28 - Keputusan Ardi

Hari Senin merupakan hari yang ditunggu-tunggu Reira, apalagi kalau bukan menunggu pengumuman kejuaraan pekan olahraga. Sudah dapat dipastikan dirinya akan maju ke depan. Gadis itu benar-benar tidak sabar, ia sudah bergerak tidak jelas bak cacing kepanasan karena upacara sudah berlangsung cukup lama. Rasanya ingin dilewat saja langsung ke bagian pengumuman-pengumuman.

Teman-teman sekelasnya bahkan sudah menyerah untuk menyuruh gadis itu diam dan berhenti merusak barisan, parahnya lagi ia memilih untuk berdiri di barisan paling depan. Mata beberapa guru yang hadir sudah tertancap lurus padanya sejak upacara dimulai.

"Re, santai dikit, dong! Jangan malu-maluin," bisik Diana yang berdiri di belakang Reira kesal.

Reira menoleh ke belakang, lalu balas berbisik, "Gue kebelet, Di!" Awalnya ia memang tidak bisa diam karena terlalu semangat, tetapi sekarang kalau ia diam bisa-bisa air seninya meluncur bebas. Ih, amit-amit! Reira ogah jadi bahan tertawaan lagi.

Beberapa orang yang mendengar ucapan Reira sontak menatap gadis itu tidak habis pikir, ada saja tingkah anehnya. Jika ada juara gadis paling enggak jelas di sekolah ini, Reira pasti jadi juaranya.

Reira mencoba menahan, tetapi ia benar-benar tidak kuat. Akhirnya gadis itu meninggalkan barisan dan berlari ke belakang, lalu menuju tempat di mana toilet berada. Beberapa orang melotot tidak percaya, gadis itu ... benar-benar, deh!

Reira kembali ke lapangan tepat saat waktunya diumumkan juara. Kenapa ia lama sekali di toilet? Gadis itu malas ikut baris lagi, akhirnya memutuskan untuk nongkrong saja di toilet sampai upacara selesai. Kalau nanti ditanya kenapa ia lama, gampang saja, tinggal jawab, "Gue tadi habis eek dulu, eeknya gede banget, warnanya kuning busuk, terus susah keluar!"

Paling orang-orang akan segera menjauh dan berhenti bertanya lagi jika hanya obrolan jorok yang keluar dari mulutnya. Bukankah idenya sangat brilian?

"Selamat pagi, teman-teman sekalian!" sapa pengurus OSIS yang hari ini bertugas untuk membacakan hasil lomba.

"PAGI!" Jiwa-jiwa bar-bar terlepas dari kandang, mereka sudah tidak sabar untuk mendapatkan sertifikat dan hadiah yang berupa uang pembinaan itu. Tidak tahan ingin segera foya-foya. Tentu saja ini hanya berlaku untuk mereka yang menang banyak, jika yang tidak memenangkan lomba sama sekali, ya, hanya bisa gigit jari.

Tahun ini juara satu paling banyak dimenangkan oleh kelas XII, jadi mereka bisa hedon nanti. Bisa sombong juga kepada adik kelas, membuktikan mereka memang senior yang hebat.

"Baiklah, sepertinya semua sudah tidak sabar untuk mendapat hadiah, ya? Bagaimana kalau langsung saja diumumkan?"

Sorak sorai terdengar dari hampir seluruh penjuru lapangan upacara, yang paling bising tentu saja angkatan kelas XII, terutama kelas XII IPS 2 di mana Reira berada.

"Nanti perwakilan kelas yang dipanggil silakan maju ke depan, ya!"

Reira sudah ingin maju jika tangannya tidak ditarik oleh Bayu, cowok itu berteriak, "Belum dipanggil, oy!"

Orang-orang tertawa dengan candaan receh mereka. Apalagi ketika Reira menjawab dengan jumawa, "Nanti pasti dipanggil ini, gue mau mempercepat waktu aja."

Kenyataannya, Reira tidak dibiarkan maju. Gadis itu dipegang oleh teman-teman satu kelasnya erat hingga tidak bisa bergerak. Sengaja ingin membuatnya kesal setengah hidup.

Keseruan di lapangan terus berlanjut, sampai kelas Reira dipanggil, tapi gadis itu hanya bisa mencak-mencak karena dipegang Bayu dan Nazril dengan kuat. Kenapa mereka iri sekali jika ia yang maju ke depan? Kenapaaaaa?

"Juara dua cabang voli putri dimenangkan oleh kelas .... Selamat untuk kelas XII IPA 2! Silakan perwakilannya maju ke depan."

"Selanjutnya, seperti yang sudah kita ketahui bersama, juara satu jatuh pada kelas dengan pemain yang dipanggil sebagai gadis jadi-jadian, Kak Reira! Selamat untuk kelas XII IPS 2!"

Reira meronta ingin maju, ia protes keras, "Ih, kalian manusia-manusia sirik, minggir! Itu nama gue udah dipanggil!"

"Diam, Re! Lo bar-bar banget, sih!" Teman-teman sekelas masih mempermainkan Reira, membuat suasana semakin gaduh. Akhirnya yang maju adalah Diana, membuat Reira protes keras.

Tidak jauh dari mereka, di barisan kelas X, Ardi yang hari ini memutuskan untuk masuk sekolah menatap keributan itu dengan perasaan campur aduk. Ia ... iri. Kapan bisa bermain bersama teman-teman seperti itu? Terlebih ... Ardi juga ingin bisa bercanda bersama Reira.

Sudah hampir dua minggu mereka tidak saling sapa, Ardi merasa ... sedikit rindu. Ah, tidak, tidak. Apa yang baru saja ia pikirkan? Cowok itu menggelengkan kepala, lalu kembali fokus pada pengumuman kejuaraan.

Namun, bisik-bisik beberapa gadis membuatnya tidak bisa fokus ke depan, melainkan malah penasaran dengan percakapan mereka. Ia menunduk, menajamkan telinga berniat mencuri dengar. Cowok itu tahu menguping tidak baik, tetapi pembicaraan mereka cukup keras dan menarik karena tentang ... Reira.

Ardi tidak tahu saja gadis-gadis itu memang sengaja berbicara agak keras agar ia bisa mendengarnya.

"Hey, lo udah dengar?" Gadis pertama memulai dengan nada suara yang cukup antusias, khas orang-orang yang ingin bergosip.

"Tentang apa?" Gadis kedua balas berbisik penasaran.

Terdengar helaan napas, lalu suara yang terdengar tidak percaya masuk ke telinga Ardi. "Katanya Kak Reira cuma mempermainkan Ardi! Dia sebenarnya sudah berpacaran sejak dulu dengan Kak Zidan! Amit-amit banget gak, tuh?"

"Hah? Seriusan? Masa, sih? Gue kok agak gak percaya, ya?" Gadis kedua pura-pura menyangkal.

Gadis pertama menghentakkan kaki, lantas berujar, "Ih, kenapa lo gak percaya? Buktinya nyata ada di depan mata, kok!"

"Hah? Maksudnya?"

"Tuh, lihat aja di depan!"

Ardi berhenti mencuri dengar, lalu mengangkat kepala untuk melihat apa yang dimaksud kedua gadis itu. Ia tidak sadar dua orang tadi sedang saling pandang sambil tersenyum lebar, mereka mengadu tinju pelan sebagai tanda keberhasilan. Ardi masuk ke perangkap mereka.

Di depan, Reira yang berhasil lolos dari kurungan teman-temannya sedang mencoba merebut serifikat dari Zidan. Entah apa yang gadis itu inginkan. Ardi memicingkan mata, tidak, Reira bukan mencoba merebut sertifikat, tetapi amplop berisi uang hadiah lomba.

Kenapa gadis itu tidak merasa malu sama sekali membuat keributan di depan banyak orang seperti itu? Terlebih bersama ... Zidan.

Ardi menunduk, entah kenapa hatinya merasa tidak suka.

Entah tidak suka dengan kelakuan Reira atau tidak suka kedekatannya dengan ... tidak, tidak. Kenapa juga ia harus merasa tidak suka dengan kedekatan Reira dan sahabatnya? Bahkan dari dulu pun mereka sudah bertingkah seperti itu.

Percakapan dua gadis tadi kembali melayang di kepala, ia tersenyum kecil. Membuat beberapa orang yang sedang memperhatikan kegantengannya merasa terkena serangan jantung. Ini Ardi Nugraha yang sedang tersenyum! Jangankan senyum, menatap wajah orang lain saja biasanya dia tidak. Sekarang cowok itu sedang tersenyum? Apa penyebabnya?

Ardi kembali mengangkat pandangan, matanya menatap lurus pada Reira. Senyumnya masih belum hilang, membuat beberapa orang yang peka ikut menatap objek yang ia pandang, dan mereka benar-benar terkejut!

Ardi sedang menatap ... Reira?! Bagaimana bisa? Apa ia benar-benar jatuh cinta pada kakak kelasnya itu? Berbagai spekulasi bermunculan di kepala mereka, dan yakin, nanti hal ini akan menjadi bahan gosip utama.

Ardi tidak memedulikan orang-orang di sekitar, pikirannya hanya fokus pada Reira.

Ia kagum.

Gadis itu sedang tertawa bersama Zidan di depan sana, walau ada sedikit rasa tidak suka, Ardi masih ikut senang. Di matanya, Reira bagai matahari. Tetap ceria dan memberikan kehangatan pada semua orang. Ia tidak pernah lelah tersenyum walau banyak orang mengeluh karena cahayanya terlalu menyilaukan.

Akan selalu ada orang seperti gadis-gadis tadi, tapi Ardi rasa Reira tidak akan peduli. Mungkin terkadang gadis itu memang akan melawan karena ia tidak lemah. Tapi mataharinya yang ia kenal tidak akan pernah mendendam.

Ardi tahu Reira tidak berpacaran dengan Zidan. Ia tidak percaya sedikit pun dengan gosip dua gadis tadi. Apalagi tentang gadis itu yang mencoba mempermainkan perasaannya.

Reira sangat tulus.

Walau ketulusannya sering sekali berakhir dengan kejadian tidak menyenangkan. Kalau Ardi pikir lagi, sejak pertemuan pertama mereka, gadis itu selalu berusaha mendekatinya. Tapi ia yang terbiasa dengan kegelapan terlalu kaget dengan cahaya Reira yang menyengat.

Ardi memegang dada, jantungnya benar-benar berisik sedari tadi. Sepertinya ia mulai sadar, ada asa dalam hati untuk Reira. Perasaan ini benar-benar berbeda ketika ia berpacaran dengan Silvia dulu. Harus Ardi akui, bukan karena suka ia berpacaran dengan gadis penghancur hidupnya itu, tetapi karena rasa kompetitif. Bahkan saat kencan yang mereka bahas adalah soal, tidak ada satu hal pun yang ia ketahui tentang kehidupan gadis itu.

Ardi berbalik, dan keluar dari barisan. Ia tidak peduli dengan pengumuman yang masih berlangsung, dirinya sudah memutuskan.

Sekarang saatnya membuka lembaran baru, ia harus melangkah dari ketakutan ini. Berhenti berpikiran buruk tentang orang-orang. Mulai membuka diri untuk berteman. Karena Ardi sadar, ia ... jatuh cinta pada Reira.

tbc.

Uhuk, bagian akhirnya adalah hal tergeli yang pernah aku tulis, bwahaha.

Ekhm, cie Reira cie, akhirnya Ardi jatuh dalam pesonamu. Ayo pancing terus, Re! Jangan kendor. 🤣🤣🤣🤣🤣

Oh iya, dua hari lagi cerita ini bakal tamat. Terima kasih buat yang udah baca, vote, sama kasih komen sampai sejauh ini. ありがとうございます.

Tunggu part paling menyenangkannya besok, ya! Mwehehe.

Salam, Ryn. 🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top