36

Pagi hari pun tiba, langit seperti tersenyum menampilkan sinar matahari yang begitu menghangatkan semesta. Kicauan burung yang hinggap di pepohonan menjadi melodi tersendiri untuk suasana rumah megah itu yang terlihat begitu sepi karena hanya dihuni oleh dua orang saja.

Sedari tadi Kinan hanya duduk terdiam di ruang televisi rasanya gadis itu ingin mati dalam keadaan bosan. Kinan sangat rindu sekali dengan suasana sekolah, sudah lebih dari satu minggu gadis itu tidak mengnjakkan kaki di SMA Paripurna Negara.

Kinan melirik gawainya berdering, di sana tertera nama Della tengah meneleponnya.

"Halo, Dell. Lo kemana aja sih? Gua kangen tau, lo tau nggak sih gua bosen banget di rumah rasanya gua bakalan mati ke bosenan deh," omel Kinan.

"Ya ampun Kinan, suara lo bikin gendang telinga gua hampir rusak. Kemarin gua ke rumah lo, tapi lonya nggak ada. Kata tetangga, lo belum balik," jelas Della. Ya, kemarin Della sempat mengunjungi rumah Kinan yang dulu, namun menurut tetangga sekitar Kinan dan Zena belum pulang dari rumah sakit. Alhasil Della kembali pulang ke rumahnya.

"Oh, iya. Gua lupa ngasih tau lo kalo sebenernya gua udah pindah rumah, ke rumah yang dibeli papa."

"Ya ampun Kinan! Kok lo nggak bilang sama gua sih?!" jerit Della dari sebrang sana. "Ya udah, nanti kasih tau alamatnya, nanti pulang sekolah gua langung main ke rumah baru lo. Oh, iya, gimana keadaan tante Zenna?"

"Alhamdulillah, mama udah mendingan kok."

"Syukurlah, ya udah gua tutup dulu ya, sebentar lagi guru masuk nih."

"Iya. Hati-hati ya."

Setelah sambungan telepon itu terputus. Kinan kembali menghela napasnya pelan, lalu beranjak dari sofa menuju taman belakang rumahnya.

Dari ambang pintu, Kinan sangat melihat jelas bagaimana sang mama tengah asyik menyirami tanaman kesayangannya dan terdengar senandung kecil dari sana.

Kinan menatap sang mama dari kejauhan dengan melipat tangan di depan dada, rasanya tenang sekali melihat sang mama terus bahagia seperti ini.

Lamunan Kinan terbuyarkan ketika gawai yang digenggamnua kembali berdering. Kinan melihat di layar gawainya tertera nama 'papa' di sana.

"Assalamualaimunm, pah. Kenapa?" Kinan mengubah posisinya menjadi tegak.

"Waalaikumsalam. Papa mau pulang ke rumah, kamu sama mama mau nitip apa?" tanya Danu.

"Nggak usah pah, nanti biar Kinan dan mama yang masak."

"Ya sudah. Kalau begitu papa tutup ya. Wassalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Ketika Kinan membalikkan badannya ingin masuk ke dalam rumah tiba-tiba gadis itu dikejutkan dengan sosok yang berdiri di belakanganya.

"Siapa? Papa kamu?" tanya Zena dengan bersidekap dada.

"Astaghfirullah, mah. Ngagetin Kinan aja." Kinan mengusap dadanya agar detak jantungnya kembali normal. "Iya tadi papa, katanya mau ke sini dan nanya Kinan sama mama mau nitip sesuatu nggak. Terus Kinan jawab, nggak usah pah nanti makan siangnya bhiar Kinan sama mama aja yang masak," jelas Kinan.

"Papa kamu suka banget sama sup ayam, nanti kita coba masak itu ya," ucap Zena penuh antusias.

"Semangat amat sih mah denger pujaan hati mau dateng," goda Kinan tangannya usil mencolek dagu Zena untuk menggoda.

"Apaan sih kamu, mamakan ... mama cuma mau ...."

"Mau apa sih mah, udah deh Kinan paham kok."

"Kinan!" Zena menggeram kesal ketika putrinya itu semakin gencar menggodanya.

"Maafin Kinan mah, Kinan terlalu paham soal begituan," ucap Kinan sembari berlari menjauh dari amukan Zena.

Kinan menutup pintu kamarnya dengan napas terengah. Lalu tidak lama kemudian gelak tawa terdengar di sana. Kinan mempunyai hobi baru sekarang, yaitu menggoda Zena sampai wanita itu kesal.

Dan tidak berselang lama pula, deru mesin mobil terdengar. Kinan menghampiri jendela dan melihat siapakah pemilik mobil itu, ternyata dari dalamnya keluarlah Danu dengan baju santainya.

Dengan semangat yang menggebu Kinan berlari menghampiri pintu kamarnya berniat ingin membukannya, niat Kinan bersembunyi terhenti sejenak karena gawainya berdering.

"Jadi mulai besok saya sudah bisa sekolah lagi pak?" tanya Kinan memastikan bahwa telingannya tidak salah mendengar.

"Alhamdulillah, terima kasih, pak," ucap Kinan lalu sambungan telepon itu terputus.

"Yes! Akhirnya." Kinan bersorak bahagia.

Sementara itu di tempat Danu dan Zena. Ke dua insan manusia yang sudah tidak lagi muda itu kini tengah bercengkrama di dapur. Danu menatap Zena yang tengah disibukkan mengaduk teh untuknya tanpa berkedip.

"Kinan kemana?" tanya Danu memecah keheningan.

"Aku nggak tau, mungkin di kamarnya," jawab Zena meletakkan cangkir berisikan teh yang baru saja dibuatnya.

"Makasih ya."

"Terima kasih untuk?" tanya Zena dengan kening mengerut.

"Untuk teh hangatnya, jujur aku sangat merindukan rasa teh yang selalu kamu buat. Saat aku ingin berangkat kerja dan pulang kerja," jelas Danu.

Zena menunduk malu, mencoba menyembunyikan rona merah di pipinya yang lagi-lagi hadir tanpa diundang.

Di balik dinding pembatas antara dapur dan runag tamu ada sepasang mata yang mengamati keromantisan Danu dan Zena. Bibir Kinan melengkung ke atas membentuk sebuah senyuman. Sedari tadi gadis itu mengintip di balik tembok pembatas itu, ingin melihat seberapa romantisnya suasana yang diciptakan dua insan manusia berbeda jenis itu.

"Kinan, kenapa kamu di situ, sayang?" tanya Danu tidak sengaja melihat sang putri tengah bersembunti.

Kinan terperangah ketika mendengar suara boriton itu yang tidak sengaja memergokinya. Kinan berdehem pelan untuk mencairkan suasana yang sempat tegang.

"Kinan lagi nggak ngapa-ngapain kok, pah," jelas Kinan menampilkan senyum lemarnya.

"Kamu nguping ya?" tuding Zena menatap Kinan menuntut penjelasan.

Lagi-lagi Kinan hanya menampilkan senyum lemarnya, seolah senyumnya itu membenarkan segala ucapan Zena.

"Kamu ini, nggak sopan tahu nguping pembicaraan orang tua," omel Zena kesal.

"Abisnya mama sama papa kelihatannya asyik banget, jadi nggak enak buat ganggu," jelasnya.

"Sayang, kamu tadi udah dapet telepon dari pihak sekolah 'kan?" tanya Danu sembari menyeruput tehnya.

Kinan mengangguk. "Udah pah. Tapi, Kinan bingung, kenapa tiba-tiba pak Caka ngasih tau kalo mulai besok Kinan udah boleh sekolah." Kinan menopang dagunya, ke dua bola matanya melirik ke atas.

"Papa udah urus semuannya, kamu tenang aja," jelas Danu.

Kinan kembali menegakkan tubuhnya matanya membelalak sempurnya. "Papa seirus?" tanya Kinan bibirnya terbuka lebar.

"Papa serius, sayang. Masalah kamu udah selesai, orang yang nyebarin gosip itu akan mendapat ganjarannya."

"Bagaimanapun juga, dia juga anak papa," ucap Kinan berubah datar.

"Papa tahu kamu masih belum bisa menerimanya dan papa tidak akan memaksa."

Danu menghela napasnya pelan. "Papa akan menjelaskan semuanya ke kalian, agar kesalah pahaman ini tidak semakin melebar,"

Kala itu, saat Danu tengah berada di kediaman ke dua orang tuanya. Lelaki itu bagaikan tawanan yang telah melakukan satu kesalahan yang sangat fatal. Danu dibawa dengan paksa dan dipukuli membabi buta sampai wajahnya memar dan bibir serta hidungnya mengeluarkan darah.

"Tinggalkan gadis kampungan itu, Danu!" suara lantang Rendra—papa Danu—memenuhi ruangan luas itu.

"Sampai kapanpun Danu tidak akan pernah meninggalkan Zena, pah," bantah Danu tegas.

Sumeri menampar anak lelakinya itu kencang, sampai wajah Danu terhempas ke samping. "Mau sampai kapan kamu hidup susah bersama wanita itu Danu? Mama dan papa menginginkan kamu menikah dengan Nidya, wanita terhormat dengan pendidikan yang tinggi. Mama dan papa yakin dia bisa melahirkan anak-anak yang cerdas pula, ini juga demi masa depan kamu, Danu" ucap Sumeri amarahnya menggebu-gebu.

"Aku tidak akan pernah menikahinya, pah. Sampai kapan pun aku tidak sudi!"

Bugh! Rendra menendang perut Danu sampai lelaki itu tersungkur mengenaskan di atas lantai kramik bening itu.

"Sudah cukup kamu menjadi anak pembangkang gara-gara wanita itu, Danu! Jika kamu tidak ingin meninggalkannya, maka papa akan menggunakan cara licik untuk menyingkirkan dia dan calon anak yang dikandungnya," ancam Rendra.

"Calon anakku adalah calun cucu papa juga! Apakah papa tega melenyapkan janin yang tidak berdosa itu?"

"Dia bukan cucuku karena sampai kapan pun keluarga Santoso tidak akan menganggap wanita itu sebagai menantu di keluarga ini." Ucapan Rendra terjeda beberapa saat. "Sekarang keselamatan mereka ada di tangan kamu, Danu. Jika kamu masih ingin mereha hidup, maka nikahi Nidya," sambungnya.

Danu terdiam dalam posisi yang masih sama. Lelaki itu tidak ingin meninggalkan wanita yang dicintainya dan anak yang masih dalam kandungan wanita itu. Danu mencintai ke duanya, namun jika menolak keinginan ke dua orang tuanya maka nyawa anak dan wanitanya terancam.

"Baiklahm, aku akan menikahi Nidya. Tapi, papa harus berjanji, jangan menyentuh apa lagi menyakiti wanitaku dan calon anakku yang dikandungnya."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top