39
Gavin sampai di rumahnya degan keadaan lemas, entah mengapa sedari tadi kepalanya berdenyut dan badannya sedikit panas. Gavin menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu sembari memijit pelipisnya pelan untuk meredakan nyeri yang menyerang.
"Sayang, kamu duah pulang?" tanya Saira yang baru saja muncul dari belakag.
Gavin membuka sedikit kelopak matanya. "Udah mah," jawab Gavin lirih.
"Kamu kenapa?" tanya Saira menghampiri Gavin. "Ya ampun, kamu panas sayang." Wajah Saira berubah khawatir ketika mengetahui ankanya diserang demam.
"Gavin nggak pa-pa kok mah, jangan khawatir." Gavin memegang tangan Saira agar wanita itu tidak cemas.
"Bagaimana mama bisa tetang jika anak mama sakit, Gavin? Sekarang kamu istirahat ya, mama bikini kamu bubur abis itu minum obat." Saira beranjak dari duduknya lalu melangkah menuju dapur.
Gavin menghela napasnya pelan lalu bangkit dari duduknya. Sebenarnya Gavin sangat enggan untuk menuju kamarnya karena jika bergerak kepalanya akan semakin berdenyut.
"Mama lagi bikin apa?" tanya Banyu memeluk istirnya dari belakang dan memberikan kecupan kecil di tengkuknya.
"Papa minggir dulu mama lagi bikinin Gavin bubur," jelas Saira mencoba menjauhkan tubuh suaminya yang tengah memeluknya.
"Gavin kenapa, mah?" tanya Banyu yang sudah menjauh dari tubuh istrinya.
"Badannya panas pah, pasti dia lagi banyak pikiran." Saira menatap suaminya sekilas.
"Papa ke atas dulu mau lihat Gavin."
Banyu melangkah pergi menuju kamar putranya. Banyu membuka pintu yang tertutup rapat itu dengan gerakan perlahan, lelaki paruh baya itu takut jika seseorang di dalamnya terganggu.
"Gavin." Suara Banyu terdengar sangat lirih.
Banyu meraba tembok kamr Gavin untuk mencari saklar lampu kamar itu. setelah berbunyi 'klik' barulah kamar yang awalnya gelap itu kini berubah menjadi terang.
Gavin menutup wajahnya dengan selimut ketika cahaya lampu menerpa wajahnya.
"Silau tau pah," protes Gavin suaranya terdengar serak.
Banyu duduk di tepian ranjang milik Gavin. "Kamu demam?" tanya Banyu. "Lagi banyak pikiran ya?" sambungnya lagi.
Gavin menurunkan selimut yang baru saja digunakannya untuk menutup wajahnya. "Cuma pusing aja pah, mama aja yang terlau berlebihan," jawab Gavin sembari menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang.
"Pah, Gavin mau tahu gimana bisa om Danu punya dua istri sekaligus," ucap Gavin memecah keheningan yang semapat terjadi beberapa saat.
"kenapa? Mau ngikutin jejaknya atau mau minta tips?" tanya Banyu mencoba mencairkan suasana yang sempat tegang.
"Pah, Gavin serius." Wajahnya sangat serius.
Banyu menghela napsnya pelan. "Pernikahan yang ke dua itu terjadi karena paksaan dari orang tuanya Danu. Waktu Zena hamil Kinan, Danu meninggalkan keduanya hanya untuk mewujudkan mimpi ke dua irang tua Danu yang gila." Banyu menjeda sesaat ucapannya. "Tapi, fakta yang harus ditelannya seorang diri setelah menikah dengan Nidya adalah wanita itu sudah hamil tiga bulan padahal Danu tidak menyentuh Nidya sama sekali. Mulai dari situlah Danu memberikan keputusan bahwa dirinya akan bertanggung jawab atas anak yang dikandung Nidya, namun setelah bayi itu lahir Danu menceraikannya," jelas Banyu.
Gavin terdiam mendengar seksama ucapan dari sang papa. Hatinya seketika berdenyut nyeri ketika mengetahui fakta yang sesungguhnya. Seketika ucapannya saat di atas gedung sekolah memenuhi otaknya. Rasa bersalah itu muncul semakin besar saat wajah Kinan melintas di pikirannya.
"Gavin, kamu kenapa tiba-tiba nanya soal Danu?" tanya Banyu melemparkan tatapan penuh selidiknya.
Pandangan Gavin berubah sendu. "Gavin berasa jadi laki-laki bodoh, pah."
Banyu mengerutkan keningnya. "Jangan bilang kamu nuduh Kinan ... yang tidak-tidak?"
Gavin mengangguk samar, "Gavin bodohkan, pah?" tanya Gavin
Banyu mengusap wajahnya frustasi. "Ya ampun Gavin, kamu nggak tau gimana Danu melindungi Kinan. Sekalinya kamu nyakitin hati hati Kinan, kamu tidak akan pernah diizinkan untuk menemuinya lagi."
Gavin sangat menyesal sekarang. Kebodohannya berubah fatal untuk masa depannya kelak. Tapi Gavin berjanji, ajan terus berjuang untuk gadis yang dicintainya, apa pun akan Gavin lakukan untuk mendapatkannya kembali.
***
Della terlihat berlari tergopoh-gopoh menghampiri Kinan yang tengah berada di dalam rumah. Della mencari ke sana kemari, namun tidak juga menemukan Kinan.
Della mendudukan dirinya di kurisi meja makan, untuk mengistirahatkan tubuhnya sejenak.
"Dell, lo kenapa?"
Suara itu tiba-tiba membuat Della terkejut.
"Kinan, Alhamdulillah akhirnya lo nongol juga." Della mendesah lega.
"Maaf, tadi gua ke depan sebentar. Emangnya ada apa sih?" tanya Kinan.
"Di rumah belakang ada suara aneh, Nan. Gua mau masuk tapi takut."
"Suara aneh?" tanya Kinan.
"Dari pada lo bingung, lebih baik kita ke sana sekarang."
Kinan dan Della berlari menuju rumah yang berada di belakang itu. suara teriakan itu berganti menjadi isakan. Kinan semakin mendekat lalu mengintip di pintu berwarna merah itu yang terdapat lubang.
Mata Kinan terbelalak kaget ketika melihat siapa yang terngah terisak di sana. Darahnya seketika mendidih dan emosinya seketika meledak.
"HENTIKAN!" teriakan Kinan memenuhi rumah kecil yang dipenuhi dengan barang-barang yang sudah berdebu itu.
"Jauhkan tangan kotor anda dari mama saya!" perintah Kinan tegas. Gadis itu semakin melangkah mendekat ke arah Zena yang sudah terduduk tidak berdaya di atas lantai berdebu itu.
"Siapa kamu, beraninya kamu memerintah saya?" tanya seseorang itu.
"Apakah anda lupa dengan cucu yang sempat ingin ada lenyapkan, nenek?" tanya Kinan menatap Sumeri tajam seakan dari tatapan itu Kinan ingin sekali menelan bulat-bulat tubuh wanita tua itu.
Tubuh Sumeri menegang. "Ingat, kamu bukan cucu saya, karena saya tidak mempunyai cucu dari wanita miskin seperti dia!" Sumeri menunjuk Zena tajam.
"Turunkan tangan anda! Jangan pernah merendahkan mama saya, jika anda sendiri lebih rendah dari pada binatang!"
"LANCANG SEKALI MULUT KAMU!" teriak Sumeri mata mendelik dan napasnya memburu.
"Didikan yang saya dapatkan dari anda beberapa menit yang lalu seperti itu, nyonya. Apakah anda lupa?" tanya Kinan semakin menantang.
"Zena, kamu memang tidak becus mendidik anak kamu sendiri!"
"Kinan, sudah nak jangan memperburuk suasana," ucap Zena mencoba melerai.
Kinan menatap Zena yang memohon kepadanya dengan suara yang lemah. "Kinan tidak akan berhenti sebelum wanita tua ini minta maaf sama mama."
"Apa kamu bilang?!" Sumeri menggeram sembari menggertakkan giginya.
"Saya rasa pendengaran anda masih normal."
"Kinan, sudahlah nak. Bagaimanapun juga dia adalah nenekmu. Mama mohon jangan memperburuk suasana, sayang," ucap Zena kembali memohon.
"Lihatlah, nyonya. Bagaimana baiknya mama saya kepada anda, tetapi mata anda seolah tertutup dan lebih memilih wanita itu sebagai menantu idaman anda. Padahal anda tidak tahu bagaimana kelakuan wanita itu di luaran sana."
"Jaga mulut kamu! Jangan pernah kamu menghina Nidya, menantuku!"
"Mamaku dan dia juga sama-sama menantumu, nyonya."
Darah Sumeri semakin mendidih ketika menghadapi gadis di hadapannya itu yang dengan beraninya menantangnya secara terang-terangan.
"Dasar kamu dan mama kamu memang tidak pernah mempunyai sopan santun! Sebaiknya dulu aku lenyapkan saja kamu dan mama kamu yang tidak berguna itu!"
"CUKUP!"
Teriakan itu mampu membuat tangan Sumeri yang terangkat ingin menampar Kinan menjadi terhenti. Wanita tua itu menoleh ke sumber suara dan mendapati seseorang di ambang pintu itu tengah menatapnya penuh amarah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top