19 - Pesan
UAS tinggal menghitung hari, Reira benar-benar belajar giat. Terutama di pelajaran matematika, walau hati kecilnya agak sedikit tersentil karena harus diajari adik kelas, ia cukup bersyukur pengetahuannya semakin membaik.
Selain otak bertambah baik, hati juga bertambah senang. Bisa bertemu dan berinteraksi dengan sang pujaan hati tiga kali dalam seminggu membuat Reira serasa di awang-awang. Senyum tak pernah lepas dari mulut. Pribadi Ardi yang cukup pendiam membuatnya kadang lupa diri, menyenggol bahu, mencolek pipi, dan mengacak rambut Ardi terkadang tanpa sadar Reira lakukan. Ujung-ujungnya ia salah tingkah sendiri membuat kedua sahabatnya memuaskan diri dengan meledek dan menghina keagresifannya.
"Itu bocah ke mana, deh? Lumutan, nih. Udah satu jam kita nunggu di sini." Adalah omelan Zidan entah yang ke berapa kali. Cowok itu merengut kesal, cuaca yang kebetulan panas membuat ia gerah, ditambah hati juga gerah karena pesannya pada gebetan baru tidak kunjung dibalas. Padahal sudah dikirim sejak kemarin, pesannya pun sudah dibaca, tetapi balasan dari cewek incarannya tidak kunjung datang.
Apa Arilla Ariana ini sesombong itu?
Entah karena berteman terlalu lama atau bagaimana, suasana hati Zidan sama dengan Nazril. Sama-sama kesal karena seorang gadis yang membuat mereka jatuh hati. Mungkinkah mereka jodoh?
Bayangkan bagaimana perasaan kamu saat menemukan gadis manis di aplikasi pencarian jodoh, saling bertukar nomor whatsapp, pas ditelepon juga diangkat, tapi ... yang ngomong emaknya! Kan, kampret! Cowok itu belum menyiapkan jawaban-jawaban cerdas untuk calon ibu mertua. Mana ditanyanya masalah prestasi pula. Cowok biasa saja macam dia kan jadi kayak butiran debu. Enggak penting.
Ia masih memandangi ruang obrolan dengan kontak bernama Ziva, ini cewek gak bakal balas pesannya lagi? Dasar PHP! Kenapa dia ngasih harapan palsu dengan memberinya nomor? Harapan yang melambung tinggi seketika kandas. Padahal Nazril sudah lelah menjomblo.
"Re, telepon gih, kalau enggak jadi gue mau balik aja. Panas, gerah hati gerah body!" Nazril mengeluarkan kekesalan pada sang sahabat.
Reira mengibas-ngibaskan tangan, lantas menatap dua sahabatnya sebal. Ck, kenapa mereka enggak langsung pulang aja, sih, kalau panas? Lagipula ia tidak mengharapkan kehadiran mereka di antara kegiatan belajar bersama Ardi. Bukan karena mereka teramat sangat mengganggu--walau ini juga sebagian alasan, tetapi karena beberapa hari yang lalu nilai Nazril dan Zidan lebih tinggi darinya. Membuat ia benar-benar kesal. Salahkan otak Reira yang sulit mengingat rumus, padahal pengaplikasiannya ia bisa mengerjakan dengan mudah.
"Kalau gak mau, siniin deh, nomornya! Biar gue yang telepon!" Zidan bersuara, dia mengulurkan tangan meminta ponsel Reira.
Gadis itu mencebik, lantas merogoh saku baju, saku rok, dan mengaduk-aduk tas. Ia lupa menyimpan ponselnya lagi.
Melihat hal itu kedua sahabatnya hanya memutar bola mata malas. Kebiasaan!
Reira segera berdiri saat mengingat sesuatu, ia menepuk jidat keras, lantas berseru heboh, "Gue enggak punya nomor dia!"
Zidan dan Nazril mengembuskan napas berat kompak. Memang benar-benar cocok berjodoh, dari tadi kelakuannya sama persis. Kedua cowok itu hanya bisa mengutuk kebodohan Reira, sering bertemu tapi bahkan dia tidak ingat meminta kontaknya. Gebetan macam apa itu?
"Terus ponsel lo di mana?" tanya Nazril mencoba bersabar. Melihat Reira ia jadi ingat Ziva, gadis dari aplikasi pencarian jodoh. Mereka sama-sama menyebalkan walau dengan cara yang berbeda.
"Ah, itu, gue gak ingat. Sepertinya kita batalkan saja jadwal belajar hari ini, gue mau balik ke sekolah buat nyari ponsel. Gue juga bakal bilang ke Ardi nanti."
Zidan memicing, lantas mencapit hidung kecil Reira dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. "Lo enggak lagi ngerencanain buat cuma belajar berdua, kan? Heh, modus banget! Gak gue izinin, ya!"
Reira cemberut, padahal niatnya sama dengan yang diucapkan. Kenapa cowok itu selalu berpikiran buruk tentangnya?
"Dengar, Re. Gue juga enggak ngizinin kalian belajar cuma berdua." Nazril angkat suara, cowok itu menyingkirkan tangan Zidan yang membuat Reira megap-megap tidak bisa bernapas. "Gue enggak khawatir Ardi bakal macam-macam sama lo, dia terlalu polos bahkan untuk sekadar menyadari tingkah konyol lo itu."
"Setuju, gue lebih khawatir malah lo yang apa-apain dia. Secara badan lo sering melakukan hal-hal agresif tanpa diproses dulu oleh otak. Anggap aja kita pawang lo."
Apa maksudnya itu? Reira menahan diri untuk tidak memukul kepala kedua temannya. Bagaimana bisa mereka berpikir serendah itu tentangnya? "Konyol? Agresif? Apa maksud kalian?"
Zidan melotot, Reira tidak menyadari tingkah agresifnya?
"Re, lo ingat pas Ardi menjatuhkan pulpen? Apa yang lo lakukan?"
Reira mengernyit sebentar, lantas menjawab, "Gue mengambilkannya, lalu menyerahkan pulpen itu langsung ke genggamannya. Apa yang salah dari itu?"
"Genggaman!" jawab Nazril dan Zidan kembali kompak. Memang dasar jodoh!
"Re, berhenti melakukan skinship! Lo bisa bikin dia takut. Lo mau dianggap mesum karena selalu berusaha melakukan kontak fisik?" Zidan menasihati.
Reira merenung, ia memikirkan kembali apa yang sudah ia lakukan setiap belajar bersama dua minggu ke belakang. Skinship? Gadis itu benar-benar tidak ingat. Dia hanya mengembalikan pulpen langsung ke tangan Ardi, menyenggolnya dengan bahu saat cowok itu terlalu kaku, merangkul bahunya saat bertemu, dan mengacak rambutnya saat cowok itu bertingkah manis semacam membelikannya es krim. Apa yang salah dari itu? Hubungan mereka memang lebih santai dari saat perkenalan dulu. Reira kadang menganggap Ardi sahabatnya, seperti Zidan dan Nazril.
Melihat kening Reira berkerut-kerut, Zidan dan Nazril hanya mengembuskan napas pasrah. Dia benar-benar tidak sadar diri!
Memasukkan ponsel ke saku, Nazril berdiri dan mengacak rambut Reira. Membuat gadis itu memberengut kesal. "Sudahlah, sana cari ponsel lo. Gue mau pulang saja. Ingat, jangan berduaan!"
Zidan juga bangkit dan mengacak rambut Reira, membuat tangannya hampir kena gigit jika tidak segera berlari masuk ke dalam bus yang baru saja tiba. Reira mencak-mencak mengeluarkan segala serapah yang hanya mendapat juluran lidah dari Zidan dan Nazril. Kedua cowok itu lantas duduk anteng di kursi bus, mengabaikan kekesalan Reira.
***
Reira hampir saja bertabrakan dengan Ardi jika tidak mengerem langkah mendadak. Cowok itu fokus menatap buku di tangan, padahal sedang menuruni anak tangga. Apa tidak takut mati menggelinding dari tangga?
"Ardi!" panggilnya membuat si empunya nama berhenti melangkah dan mengangkat kepala.
"Rei?" Cowok itu menatap heran, kenapa gadis ini masih ada di sekolah jam segini? "Belum pulang?"
"Belum, ini buktinya lagi berdiri di depan lo." Gadis itu memasang cengiran yang membuat wajahnya tampak imut di mata Ardi. "Lagipula, bukankah hari ini kita akan belajar bersama?"
"Ah!" Ardi menepuk jidat. "Maaf, gue lupa. Tadi ada cukup banyak PR, jadi gue langsung menyelesaikan beberapa."
"Santai, kita batalkan saja, ya, gak apa-apa, kan? Nazril sama Zidan sudah pulang soalnya."
Ardi hanya mengangguk, walau hatinya bertanya-tanya, kenapa mereka tidak akan belajar berdua saja? Niat awal Ardi kan hanya mengajari Reira, bukan kedua sahabatnya. Tapi mereka selalu datang satu paket. Membuat hatinya terkadang tidak nyaman. "Sekarang lo mau ke mana?"
"Gue mau nyari ponsel. Lupa nyimpen. Lo pulang sana, sudah sore."
Ardi kembali mengangguk, tapi segera berkata, "Mau gue bantu? Ini udah sore, lo juga harus segera pulang bukan?"
Reira menerbitkan seulas senyum manis, senyum yang cukup menyilaukan bagi Ardi. Cowok itu merasakan jantung di dadanya mulai berdetak kencang. Apa ia kena serangan jantung?
"Baiklah, ayo ke kelas gue." Gadis itu tanpa sadar menggandeng tangan Ardi. Mulutnya bersenandung pelan. Ia benar-benar tidak menyadari ekspresi aneh yang terpasang di wajah Ardi.
Saat sampai di lantai tiga, barulah gadis itu melepaskan tangannya. Ia menatap koridor kosong berbinar. Lenggangnya! Ia bisa berlari bebas tanpa harus takut ditegur guru dan dimasukan ke dalam daftar hitam oleh anak OSIS.
Gadis itu membatalkan niatnya berlari di koridor saat ingat ia tidak sendiri. Ia segera merangkul bahu Ardi dan mengajaknya ke kelas XII IPS 2 berada. Reira tidak menyadari wajah Ardi yang sarat akan ketidak nyamanan.
"Oh, iya, Di. Gue boleh minta nomor telepon lo? Supaya gue bisa ingetin lo kalau kita ada jadwal belajar seperti hari ini. Gue cukup pegal nunggu di halte selama satu jam."
Cowok itu meringis, rautnya menunjukkan rasa bersalah. "Maaf."
Saat masuk ke dalam kelas, Ardi segera mengambil ponsel untuk mencoba menelpon nomor Reira, agar mereka bisa cepat menemukan ponsel milik gadis itu.
Saat menyalakan ponsel, cowok itu segera mengernyit. Ada 32 panggilan tak terjawab dari kakaknya. Serta lima pesan yang belum terbaca. Ia segera membuka pesan, hatinya jadi tidak tenang. Semoga tidak ada hal buruk terjadi.
Di, kamu di mana? Cepat pulang.
Di, kenapa enggak angkat telepon?
Di, pulang sekarang, mama sakit parah!
Di, nanti langsung ke rumah sakit saja, ya. Kakak tunggu di sana.
Di, cepat datang, mama pengen ketemu kamu katanya.
Pesan-pesan itu membuat Ardi ketakutan. Ibunya tidak apa-apa, kan? Ia segera berlari meninggalkan Reira yang menatap kepergiannya tidak paham.
Apa Ardi kebelet BAB?
tbc.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top