27

Della terlihat tengah sibuk mengaduk kopinya. sedari pulang sekolah bibir gadis itu bungkam. Rasa kecewa tentu saja masih menyelimutinya, rasa tidak percaya kepada sahabatnya menguasainya.

Della mengenal betul bagaimana kepribadiannya yang tangguh dan tidak mudah goyah. Sahabatnya itu juga termasuk dalam golongan wanita terhormat, tidak suka menggoda lelaki apalagi merusak rumah tangga orang. Namun, romor itu beredar luas hingga Della sudah tidak bisa membohongi perasaannya lagi. Saat ini Della masih tidak percaya jika sahabatnya itu bermain api dengan suami orang dan yang lebih parahnya lagi lelaki itu adalah ayah kandung Gavin, lelaki yang selama ini mengincar Kinan.

Della berjalan gontai menuju kamarnya, gadis itu menutup pelan pintu bercat biru itu rapat-rapat. Della menghembuskan napasnya pelan ketika tubuhnya sudah terbaring di atas kasur empuk miliknya. Tangannya meraba sekitar dan menemukan benda pipih yang sedari tadi tidak dipegangnya.

Mata Della membola sempurna ketika melihat puluhan panggilan tidak terjawab dari Kinan da nada beberapa pesan dari sahabatnya itu.

Kinan

Dell, tolong bantuin gua, mama gua kambuh lagi. Gua mohon Dell, cuma lo yang gua punya.

Dell, gua tau lo masih marah dan kecewa sama gua, tapi gua mohon Dell gua butuh lo.

Dell, mama gua keritis dan gua nggak tau harus gimana.

Begitulah pesan yang Kinan kirimkan kepada Della. Gadis itu langsung bergegas keluar dari rumahnya. Dalam perjalanan, hati Della sungguh tidak tenang. Gadis itu memikirkan bagaimana perasaan Kinan, pastilah sahabatnya itu sangat terpukul. Di saat masalahnya belum selesai, sahabatnya itu harus menerima cobaan baru lagi.

***

Kinan masih terpaku di tempatnya. Tubuhnya seketika bingung, ingin menolak tapi dirinya nyaman dengan pelukan itu. akhirnya akal sehatnya kembali, Kinan mendorong tubuh lelaki itu sampai pelukannya terpelas.

"Maafkan saya, Kinan," ucapnya penuh rasa bersalah.

"Pak Danu kenapa bisa ada di sini?" tanya Kinan.

"Saya ingin ...."

"Maaf, dengen keluarga pasien?" tanya dokter yang tiba-tiba saja datang.

Kinan mengangguk. "Iya dok, saya anaknya."

"Pasien ingin bertemu dengan kamu."

Kinan pun mengikuti langkah dokter itu masuk ke dalam ruangan di mana terdapat Zena terbaring di sana dengan selang infus dan oksigen yang melekat pada tubuhnya.

"Mama." suara serak Kinan mampu membuat mata Zena terbuka.

Zena meraba wajah Kinan dengan lebut penuh kasih sayang. Mata wanita itu terus saja mengeluarkan air matanya.

"Mama, Kinan tidak bersalah," ucap Kinan dengan suara serak yang tidak bisa ditahannya lagi isakan kecil itu lolos di bibir tipisnya.

"Mama yakin kamu tidak bersalah. Namun, jika kabar itu benar, pastilah kamu mempunyai alasan tersendiri."

"Kinan akan menjelaskan sekarang mah. Saat Kinan meminta izin untuk kerja, malam harinya Kinan mendapat kabar ada lowongan pekerjaan yang tidak memandang usia dan stastus. Kinan begitu tergiur karena sudah merasa putus asa. Setiap pulang sekolah Kinan mencari pekerjaan, namun mereka menolak dengan alasan yang sama. Kinan mulai mempertimbangkan tawaran itu dan pada akhirnya Kinan mencoba mendatangi tempat itu. Alhamdulillah Kinan diterima bekerja di sana dan malam harinya Kinan mulai bekerja sampi larut malam." Kinan menjeda penjelasannya, menarik napasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan. "Maafkan Kinan, mah yang tidak bisa menepati janji Kinan sendiri," lanjutnya.

"Lalu, mengapa gosip itu beredar luas?" tanya Zena.

Kinan menghela napasnya pelan. "Kala itu, Kinan bertemu dengan salah satu teman pemilik club itu dan kami pun mengobrol. Beliau bernama Banyu, ayah dari Gavin. Kinan juga tidak tahu mah, mengapa foto itu bisa diambil ketika Kinan dan beliau tengah berbincang bersama," jelas Kinan tatapan matanya sedu membayangkan kejadian beberapa hari yang lalu.

Zena mengulurkan tangannya mengusap puncak kepala Kinan dengan begitu lembut dan penuh kasih sayang.

"Maaf saya menganggu."

Suara boriton itu sontak membuat Zena menghentikan usapan di kepala Kinan. Zena sangat mengenali suara itu, meskipun sudah terpisah belasan tahun, namun Zena tidak akan pernah melupakannya.

"Pak Danu, kenapa bapak masuk?" tanya Kinan mengernyit heran.

"Kinan kamu ..." Zenna sengaja menggantung kalimatnya, karena wanita itu tidak tahu lagi harus berkata apa. Sangat disayangkan Zena tidak bisa melihat wajah lelaki yang selama ini tega menelantarkannya dan darah dagingnya.

"Mama kenapa?" tanya Kinan ketika melihat wajah Zena memucat.

"Zena," gumam lelaki itu, namun masih bisa Kinan mendengarnya.

"Bapak kenal mama saya?"

"Zena, jadi kamu belum memberitahu yang sebenarnya?" tanya lelaki itu pandangan matanya menyorot Zena penuh kekecewaan.

"Untuk apa mas ke sini?" tanya Zena wajahnya dibuat setenang mungkin, padahal di dalam hatinya ingin menjerit, menangis, dan ingin memukuli lelaki itu.

"Jawab aku mas Danu, mau apa kamu ke sini? Tidak cukupkah kamu membuat aku dan anakku menderita selama ini?"

"Zena, tidak bisakah kamu menatapku hangat seperti dulu?" tanya Danu dengan suara serak menahan tangis.

"Maaf pak, tapi mama saya tidak bisa melihat," jelas Kinan.

"Astaghfirullah."

Danu menangis. Ya, semasa hidupnya, baru kali ini dirinya merasakan sakit hati yang teramat dalam setelah perpisahannya dengan wanita itu. Melihat wanita yang dicintainya terbaring lemah di atas brangkar rumah sakit dengan penglihatan yang bermasalah.

'Lelaki macam apa kamu Danu? Kamu pantas disebut sebagai pria paling brengsek di muka bumi ini,' batin Danu menyumpah serapahi dirinya sendiri.

"Kinan, ini papa, nak," ucap Danu nadanya bergetar karena dadanya terlalu sesak ketika melihat dua wanita yang dicintainya menderita dan sialnya itu juga karena dirinya.

Kinan terdiam di tempatnya tanpa sadar tangannya terkepal erat dan sorot matanya kian tajam ketika melihat wajah lelaki paruh baya itu menangis.

Kinan semakin menatap tajam lelaki itu ketika langkahnya semakin mendekat kearah brangkar rumah sakit di mana Zena terbaring di sana.

"Stop!" ucap Kinan tegas. "Saya mohon kepada bapak, jangan langkahkan kaki anda mendekati mama saya!" urat di leher Kinan semakin menonjol.

"Papa sangat rindu dengan kalian," ucap Danu nadanya mulai melemah.

"Rindu? Persetaan dengan rindumu itu! tidakkah anda sadar selama ini kau telah menghancurkan kami secara perlahan? Lalu, apakah anda senang dengan hasil anda saat ini? Jangan tunjukan wajah memelas anda itu seolah di sinilah anda yang paling menderita. Anda sudah melihatnya kan tuan Danu yang terhormat?"

"Kinan, jangan panggil papa dengan sebutan tuan, sayang. Sunggu itu sangat menyakitkan."

"Menyakitkan? Lebih sakit anda atau mama saya? Ketika dengan egoisnya anda tergoda dengan wanita jalang!"

"Zena, apa yang kau jelaskan kepada anak kita?" tanya Danu menatap Zena sendu.

"Aku tidak menjelaskan apa-apa mas, Kinan sudah dewasa dan bisa menyimpulkan segalanya dengan mudah," ucap Zena yang masih mempertahankan sisi ketangguhannya.

"Anda jangan menyalahkan mama saya!" jari Kinan menujuk Danu tajam. "Karena di sinilah anda yang paling bersalah, tuan!" tegas Kinan sekali lagi.

"Sayang, turunkan jari telujukmu itu, nak. Sungguh, hati papa sangat sakit. Maafkan papa, meninggalkan kalian adalah penyesalan terbesar dalam hidup papa."

"Jangan sebut diri anda sebagai papa saya, karena yang saya tahu papa saya telah tiada sejak saya masih di dalam kandungan, beliau sudah tenang di alam sana."

"Zena, tidak adakah kesempatan untuk kita bersama lagi? Aku sangat kehilangan momet di mana Kinan terlahir ke dunia, mendengat tangisnya pun aku tidak, menggendongnya pun juga tidak, dan tidak penah memeluknya saat ia terluka. Aku melihat seorang papa di luaran sana yang sangat perhatian kepada putrinya, mengajarinya berjalan, bermain sepeda bahkan bermain kuda-duaan. Zena, aku sungguh kehilangan mement itu. andai waktu ...."

"Waktu tidak akan pernah bisa diputar kembali tuan, jika bisa pun saya tidak ingin mempunyai papa seperti anda," ucap Kinan tajam.

Danu terbungkam, bibirnya terkatup dengan begitu rapatnya bahkan tidak ada celah udara untuk masuk kedalamnya. Sedangkan hatinya, sayangnya saat ini hati itu sedang tidak baik-baik saja.

Suasana yang tegang itu seketika mulai mencari ketika Della tiba-tiba datang dan membuka pintu bercat putih itu secara kasar. Napasnya terengah, terlihat dari dadanya yang naik turun dan bibirnya sedikit terbuka.

"Maaf, aku nggak sengaja," ucap Della tidak enak hati.

"Kamu temannya Kinan?" tanya Danu.

"Iya om, om siapa ya? maaf saya baru melihat om."

"Perkenalkan saya Danu, papanya Kinan." Danu mengulurkan tangannya sebagai tanda perkenalan.

Della menerima uluran tangan itu. "Halo om, saya Della sahabtnya Kinan."

Della menatap Kinan tanpa bisa berbicara apa pun. Tiba-tiba suasan kembali tegang seperti sediakala. Della melihat Kinan hanya diam dengan raut wajah yang menahan amarah. Della tahu betul tidak mudah untuk Kinan bisa menerima lelaki itu kembali.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top