33
Kinan begitu sabar menyuapkan bubur itu ke dalam mulut Zena. Ke dua mata wanita itu tidak lepas memandangi wajah putrinya yang selama ini dirindukannya. Senyum Kinan mengembang ketika Zena mengusap pipinya lembut.
"Mama kenapa sih?" tanya Kinan sembari menyuapkan bubur itu ke dalam mulut Zena.
"Allah begitu adil dengan hambanya. Begitu banyak liku perjalanan yang kita hadapi, akhirnya menemukan titik terang yang begitu manis," ucap Zena bibirnya sedari tadi tak henti bercap syukur.
Kinan meletakkan mangkuk bubur itu yang sudah tidak berisi lagi itu ke atas meja. "Mama benar, rasanya Kinan tidak tahu lagi harus berucap apa sealin rasa syukur atas kesembuhan mama yang semakin nyata di depan mata. Rasanua Kinan bahagia tiada tara." Kinan meluapkan segala kebahagiaanya.
Zena tersenyum menanggapi ucapan Kinan, namun tiba-tiba binar di wajahnya itu meredup ketika mengingat gosip tentang Kinan di pikirannya,
"Lalu bagaimana dengan gosip itu, sayang?" tanya Zena.
Kinan menghala napasnya pelan. "Sudah ada titik terang, mah. Mama do'akan saja suapaya gosip itu cepat terselesaikan."
"Permisi, maaf menganggu waktu berbincangnya, saya ingin memeriksa kondisi ibu Zena," ucap dokter dengan stetoskop menggantung di lehernya.
"Silahkan dok." Kinan bangkit dari duduknya memperilahkan dokter itu memeriksa kondisi mamanya.
"Syukurlah, ada banyak perkembangan. Bekas operasinya bagaimana bu, apakah masih sakit?" tanya dokter.
"Sudah tidak terlalu sakit dok hanya sesekali nyeri saja," jelas Zena.
"Itu hal yang wajar bu, jangan lupa selalu meminum obatnya dan makan makanan yang bergizi untuk membantu pemulihan ya, bu."
"Saya akan selalu memperhatikan pola makan mama saya dok, karena hanya saya saja yang bisa memaksanya," ucap Kinan menyombongkan dirinya.
"Baiklah Kinan, saya serahkan tugas ini padamu," ucap dokter dengan gurauan. "Kalau begitu saya permisi, kalau terjadi apa-apa silahkan ke ruangan saya segera," lanjut dokter itu lalu melenggang pergi.
Kinan dan Zena kembali berbicang membicarakan hal-hal yang menyenangkan. itidak ingin mamanya itu terlalu memikirkan masalah gosip itu karena KInan tidak mau kesehatan mamanya kembali menurun.
Saat Kinan dan Zena tertawa bersama tiba-tiba pintu kamar itu terbuka tanpa diketuk oleh sang tamu. Tawa Zena terhenti ketika tahu siapa yang datang.
"Maaf aku menganggu waktu bergurau kalian," ucapnya rasa bersalah itu nampak jelas di wajahnya.
"Tidak sama sekali, pah," ucap Kinan menyambut hangat kedatangan Danu.
"Bagaimana keadaan mama kamu, sayang?" tanya Danu sembari meletakkan bingkisan yang berisi buah-buahan itu di atas meja.
Kinan melirik Zena yang nampak enggan menatap Danu. "Mama baik pah, kondisinya juga sudah mulai membaik," jelas Kinan senyumnya masih mengembang di wajahnya.
Wajah Danu terlihat bahagia dan lega. "Papa turut senang mendengarnya."
Nampaknya di kamar rawat itu yang antusias menyambut kedatangan Danu hanyalah Kinan. Meskipun begitu, Danu tidak berhenti mengucap rasa syukur karena anak gadisnya mulai mau menerima kehadirannya kembali. Katakanlah Danu serakah, lelaki itu juga menginginkan Zena kembali kepadanya dengan cara apa pun akan dirinya tempuh.
"Papa sudah makan?" tanya Kinan.
Danu menggeleng. "Belum," jawab Danu senyumnya tidak pernah pudar.
"Kinan akan membelikan sesuatu untuk papa, tolong jaga mama ya pah, jangan diapa-apain," goda Kinan lalu melenggang pergi meninggalkan tempat.
Setelah kepergian Kinan, ruang rawat bercat putih itu hening, Danu dan Zena saling terdiam hanya terdengar detik jam yang berputar.
Bibir Danu terasa gatal ingin menanyakan bagaimana keadaan wanita yang dicintainya itu, namun rasa takut jika Zena semakin tidak nyaman kepadanya seketika menghantuinya.
"Aku akan keluar," ucap Danu yang sudah berdiri dari duduknya.
Saat Danu akan melangkahkan kakinya, Zena langsung mencekal pergelangan tangannya erat. "Aku ingin bicara," ucap Zena.
Danu kembali terduduk di tempat semula. Kedunya kembali saling diam. Danu masih setia menunggu Zena membuka bibirnya.
"Jangan hadir di kehidupan kami lagi." Suara Zena memcah keheningan yang sempat tercipta.
"Mengapa harus seperti itu?" tanya Danu sangat terluka.
"Karena aku tidak ingin berurusan dengan keluargamu," jawab Zena terdengar datar.
"Mereka sudah berubah."
"Memang, namun hanya untukmu tidak untukku!" bantah Zena tegas.
"Jika aku menolak ingin berpisah lagi dengan Kinan, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Danu mulai menantang.
"Sudah cukup hidup Kinan dihantui dengan olokan para tetangga, aku tidak mau anakku menjadi bahan tertawaan keluargamu."
Helaan napas kasar Danu terdengar nyaring di telinga Zena. Zena tahu betul jika Danu sangat menyayangi dan mencintai Kinan melebihi apa pun.
"Aku akan melindunginya," ucap Danu yakin.
"Lalu memberikan kami harapan palsu lagi dan membuat Kinan semakin membencimu?" tanya Zena yang sudah mulai berani menatap Danu. "Jika itu yang kamu lakukan, lebih baik kamu pergi dari sekarang sebelum Kinan kembali mencintaimu, Danu."
"Apa salah jika seorang anak mencintai papanya sendiri?" nada suara Danu mulai menaik.
"Tidak. Namun, jika niatmu mendekatinya untuk meninggalkannya kembali, saranku lebih baik kamu pergi dari sekarang. Karena tidak hanya Kinan yang tersakiti, tapi aku juga terluka. Kamu menyakiti dua hati sekaligus di sini. Hilangkan sikap egoism itu, Danu."
"Zena, aku ingin dekat dengan anakku yang sudah terpisah selama belasan tahun."
"Buktikan kesungguhan itu dan buat aku percaya dan akhirnya bisa ikhlas untuk mengizinkan Kinan kembali mencintai papanya lagi."
Danu seperti mendapatkan semangat hidupnya kembali ketika Zena memberinya satu kesempatan emas ini.
"Akan aku buktikan." Danu berucap yakin.
Sosok Banyu tiba-tiba muncul dari balik pintu bercat putih itu dengan senyum yang membuat Danu semakin geram.
"Maaf, aku menganggu waktu romantis kalian," ucap Banyu senyumnya mengembang seolah tidak melakukan kesalahan.
"Untuk apa kau kemari?" tanya Danu melemparkan tatapan sengitnya.
"Niat gua ke sini itu baik buat jenguk Zena, kenapa lonya yang sewot sih," omel Banyu kesal.
"Lo ganggu tau nggak!"
"Nggak ada yang ngelarang buat jenguk aku di sini, Danu," ucap Zena melerai pertengkaran dua lelaki yang usianya sudah tidak muda lagi.
Danu mendengus kesal saat melihat senyum kemenangan itu nampak nyata membingkai wajah Banyu.
"Kau dengar sendiri bukan?" tanya Banyu menampilkan senyum megejeknya.
"Sebaiknya kalian berdua keluar dari sini, aku ingin istirahat," ucap Zena secara terang-terangan mengusir dua lelaki itu dari kamarnya.
Danu menarik tubuh Banyu untuk keluar dari kamar rawat Zena dengan kasar. Jujur saja, Banyu sedari dulu hobi sekali meganggunya dengan cara apa pun dan sialnya selalu berhasil.
"Santai kali, gua nggak bakalan rebut Zena dari lo," ucap Banyu melepas kasar tangan Danu yang mencekalnya.
"Tapi lo sempet suka 'kan?" tanya Danu nadanya tidak suka.
"Hanya masa lalu. Sekarang gua udah punya Saira, nggak akan bisa tergantikan."
"Baguslah kalo lo udah inget."
"Lo masih cemburu aja," goda Banyu. "Istri muda mau dikemanain, bung?"
"Istri gua cuma satu!" bantah Danu tegas.
Banyu mengangguk. "Lalu wanita yang lo nikahin pas bunting tiga bulan itu siapa ya?" tanya Banyu mencoba mengingatkan Danu.
"Dia hamil bukan sama gua!"
"Habis manis kok sepah dibuang," cibir Banyu yang tidak gencar menggoda Danu.
"Nantangin baku hantam di sini?" tanya Danu sudah memnperisapkan posisi kuda-kuda.
"Sayangnya lagi nggak niat," jawab Banyu langsung melenggang pergi begitu saja.
Danu mengepalkan tangannya erat ketika mengingat bagaimana Banyu ingin merebut Zena di masa-masa dulu. Meskipun hubungan kedua sahabat itu telah membaik, tetap saja Danu tidak akan pernah melupakan kejadian itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top