menodong wali kelas misalnya. Lagipula, walau sudah tidak boleh pakai rangking, juara satu sampai tiga tetap
diumumkan. Kalau mereka enggak dikasih tahu peringkat berapa, bukankah tidak adil? Ia siap berdemo kapan saja.

Gadis itu ingin masuk ke ruangan, tapi siswa tidak diperbolehkan. Hanya orang tua yang ada di dalam. Biasanya juga akan ada rapat membahas nilai siswa selama satu semester ini antara wali kelas dengan orang tua. Reira harap-harap cemas, semoga nanti bisa lolos sari omelan nyonya besar.

Gadis itu naik ke kursi di koridor, mengintip keadaan kelas dari luar jendela. Ia tidak sendiri, ada beberapa anak lain yang penasaran juga melakukan hal sama. Sisanya anak-anak kalem yang lebih sabar menunggu hasil.

"Gimana keadaan di dalam, Re?" Zidan bertanya, cowok itu tidak ikut naik ke kursi karena sudah tidak ada lagi tempat. Nazril pun mengalami hal serupa. Mereka pasrah menunggu hasil pengamatan anak-anak lainnya saja.

Reira menjawab tegang. "Panas!" ujarnya berlebihan. Padahal kenyataannya hanya sedikit ribut karena membahas persiapan UNBK.

Zidan ingin mengintip juga, tapi tidak mungkin ia menyingkirkan gadis-gadis di sana, galak semua. Kecuali Reira tentunya.

"Re, gantian dong!" pintanya sambil menarik tangan gadis yang hari ini menguncir satu rambutnya.

Reira menggeleng tidak mau. Ia masih penasaran dengan peringkatnya, kenapa rapatnya lama sekali? Bahas apa saja, sih? Penting enggak bahasannya? Kenapa pula pembagian raport harus menjadi agenda terakhir?

Diana yang merasa mereka terlalu berisik pun berkomentar, "Kalian ngapain, sih? Turun! Jangan malu-maluin! Udah kelas XII juga."

Reira dan beberapa temannya hanya nyengir kuda, tidak mengindahkan perkataan Diana.

"Kita cuma pengen tahu peringkat kita doang, kok, Di!" bela Zidan.

Diana memutar bola mata malas. "Kan gak bakal diumumkan, kalau mau tahu peringkat harus nanti tanya ke wali kelas setelah pembagian raport selesai."

Zidan cuma nyengir, memang apa salahnya ingin mengintip sekarang? Namanya juga orang lagi penasaran, ingin cepat-cepat mengetahui jawaban.

"Permisi," sapa seseorang yang baru saja datang menghampiri mereka. Zidan dan Nazril segera menyambutnya.

"Weh, kemana aja lo, Di? Kok baru kelihatan?" tanya Nazril sembari merangkul pundak Ardi.

"Ah, ada masalah keluarga, Kak," jawab Ardi tersenyum canggung. Walau sudah memantapkan hati untuk mulai terbuka, ia masih belum terbiasa dengan keakraban yang diberikan Nazril dan Zidan.

"Oh, pantesan. Gue mau ngucapin makasih karena udah bantuin belajar waktu itu, ulangan gue lumayan terselamatkan." Zidan meninju lengan Ardi akrab.

"Nah, gue juga." Nazril mengangguk sembari tersenyum lebar.

Ardi menunduk sedikit malu, ini pertama kalinya ia diberi terima kasih setulus ini, di depan umum pula.

"Oh, iya. Ngapain ke sini, Di? Tumben," komentar Zidan heran. Biasanya cowok ini cuma diam di kelas, dan sepertinya hanya terkenal di kalangan anak kelas X. Cowok itu cukup heran juga dengan bagaimana cara Reira menemukannya.

Ardi mengingat kembali tujuan awalnya, ia celingak-celinguk. Dapat ia lihat beberapa orang memperhatikannya sambil berbisik, ia pun hanya mengangguk sopan sambil sedikit tersenyum saat mata mereka bertemu. Bagi Ardi itu adalah bentuk kesopanan yang akan ia jadikan kebiasaan mulai sekarang, tetapi bagi beberapa gadis yang ia beri senyum memberi arti berbeda. Mereka terpesona.

Siapa dia? Kenapa baru pertama kali mereka melihatnya?

Tidak menemukan orang yang dicarinya, Ardi memutuskan untuk bertanya saja. "Gue mau ketemu sama Reira, dia di mana, Kak?"

Ah, soal panggilan Ardi, kenapa ia tidak memanggil dengan sebutan kak? Itu karena Reira sendiri yang memintanya. Gadis itu merasa masih muda, jadi tidak ingin dipanggil kakak oleh gebetan sendiri. Tengsin.

Zidan hampir saja tersedak air ludahnya sendiri, sementara Nazril segera melepaskan rangkulan.

Ardi mencari Reira terlebih dahulu! Sungguh keajaiban! Apa ini artinya cinta gadis itu berbalas? Kedua cowok itu masih sulit untuk percaya.

Zidan menunjuk ke arah di mana Reira berada, sepertinya gadis itu terlalu fokus mengintip hingga tidak menyadari keributan di sekelilingnya. Ardi tersenyum kecil, lantas berjalan mendekati gadis yang beberapa hari terakhir ini mengganggu pikirannya.

Zidan dan Nazril saling berpandangan, mereka tertegun sejenak. Itu tadi Ardi ... tersenyum? Sejauh yang mereka tahu, sereceh apa pun tingkah mereka dan Reira saat belajar bersama, cowok itu hanya akan menunduk atau menarik sedikit sudut bibirnya. Benar-benar terlihat seperti orang yang dipaksa tersenyum. Tapi sekarang ....

"Dia berubah," ujar Zidan sambil menatap punggung cowok yang saat ini masih diam di belakang Reira. Ucapannya langsung diangguki Nazril.

"Rei," panggil Ardi setelah memantapkan hati. Entah kenapa barusan ia agak ragu. Tapi sekarang jantungnya malah berisik. Tak bisa dipungkiri, tiga minggu tidak bertemu dan berbicara, rindu itu menyelusup ke dalam dada.

"Apa?" tanya Reira tidak sadar siapa yang memanggil. Ia masih fokus menatap ke dalam kelas.

"Rei," panggil Ardi sekali lagi. "Bisa ... minta waktunya sebentar?"

Reira mengerutkan kening, tunggu .... Tidak ada teman seangkatan yang bicara dengan sopan seperti itu padanya. Kenapa suaranya juga terdengar tidak asing?

Gadis itu menolehkan kepala perlahan, dan betapa kagetnya ia melihat sang pujaan hati di sana. "A-ardi?" panggilnya tidak percaya. Kakinya bergerak sedikit ke samping kanan, hingga akhirnya Reira hilang keseimbangan dan ... jatuh.

Jangan bayangkan gadis itu jatuh ke pelukan Ardi seperti di film, ia jatuh ke sisi kanan kursi dan tengkurap di hadapan malaikatnya. Beberapa orang yang melihat menertawakan, tapi Ardi dengan sigap menolongnya. Memang benar dia itu malaikat.

Reira menerima uluran tangan Ardi, lalu tersenyum canggung. Setidak tahu malu apapun ia, jika jatuh di hadapan gebetan tentu bisa merasa malu juga. "Makasih!" ujarnya, lalu gadis itu mengusap-usap bagian belakang rok yang dirasa kotor untuk menutupi salah tingkah.

Ardi tersenyum geli, lalu mengulangi permintaannya. "Boleh minta waktunya sebentar? Gue mau bicara."

Reira segera berhenti dari kegiatannya, lantas menatap Ardi bingung. Kesambet apa cowok ini ingin mengajak berbicara terlebih dahulu? Ah, tapi Reira juga ada sesuatu yang ingin diucapkan, jadi ia mengangguk. "Boleh. Mau bicara apa?"

Ardi menggaruk tengkuk, melihat sekeliling, mereka menjadi pusat perhatian, membuatnya tidak nyaman. "Bisa kita pindah tempat?" tanyanya berhasil membuat para penonton kepo kecewa.

***

Ardi dan Reira memutuskan untuk berbicara di taman belakang sekolah tempat mereka dulu dihukum bersama. Tempat itu sepi, bahkan tukang kebun tidak ada di sana. Maklum, hari ini hari terakhir sekolah. Mereka sengaja duduk di rumput sambil memperhatikan bunga Scadoxus yang sedang cantik-cantiknya. Seperti namanya, bunga itu memang paling banyak mekar di bulan Desember.

"Terima kasih," ucap Ardi membuka percakapan. Perkataannya berhasil membuat Reira yang sedang menikmati suasana segera menatap ke arahnya heran.

"Untuk apa?"

"Untuk semuanya." Ardi tersenyum kecil, pandangannya fokus pada dedaunan yang bergoyang tertiup angin. "Terima kasih enggak menyerah buat jadi teman gue. Gue awalnya takut sama lo, Rei." Cowok itu menatap gadis di sebelahnya sambil tersenyum malu. "Setiap ketemu lo gue pasti kena sial, makanya gue menjauh dan lari setiap ngeliat lo."

Reira ber-oh ria sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Jadi itu alasannya. Ia meringis, terkena sial sudah seperti hobi baginya, jadi ia tidak akan menyangkal.

"Gue pikir lo mau ngebully gue," ujar Ardi yang berhasil membuat Reira menatapnya tidak percaya, memangnya dia terlihat sejahat itu apa?

Ardi tersenyum kecil ketika ingatannya kembali pada saat Reira mengajaknya berkenalan. Untunglah ia menerima tawaran pertemanannya, jika tidak mungkin sekarang Ardi akan sangat terpuruk, terlebih saat kehilangan ibu yang paling dikasih. Tetapi berkat Reira ia bisa berpikir lebih jernih dan melihat ke depan, memberinya harapan untuk membuka lembaran baru. Reira mungkin tidak sadar, tapi ia berhasil menarik pergi kegelapan dari dalam hati Ardi, walau dengan cara yang unik.

"Terima kasih, lo udah ngasih warna buat hari-hari gue yang kelabu. Lo mungkin enggak sadar, tapi cara lo hidup berhasil ngasih gue motivasi. Mungkin ada banyak orang yang datang dengan niat buruk, tapi tidak menutup kemungkinan ada satu orang yang tulus." Ardi kini menatap Reira tepat di mata. "Selama beberapa minggu ini ... terima kasih sudah menjadi teman pertama gue di SMA."

Reira tersenyum lebar, ia mengusap tengkuk malu. "Sebenarnya gue enggak benar-benar tulus ingin berteman," ujarnya berhasil membuat Ardi membeku tidak percaya. Tapi kelanjutan ucapan Reira malah semakin membuat cowok itu tidak bisa bergerak bak patung. "Gue pengen lebih dari itu."

Setelah hening beberapa lama, Ardi akhirnya tersenyum lebar. "Untunglah saat rok lo bocor gue nurutin hati kecil gue buat turun ke lantai satu menggunakan tangga di jurusan IPS, walau jaraknya dari ujung ke ujung," gumamnya yang tidak dapat didengar Reira.

Kedua manusia itu berpura-pura tenang padahal jantung sudah menggedor-gedor ingin keluar. Reira senang bisa berbicara berdua dengan Ardi, dan cowok itu senang karena perasaannya berbalas.

"Terima kasih juga udah ngajarin gue matematika waktu itu, ujian gue lancar jaya. Gue bahkan jadi orang pertama yang keluar dari kelas. Sebagian besar soalnya bisa gue selesaiin dengan menghitung, ya, walau sisanya menghitung kancing dan enggak yakin dengan isinya, tapi gue benar-benar senang. Ini pertama kalinya gue ngerjain soal matematika sebanyak itu!" Reira berkata semangat, ia sengaja membuka kembali topik untuk menghilangkan kecanggungan karena ucapannya tadi.

Ardi tertawa kecil melihat betapa semangatnya Reira, tangannya terangkat ingin mengacak surai hitam milik gadis itu, tetapi segera ia urungkan. Alasannya ... ia merasa belum berhak.

"Oh, iya. Lo ke mana aja? Gue nyariin lo dari hari pertama UAS tahu." Reira kembali menjadi dirinya. Jantungnya memang berdetak tidak karuan, tangannya pun berkeringat dingin, tapi ia tidak akan membiarkan hal semacam itu mengontrolnya.

Gadis itu ingin protes, ia memang masih bisa tertawa bersama teman-temannya. Tetapi jauh di lubuk hati, ia rindu pada sosok Ardi. Apalagi mereka tidak saling sapa lebih dari tiga minggu.

"Sebelum gue jawab pertanyaan itu gue mau tanya dulu, lo pacaran sama Zidan?" Ardi ingin memastikan sesuatu. Ia memang tidak percaya Reira memiliki hubungan khusus dengan sahabatnya, terlebih ia juga sudah mengakui perasaannya secara tidak langsung tadi. Tapi hal ini tetap mengganggunya.

"Enggak mungkin! Enggak akan! Enggak mau!" Gadis itu menjawab kesal. Ia bergidik ngeri, tidak pernah terlintas satu kali pun dalam otak untuk menjadikan Zidan sebagai pacar. Amit-amit punya cowok playboy begitu.

"Lalu saat di kantin, kalian saling mengucapkan I love You, kan?" Ardi masih ingin menyelidiki.

Mengingat kejadian menyebalkan itu, Reira malah semakin kesal. "Dia minta tolong buat ngurusin pacarnya kayak biasa."

Oh, jadi karena itu. Ardi mengangguk paham. Ya, setelah dipikir-pikir, Ardi juga merasa aneh dengan percakapan mereka waktu itu. Alih-alih saling mengungkapkan perasaan, Zidan lebih terlihat seperti sedang mengajar.

Ardi mengubah posisi duduk menjadi menghadap Reira, dan ia memaksa gadis itu untuk melakukan hal yang sama. Jadilah sekarang mereka berhadap-hadapan.

"Rei, ibu gue meninggal dua minggu yang lalu," beritahunya yang segera membuat wajah Reira berubah. Ardi menggelengkan kepala, memberi tanda bahwa ia baik-baik saja. "Gue sedih tentu saja, tapi sekarang gue udah bisa menerimanya."

"Gue turut berduka cita, Di." Reira menundukkan kepala, gadis itu ikut merasa sedih. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya hidup tanpa seorang ibu.

"Terima kasih." Ardi tersenyum. "Terima kasih untuk semuanya, dan ada satu hal lagi yang pengen gue kasih tahu."

Reira mengangkat wajah, ia menatap Ardi penasaran. Sementara cowok itu menarik napas untuk memantapkan hati.

Ardi sudah memutuskan dan sekarang saatnya ia memberi tahu Reira pilihan hidupnya.

"Gue ... bakal pindah sekolah."

tbc.

BWAHAHAHA.

HUJAT AKU!!! 🤣🤣🤣

Ending part ini adalah bagian yang paling aku suka, aku sampai ketawa seharian setelah nulis, wkwkwk.

Ah, btw, besok Reira tamat. Kumasih agak gak rela pisah sama Reira. Tapi ... aku seneng banget! Akhirnya ada satu ceritaku yang tamat juga! Huhu, aku terharu. 🥺🥺🥺

Terima kasih buat yang udah baca, vote sama komen cerita ini. Big love buat kalian.

Sampi jumpa di ending besok, babai!

Sekian, Ryn. 🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top