14 - Berkenalan
"Hah?!"
Zidan membulatkan mata dan menatap Reira tidak percaya. "Bantu apa?" tanyanya sembari mengorek kuping, merasa salah dengar.
"Bantu gue deketin Ardi!" balas Reira sembari melanjutkan langkah.
Zidan segera mendahului gadis itu dan berhenti tepat di depannya. "Ardi siapa?"
Laila merasa percakapan ini bukanlah sesuatu yang bisa dibicarakan sembari berjalan, ia pun menyarankan, "Ayo bicarakan ini sambil makan."
Reira dan Zidan mengangguk setuju, lalu mempercepat langkah.
***
"Jadi?" Zidan menatap sahabat perempuan satu-satunya itu intens. Baru kali ini ia mendengar Reira mengucapkan nama laki-laki dengan penuh antusias.
Laila hanya memutar bola mata, kenapa Zidan begitu tidak sabar?
Reira melipat tangan di atas meja, lalu melotot marah. "Biarin gue pesan makanan dulu!"
Cowok itu meringis, lalu ikut memilih menu. Rasa keponya kalau sudah aktif memang agak sulit dikendalikan.
"Gue mau satu porsi bakso urat sama air putih." Laila menulis di kertas yang akan diberikan kepada pelayan.
"Gue mau es krim vanilla tiga, mie ayam sama air putih." Reira menyebutkan pesanannya yang langsung membuat Laila menggelengkan kepala tidak habis pikir.
"Oh iya, Re. Gue lupa bilang, Kak Panji enggak jadi datang, katanya mau jenguk sepupunya yang sakit."
Reira membulatkan mata kaget. "Wah, sakit apa?"
"Kurang tahu." Laila mengedikkan bahu. "Tapi gue dengar di kota sebelah sepupunya cukup terkenal. Dia korban kebakaran, seluruh keluarganya meninggal, dan sekarang dia berada di panti rehabilitasi khusus orang sakit jiwa."
Reira menutup mulut dengan tangan, cukup terkejut dengan informasi yang baru ia dapat. Kak Panji dari kota sebelah? Kenapa cowok itu mau menemui mereka? Tidak masuk akal.
Ya, Reira kaget karena Kak Panji bukan berasal dari Kota B, bukan karena sepupunya gila.
"Kalau begitu tolong ralat, gue cuma pesan satu es krim. Hari ini gagal ditraktir."
"Oke." Gadis yang hari ini menggerai rambutnya itu lantas menatap Zidan bertanya. Lelaki itu masih sibuk membaca daftar menu.
"Rekomendasi yang enak di sini, dong!" pintanya. Tidak bisa memilih salah satu dari semua menu yang terlihat menggoda.
Reira dengan cepat membuka suara, "Es krim Vanilla paling juara! Kedua mie ayam, lanjut mie pangsit, terus sop buah--"
Zidan melempar gumpalan tisu demi menghentikan ocehan tidak bermutu kawannya. "Gue minta rekomendasi yang enak, bukan minta dibacain daftar menu."
"Udah gue bilang paling enak itu es krim vanilla! Kenapa malah nyolot?!"
Laila memutar bola mata kesal, sahabatnya memang ahli mencari ribut. Sepertinya hobi Reira selain terkena sial adalah adu bacot.
"Pilih yang lo suka aja. Cepet. Gue lapar."
Zidan segera memasang seyum manis, membaca menu sekali lagi lalu menyebutkan pesanannya. Laila segera beranjak untuk menyerahkan pesanan pada pelayan.
"Jadi, siapa Ardi?" Zidan kembali ke topik awal sesaat setelah puas menatap kecantikan Laila.
Reira kembali melipat tangan di atas meja, matanya menatap Zidan serius. "Malaikat gue!"
"Yang bener dong jawabnya, Re!" Zidan tiba-tiba naik darah. "Gue nanya dia siapa, bukan makhluk jenis apa!"
Reira jadi ikutan panas. "Dia itu malaikatnya gue, jadi jawaban gue udah benar! Lagian, kan, namanya udah tahu, Ardi!"
Huft. Zidan menarik napas panjang mencoba bersabar. "Dia sekolah di mana?"
"SMAN 3 Nusa."
"Satu sekolah sama kita, dong?!"
"Memang!"
"Kelas berapa?"
"X."
"Anjir, lo pedofil, Re?"
Reira yang sudah panas hampir saja melempar sendok garpu jika Laila yang sejak tadi menjadi pendengar tidak menahannya. Pantas saja kelakuan Reira semakin belangsak, ternyata salah memilih teman.
"Sadar diri, dong! Lo juga pacaran sama anak kelas X!"
"Tapi gue kan cowok, udah biasa sama yang lebih muda!"
Reira melotot ganas. "Apa bedanya? Sekarang itu udah zamannya emansipasi, ya! Cowok sama cewek derajatnya sama! Lagipula, umur bukan halangan di hadapan cinta!"
Zidan mematung sebentar, lalu tertawa keras mengganggu pengunjung lain. "Anjir, Re, lo beneran ngomongin cinta? Sungguh kejadian langka yang patut dicatat dalam sejarah!"
Reira mendengkus keki, menyesal sudah meminta tolong pada Zidan. Seharusnya ia minta orang lain saja.
Suasana meja yang sudah mendidih terselamatkan oleh datangnya pesanan mereka, membuat Laila yang siap terjun dalam peperangan menghela napas lega.
"Oke, ayo serius," ujar Zidan setelah beberapa suapan. "Sudah sejauh mana hubungan lo sama si adik kelas ini?"
Reira yang sedang menjilat es krim segera meringis, lalu membuang muka. "Gue udah mau menyatakan cinta, tapi selalu gagal."
Zidan berdecak kagum. "Wah, ternyata sudah jauh juga progres lo. Terus masalahnya apa? Dia enggak suka sama lo atau gimana?"
Reira mengembuskan napas lelah. "Gue enggak tahu. Setiap gue mau nyatain cinta, pasti ada aja halangannya. Seolah dunia tidak mengizinkan sang bidadari bersatu bersama malaikatnya."
Zidan dan Laila sontak ingin muntah, mual dengan kelakuan alay Reira.
"Enggak tahu kenapa, dia selalu lari kalau ngeliat gue."
"Hm, yang mana sih orangnya? Gue jadi penasaran." Zidan mengetuk-ngetukkan jari telunjuk ke meja.
"Lo udah pernah lihat, kok." Reira terus menjilat es krimnya.
Zidan mengerutkan kening, lalu menatap Reira penasaran.
"Ingat cowok yang enggak sengaja kena smash gue beberapa minggu yang lalu?"
Zidan membulatkan mata, lalu tertawa keras sambil memegang perut yang terasa sakit. "Gila! Bocah sial itu?! Gak heran dia selalu kabur kalau ngeliat lo, Re!"
"Ish!" Reira berdesis kesal. "Berhenti ketawa, kasih tahu gue gimana cara ngedeketin dia biar kalau nyatain cinta bisa diterima!"
Zidan masih meneruskan tawa selama beberapa saat, lalu menatap Reira serius. "Dia ... udah tahu nama lo, kan?"
Reira berpikir sejenak, lalu menggeleng. "Entahlah, gue enggak yakin."
Seketika tawa Zidan pecah kembali. Seperti dugaannya, cowok malang itu tidak mengenal Reira. Sahabat polosnya ini pasti asal mengejar tanpa memikirkan pendapat orang lain akan tingkahnya. Ia mengelap sudut mata yang berair.
Zidan akan membantu Reira dengan sungguh-sungguh. Jangan sampai sahabat jomlonya ini kehilangan keceriaan hanya karena cinta pertama yang gagal.
"Re, seharusnya lo ngenalin diri dulu, berusaha jadi temannya. Coba buat dia tertarik sama lo, entah itu dengan menunjukkan kelebihan lo, atau bisa juga dengan memberi dia perhatian lebih. Kalau sudah yakin dia juga suka sama lo, baru deh tembak."
Saat mendengar kata menunjukkan kelebihan, Laila segera meringis ngeri. Ia teringat akan kue pertama yang Reira buat untuk Ardi. Ia khawatir gadis itu akan membuat sesuatu yang aneh lagi.
Reira manggut-manggut. "Jadi gue harus ngajak dia berkenalan?"
***
Zidan bersembunyi di balik pohon Beringin, ia mengintip Reira yang sedang mendekati pujaan hatinya sambil mengendap-endap. Takut Ardi kabur lagi.
Saat sudah dekat, gadis itu segera memegang pergelangan tangan Ardi, membuat Zidan menepuk jidat keras. Kenapa dia agresif sekali?
Reira meringis saat menyadari raut takut Ardi. Dia memberi kekuatan lebih saat cowok itu mencoba melepaskan diri.
"Tunggu dulu! Jangan kabur, oke?" Reira berbicara dengan lembut. Hal yang sangat diwanti-wanti Zidan agar Ardi tidak kabur.
Ardi mengangguk takut-takut, menyesal telah belajar di taman sembari mendengarkan musik. Ini semua gara-gara teman-teman sekelasnya terlalu berisik membicarakan gosip berpacarannya salah satu cowok terkeren di sekolah.
"Kenapa?" tanyanya dengan suara mencicit.
Reira tersenyum lebar, melepaskan pegangan tangannya. "Gue mau minta maaf."
Satu kalimat sederhana yang keluar dari mulut Reira membuat Ardi mematung. Ini ... serius? Ada angin apa gadis ini bersikap baik seperti sekarang? Apakah ada udang di dalam bakwan? Ardi benar-benar takut sekarang.
"Tolong jangan memasang raut seperti itu, gue benar-benar minta maaf. Gue sudah banyak berbuat salah sama lo. Maafin gue!" Reira membungkuk empat puluh lima derajat. "Gue juga mau berterima kasih karena lo sudah nolongin gue waktu tragedi bocor itu."
Ardi menatap gadis di hadapannya kosong. Ini bukan mimpi? "Lo ... enggak akan mengulanginya lagi?" tanyanya was-was.
Reira segera menggeleng kuat. "Enggak akan! Gue janji!"
Perlahan Ardi mengembuskan napas lega. Ia tidak sepenuhnya percaya ucapan Reira, tapi syukurlah jika gadis ini tidak akan menyakitinya lagi.
"Oh, iya. Gue Reira Prameswari dari kelas XII IPS 2." Gadis itu mengulurkan tangan sembari tersenyum secerah cahaya matahari pagi. Benar-benar senang karena semua yang ia praktikan hari Minggu kemarin bisa dilakukan dengan lancar.
Ardi terkejut, gadis ini ... kakak kelasnya? Ia menatap wajah dan tangan Reira bergantian, lalu perlahan tangannya terangkat untuk balik menyalami Reira. Mungkin ini saatnya ia berdamai dan berpikir positif. Ardi tidak ingin kabur-kaburan lagi, ia ingin bersekolah dengan tenang.
"Ardi Nugraha, kelas X IPA 1."
tbc.
Hai, terima kasih sudah membaca sampai sejauh ini! *big hug*
Kepoin cerita sepupunya Panji di Another You karya Zeanisa_
Sekian, ♥️.
Salam, Ryn🌻🌻🌻.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top