22 - Konspirasi Alam Semesta 2

Apa kesialan Reira sudah naik ke ketinggian yang lebih baru lagi? Akhir-akhir ini semakin parah saja. Masalahnya, kesialan gadis itu selalu berakhir dengan badan memar-memar. Lama-lama ia bisa jadi manusia berwarna ungu saking banyaknya memar di tubuh.

"Kenapa lagi lo, Re?" Laila yang baru keluar dari toilet menatap tetangganya heran, akhir-akhir ini gadis itu entah kenapa semakin sering mencium tembok, tersandung kaki sendiri, terpeleset di toilet, dan hal-hal aneh lainnya. Apa Reira akan punya adik lagi? Katanya, kan, kalau sering terpeleset bakal punya adik lagi.

"Itu, gue kepeleset tadi di lantai dua." Reira meniup lutunya yang terasa perih. Berharap rasa sakitnya bisa reda. Kemudian tatapannya beralih pada Laila saat sebuah pikiran aneh melintas di kepala. "La, apa di lantai dua ada hantu? Jin? Atau babi ngepet?"

"Hah?" Laila mengernyitkan kening, kenapa tiba-tiba membahas hal ini. Pikiran tetangganya memang tidak bisa ditebak.

"Kenapa setiap gue sampai di lantai dua pasti terkena sial? Ada yang tidak sengaja menendang ember berisi air untuk ngepel hingga bajuku basah kuyup, ada yang lari-larian di koridor terus nabrak gue sampai kejedot pintu, dan kejadian aneh lainnya. Apa penunggu di sana lagi marah sama gue atau gimana? Kok gue kena sial mulu, sih?!"

"Memangnya lo mau ngapain ke lantai dua?" Laila ikut duduk di samping kanan Reira, gadis itu ikut memperhatikan lutut Reira yang kulitnya sedikit terkelupas. "Ke UKS gih, Re!"

"Gue mau ketemu Ardi, mau ngucapin terima kasih karena sudah bantu ngajarin matematika. Ulangan gue lumayan lancar." Reira mengangkat pandangan, lantas tersenyum manis. "Gue mau sih ke UKS, tapi ruangannya kan ada di lantai satu. Sebentar lagi juga bel bakal berbunyi, kayaknya enggak bakal sempat. Nanti aja deh nunggu pulang."

Laila bangkit, lalu mengulurkan tangan. "Ya sudah, bersihin dulu aja lukanya, ayo gue bantuin."

"Makasih, La."

Mereka pun berjalan beriringan menuju ke dalam toilet.

"Oh iya, La. Gue mau curhat." Reira kembali membuka percakapan setelah terdiam beberapa saat. Tangannya sibuk membersihkan lutut.

"Kenapa lagi?" Laila berdiri bersedekap, menatap Reira heran. Ia menyandarkan pinggang ke wastafel.

"Lanjutan yang tadi. Besok kan udah hari terakhir UAS, ya. Gue mau ketemu Ardi sejak hari pertama UAS, tapi semesta seolah berkonspirasi melarang kami bertemu. Ada saja halangannya. Ini lebih parah dari dulu pas gue mau nyatain cinta. Banyak banget kejadian yang bikin gue gagal ketemu dia. Terpeleset, kejedot tembok, gitu aja terus sampai gue hapal jadwal kapan gue bakal kejedot dan kapan terpeleset."

Laila memutar bola mata, Reira terkadang memang suka berlebihan. "Ya udah, tunggu selesai saja. Sekarang lebih baik lo fokus UAS. Jangan nyari Ardi mulu kalau ujung-ujungnya cuma bakal kejedot pintu sama terpeleset."

Reira merapikan kembali penampilan, sudah selesai membersihkan lutut. "Benar juga, kayaknya kalau cuma ngucapin terima kasih juga enggak sopan, ya. Gue mau mikirin hadiah dulu."

Laila segera menegakkan punggung, menatap tetangganya waspada. "Kadonya beli aja, ya, Re! Jangan bikin sendiri! Apalagi kalau masak sendiri, jangan pernah!" Gadis itu bergidik ngeri saat kembali mengingat penampilan mengerikan kue buatan Reira.

"Kenapa memangnya?" Reira mengerutkan kening tidak mengerti.

Laila sedikit gelagapan, lantas menjawab, "Biar lebih sopan. Iya, karena itu. Lo katanya mau ngasih hadiah ke dia karena udah bantuin lo belajar, kan? Kurasa buku lebih cocok, Ardi terlihat seperti cowok yang lebih suka menghabiskan waktu dengan buku alih-alih makan kue manis."

"Ah, begitu? Tapi Ardi sepertinya suka es krim."

"Nah, ya sudah, kalau begitu kenapa enggak lo kasih es krim saja?"

Reira mengangguk semangat, mengepalkan tangan. "Baiklah. Kurasa kami juga bisa makan bersama, iya, kan?"

"Tolong jangan minta lagi apa yang udah lo jadiin hadiah, Re," komentar Laila malas.

"Tapi, kan, es krim makanan kesukaan gue." Reira protes, mulutnya sudah mengeluarkan air liur kala otak membayangkan lelehan es krim yang minta dijilat.

"Terserah."

***

Ardi mencari Reira ke lantai tiga, tapi tidak kunjung menemukan gadis itu. Ia ingin menyapa setelah kemarin semalaman berpikir kenapa malah menjauhinya. Seharusnya ia bisa maklum karena gadis itu sudah bersahabat dengan Zidan dan Nazril sejak lama. Berbeda dengannya yang baru kenal beberapa minggu. Ardi harus bisa lebih beradaptasi lagi, sayang jika harus kehilangan teman perempuan pertamanya di SMA ini.

Setelah menelusuri seluruh area di lantai tiga, ia tak kunjung menemukan Reira. Akhirnya ia pun memutuskan untuk mencari gadis itu ke kantin, biasanya hanya kantin dan koridor tempat gadis itu nongkrong.

Ia mempercepat langkah, tak sabar bertemu kakak kelasnya. Tetapi kala melewati tangga dari lantai dua menuju lantai satu, ia mendengar dua orang gadis sedang bergosip.

"Hei, lo lihat tadi? Reira benar-benar murahan. Bukan kah katanya dia sedang mendekati Ardi? Tapi kenyataannya malah pacaran sama Kak Zidan. Amit-amit, deh."

Saat mendengar nama Reira, Ardi segera bersembunyi di balik pot dengan tanaman yang cukup besar. Ia tidak tahu kenapa harus bersembunyi, tetapi ia penasaran dengan percakapan mereka. Masalahnya ada nama Zidan, Reira, dan dirinya dalam satu percakapan.

Zidan dan Reira pacaran? Walau memang mungkin, Ardi rasa berita itu salah. Ia tahu sendiri cowok itu punya banyak pacar, dan Reira bahkan sering membantunya untuk menyelesaikan masalah jika mantannya datang.

Lalu, apa katanya tadi? Reira mendekati Ardi? Maksudnya ... dirinya? Ia tidak pernah merasa. Tapi kalau dipikir-pikir ... kenapa Reira mau repot-repot terus datang padanya? Jika hanya karena ia membantu saat tragedi rok bocor itu, kata terima kasih saja rasanya sudah cukup.

Ardi memegang dada saat tiba-tiba jantungnya berdetak lebih keras dan hidungnya kesulitan untuk bernapas. Ia kenapa? Apa Ardi terkena penyakit jantung? Tidak mungkin, tidak ada riwayat penyakit itu di keluarganya.

"Lo lihat, kan, interaksi mereka di kantin tadi?" Suara gadis tadi kembali terdengar. "Mereka benar-benar mengumbar kemesraan di sekolah! Ih, kesel! Pengen gue cabik-cabik wajah sok cantiknya itu."

"Hm." Gadis di sebelahnya bersuara. "Lo yakin mereka pacaran? Gue pernah titip salam buat Kak Zidan sama Kak Reira, besoknya Kak Zidan melambaikan tangan sama gue."

"Ah, itu paling cuma kebetulan. Lo yakin dia melambai sama lo? Bukan orang di samping atau di belakang lo?"

"Hih, sirik aja. Jelas sama gue, kok, orang di sana gak ada orang. Kebetulan waktu itu Kak Zidan lagi sama Kak Reira dan Kak Nazril, Kak Rei nunjuk gue, lalu Kak Zidan melambaikan tangan. Gue rasa Kak Reira orang baik. Dia gak mungkin ngelakuin hal menjijikan semacam selingkuh."

"Lo yakin? Dia gabungnya aja sama Kak Zidan yang terkenal play boy loh."

"Yakin. Lagian Kak Zidan play boy bukan berarti Kak Rei play girl, kan? Selama sekolah di sini gue belum pernah dengar dia punya pacar. Baru kali ini malah gue dengar dia deketin cowok, dan itu Ardi. Gue malah heran kenapa banyak anak kelas X yang ngelarang."

"Apa maksud lo? Tentu saja kami melarang, Ardi harus diselamatkan dari gadis barbar semacam Reira. Lo lupa gadis itu sudah menyakiti Ardi pas voli? Dia angkatan kita, kenapa lo malah belain kakak kelas, sih?"

Kedua gadis itu bertengkar hebat tanpa menyadari orang yang dibicarakan sedang menguping.

Ardi tidak tahu harus bereaksi apa. Menurut percakapan mereka, Reira suka padanya? Apa itu bahkan mungkin?

Ardi kembali memegang dada saat dirasa jantungnya berdetak semakin liar. Ada apa sih dengan jantungnya? Apa ia benar-benar terkena penyakit jantung?

tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top