34
Tiga hari sudah Zena berada di rumah sakit dan selama itu pula Danu selalu menjenguknya, walau seasaat di waktu senggangnya. Tidak bisa Zena memungkiri, perasaannya sedikit demi sedikit mulai luluh karena perlakuan manis Danu yang selalu ditunjukan kepada dirinya dan Kinan. Namun, lagi-lagi Zena mencoba menepisnya jauh-jauh, karena Zena masih sangat trauma dengan masa lalu.
Perlakuan masih Danu yang selalu Zena dapatkan selalu saja berhasil, seperti saat ini ketika Danu tengah mengupaskan buah jeruk untuknya. Buah berwarna orange itu dalam genggaman Danu, lelaki itu begitu sabar mengupas kulitnya.
"Kinan kemana?" tanya Zena memecah keheningan.
Danu sedikit mendongakkan kepalanya. "Pulang, karena ada sesuatu yang ingin diambilnya," jawab Danu senyum tulus terbit di wajahnya.
Zena tersipu malu ketika melihat senyum Danu yang semakin menawan, meskupun usianya sudah terbilang tidak muda lagi, namun karismanya semakin bertambah.
"Kenapa?" tanya Danu wajahya terlihat takut ketika guncangannya tidak berpengaruh pada kesadaran wanita itu.
Seketika Zena langung mengalihkan pandangannya yang awalnya menatap Danu tanpa berkedip, kini sudah menatap ke arah lain. Pipinya semakin merona akibat malu karena tertangkap basah tengah menatap lelaki itu penuh kekaguman.
"Kamu kenapa? Jangan bikin aku takut dong." Danu semakin mencecar Zena untuk memberi penjelasa.
"Aku nggak pa-pa," jawab Zena mengambil paksa jeruk yang berada di genggaman Danu lalu wanita itu memakan buah itu dengan lahap dan berusaha menutupi kegugupannya.
Danu terdiam ketika Zena mengambil paksa buah yang tengah dikupasnya itu dari genggamannya. Ada rasa bahagia ketika melihat wanitanya memakan buah itu. perasaanya menghangat saat Zena menatapnya tanpa berkedip. Bohong jika Danu tidak berdebar, nyatanya saat ini jantungnya seakan tengah mengadakan lomba lari di dalam sana.
"Bagaimana, apakah manis?" tanya Danu bibirnya menyunggingkan senyum selebar mungkin.
Zena mengangguk malu. "Manis," jawabnya lirih.
Zena merutuki kebodohannya sendiri ketika tidak menyadari bahwa buah jeruk itu sudah hampir habis karena asyik menormalkan degup jantungnya yang sedari tadi menggila.
Saat Zena dan Danu saling terdiam, tiba-tiba dikejutkan dengan suara keributan dari luar. Danu langung berlari dan membuka pintu bercat putih itu, di sana Danu dapat melihat putrinya tengah beradu mulut dengan seorang wanita yang dikenalinya.
"Mamamu dan kau itu sama! Sama-sama tidak tahu diri!" hardik Nidya.
Tangan Nidya sudah melayang di udara ingin menampar Kinan, namun Danu cepat menahannya.
"Hentikan Nidya! Jangan membuat keributan di sini!" peringat Danu tegas.
"Tindakan kamu akan aku adukan ke papa, mas," ancam Nidya.
"Silahkan, aku tidak peduli!"
Nidya menatap Kinan penuh dengan kebencian, jarinya menunjuk Kinan begitu tajam. "Dan kamu, aku tidak akan pernah menyerah untuk membuat mamamu menderita!" Nidya melenggang pergi membawa sejuta amarah di dalam dirinya.
Napas Kinan nampak memburu, gadis itu mencoba menahan emosinya agar pukulannya tidak mendarat di pipi halus milik Nidya.
"Papa akan selalu ada untuk kamu dan mama kamu," ucap Danu menarik tubuh mungil Kinan ke dalam pelukannya.
Perasaan Kinan menjadi lebih tenang sekarang, pahlawan pelindung yang selama ini dimimpikannya telah hadir dan siap untuk membelanya kapan saja. Kinan tersenyum dalam pelukan Danu, senyum bahagia yang jarang sekali terpancar.
Sedangakan di dalam kamar, Zena menatap cemas pintu bercat putih itu karena sedari tadi lelaki yang ditunggunya tidak kunjung kembali. Sedangakan suara keributan itu sudah tidak terdengar kembali.
Danu akhirnya membawa Kinan masuk ke dalam kamar rawat Zena, Danu yakin pasti wanita itu menunggunya di dalam dan benar saja, ketika Danu membuka pintu bercat putih itu Danu melihat jelas bagaimana Zena menghela napasnya lega.
"Kamu tidak papa, sayang?" tanya Zena.
Kinan tersenyum. "Kinan baik-baik aja mah. Bagaimana kondisi mama? papa tidak nakal 'kan?" tanya Kinan menatap Danu dan Zena secara bergantian.
Zena menunduk malu karena godaan Kinan mampu membuat pipinya kembali merona.
'Papamu memang tidak nakal, tapi perlakuan manisnya membuat hati mama melayang,' batin Zena menjerit.
"Tenang sayang, papamu ini akan menjaga wanitanya dengan setulus hati," ucap Danu menimpali.
Zena mendengus. "Gombalan receh," cibirnya.
Tawa Kinan menggelegar di ruangan itu. tawa yang selama ini disembunyikan dengan begitu rapih. Kinan begitu bahagia melihat kedekatan ke dua orang tunya yang begitu romantis dan lucu. Pertengkaran kecil sebagai bumbu pemanis membuat hubungan keduanya semakin erat.
***
Sementara itu di kediaman Banyu, lelaki itu tengah berbicang dengan Gavin anak lelakinya. Keduanya tengah membicarakan Kinan, Banyu tahu Gavin enggan, namun mau sampai kapan kesalah pahaman ini akan terus berlanjut?
"Pah, nggak usah belain Kinan! Menatang-menatang dia itu anak sahabatnya papa."
"Papa tidak membelanya, papa berbicara kenyataan. Kinan itu memang tidak salah, teman kamu yang namannya Jesika itu yang memperburuk suasana."
"Kenapa jadi bawa-bwa Jesika sih, pah?" tanya Gavin semakin bingung.
"Ternyata kamu memang bodoh dalam dunia akademik dan realita, ya?" cibir Banyu.
"Udah deh pah, nggak usah menghina Gavin. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, jika Gavin seperti ini berarti papa juga sama seperti Gavin."
Banyu terdiam, seolah membenarkan ucapan putranya.
"Jangan asal bicara kamu," elak Banyu.
"Memang seperti itu kenyataanya 'kan? Udah lah, Gavin capek mau ke kamar."
Gavin melenggang pergi begitu saja tidak mempedulikan Banyu yang baru saja ingin membuka bibirnya.
"Dasar, anaknya siapa sih," gerutu Banyu. "Kayaknya pas bikin gua baca bismillah, kenapa tetep aja sifatnya sama kaya gua," sambungnya mengusap wajahnya fustasi.
Kepala Banyu rasanya ingin pecah ketika menghadapi sifat Gavin yang keras kepala. Banyu ingin menjelaskan kebenaran foto itu bahwa Kinan tidak bersalah, ini semua hanya salah paham, namun Gavin tetap saja kukuh pada penilaiannya.
***
Nidya terisak ketika memasuki rumah megah bernuansa eropa itu, banyak pasang mata menatapnya iba.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Sumeri—mama mertunya.
"Mas Danu, mah," ucap Nidya yang masih terisak di dalam pelukan Sumeri.
"Kenapa lagi anak itu? berbuat ulah lagi?" tanya Sumeri marah.
"Wanita miskin itu telah mengambil mas Danu dari aku, mah."
Napas Sumeri memburu. "Benar-benar wanita itu, apakah harga dirinya sudah tidak ada lagi! Merusak rumah tangga orang lain saja, dasar wanita murahan!"
Nidya tersenyum puas ketika mendengar luapakan kemarahan yang keluar dari bibir wanita tua itu, hatinya bersorak gembira ketika misinya sebentar lagi akan berhasil.
***
Akhirnya hari kepulangan Zena pun tiba, wanita itu begitu bahagia ketika akan kembali ke rumahnya.
"Mama dari tadi senyum terus," celetuk Kinan.
"Mama bahagia akhirnya bisa pulang ke rumah," jelas Zena.
"Yakin cuma itu aja?" tanya Kinan mengedipkan sebelah matanya menggoda.
"Apaan sih sayang, sejak kapan kamu pandai menggoda mama?" tanya Zena melotot tajam.
"Sejak ada papa, mah," ucap Kinan menatap lelaki paruh baya yang maru saja bergabung bersamanya.
"Kenapa jadi papa?" protes Danu.
"Karena papa yang selalu mengajarkan Kinan untuk menggoda mama," jelas Kinan diakhiri dengan gelak tawa.
Danu mencubit pipi Kinan sampai sang empu menggaduh kesakitan.
"Dasar kamu ya, kamu mau mama kamu semakin marah sama papa?" tanya Danu setelah melepaskan cubitannya.
"Danu, tangan kamu itu besar jangan coba-coba mencubit anakku seperti itu," protes Zena tidak terika karena melihat pipi Kinan memerah akibat cubitan yang Danu berikan.
Danu mengangkat ke dua tangannya tinggi-tinggi seolah memberi tahukan kepada wanita itu bahwa dirinya sudah tidak akan macam-macam lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top