25

Plak!

Kinan menampar pipi Gavin sampai badan kekar lelaki itu terhuyung ke samping. Kinan sungguh terluka dengan hinaan yang Gavin berikan kepadanya. Mulut pedasnya sungguh membuat hati Kinan tegores, perih bagai luka baru ditaburi garam.

"Gua nggak serendah itu, Gavin!" Kinan menunjuk Gavin dengan tajam.

Gavin tersenyum mengejek. "Ganggin suami orang apa itu bukan rendahan namanya?" Gavin menjeda ucapannya. "Bener apa kata orang, jangan lihat seseorang dari wajahnya. Karena polos belum tentu dia itu benar-benar bersih. Contohnya lo," sambung Gavin.

Semua ucapan Gavin memapu menyayat hati Kinan. Bahkan secara terang-terangan lelaki itu mengatainya sebagai wanita murahan di depan teman sekelasnya.

Kinan beralih menatap sahabatnya, Della. Dari kejauhan Della juga menatapnya, tatapan penuh kekecewaan terpancar jelas di sana dan Kinan beralih menatap Pipin dan semua teman-teman satu kelasnya, tatapan mereka sama seperti Gavin dan Della menatapnya.

Suara bel berdering tanda semua siswa-siswi harus bekumpul di lapangan ucapacara. Kinan pasrah dengan apa yang menjadi keputusan kepala sekolah dan para guru.

Di sana, Kinan berdiri di depan tepatnya di tengah-tengah para barisan teman-temannya. Kinan dapat mendengar dengan jelas cacian dari mereka yang mengatainya jalang, penganggu suami orang, dan sebagainya. Sakit, ini sungguh sakit.

"Selamat pagi, siswa-siswi yang saya banggakan. Pastilah kalian sudah tahu mengapa saya mengumpulkan kalian di sini," ucap Caka lantang.

"Di depan kalian, sudah berdiri seorang ketua osis yang seharusnya menjadi panutan dan contoh yang baik untuk adik-adik kelasnya serta teman-temannya. Namun, nampaknya osis kita kali ini melanggar janjinya sendiri," sambung Caka yang menatap tajam kearah Kinan. "Dia masih pelajar, namun tindakan tidak senonoh itu menyebar luas hingga satu sekolahan dan mencoreng nama baik saya dan SMA Paripurna Negara seta para guru," lanjutnya.

"KELUARIN PAK," ucap mereka serempak dengan semangat.

Gerimis turun begitu pelan, air kecil itu turun membasahi kelopak mata Kinan yang sedari tadi kering itu kini menjadi basah. Rintiknya semakin deras, seolah tengah mewakili sejuta perasaan Kinan yang tengah sakit. Langit pun ikut menangis, kala seorang gadis dihakimi begitu saja tanpa menjari tahu kebenarannya. Seadil itu kah Tuhan kepada hambanya?

Kinan masih berdiri kokoh di tempatnya, meskupun kepalanya tertunduk, namun jiwanya masih tetap berdiri untuk membela keadilan.

Kinan mulai memberanikan diri untuk menatap Caka yang tengah berdiri di atas podium.

"Apakah bapak pernah mencari tahu kebenarannya?" tanya Kinan suaranya lantang mengguncang lapangan tempat di mana dirinya berdiri, kilatan langit terlihat amat jelas seolah tengah membantunya untuk mengungapkan segala beban dalam hatinya.

"Saya memang bekerja di tempat itu, tetapi apakah bapak pernah mencari tahu mengapa saya di sana dan bagaimana saya bisa berada di tempat seperti itu, dan bahkan bapak tidak menannyakan alasan saya berada di tempat itu," ucap Kinan dengan beraninya. Jiwa wanita yang sesungguhnya terpancar jelas lewat aura wajahnya yang tegas.

"Agama saya memang melarang untuk mendatangi tempat seperti itu, namun jika keadaan memaksa saya, saya harus berbuat apa pak? Gadis yang hanya terlahir dari keluarga sederhana dan harus mendapat cobaan berat. Mama saya sakit pak dan membutuhkan biaya pengobatan." Kinan menjeda ucapannya lalu berbalik badan menatap teman-temannya yang berdiri tepat di belakangnya.

"Kalian. Kalian yang hanya bisa berucap, namun tidak bisa menjalani kehidupan yang begitu pahit. Ya, aku memang sempat mengobrol dengan om Banyu, ayah kandung dari Adibrata Gavin." Tatapan mata Kinan beralih pada sesosok lelaki yang juga menatapnya dengan tajam, aura kebencian masih terpancar jelas di sana.

"DIAM KINAN, SAYA TIDAK MENGIZINKAN KAMU UNTUK BERBICARA!" terikan lantang itu Caka keluarkan untuk membungkam bibir Kinan yang berusaha untuk membela dirinya sendiri.

Bibir Kinan seketika terbungkam diiringi dengan kilatan menyala seperti api di atas langit yang di selimuti oleh mendung yang tebal. Rintik hujan itu kini menjadi deras. Namun, nampaknya Caka tidak ada niatan untuk membubarkan barisan.

"Jangan pernah kamu membela diri kamu sediri, sudah jelas kamu telah mencoreng nama baik sekolahan ini. Tindakan kamu sudah tidak bisa dimaafkan, Kinan." Caka menunjuk Kinan tajam, seolah di sinilah gadis itu yang paling salah.

"Saya, selaku kepala sekolah SMA Paripurna Negara, memutuskan untuk melepas jabatan ketua osis secara tidak hormat kepada Kinandita dan semua biasiswanya akan dilepas!" final Caka tanpa terbantahan.

Spanduk osis yang biasanya terpajang di madding sekolah itu diturunkan secara tidak layak. Kinan menatap Gavin yang tengah memegang spanduk itu, lalu dirobeknya secara brutal hingga lembaran lebar itu sudah tidak terbentuk lagi sampai fotonya sudah tidak bisa dilihat lagi.

Kinan terluka, dan kecewa. Mengapa dunia begitu tega kepadanya. Hidupnya sudah tidak bahagia sedari kecil dan harus merasakan kepahitan lagi saat dirinya remaja. Manusia-manusia yang hanya ingin menangnya sediri, menjatuhkan sesama teman sampai membuatnya tidak berdaya di bawah kakinya.

Semua barisan sudah dibubarkan. Di lapangan luas itu hanya tersisa Kinan yang masih bertahan pada posisinya, menikmati hujan deras yang mengguyur tubuhnya, membiarkan tubuhnya dinikmati oleh angin yang berhembus liar menyusuri seluruh tubuhnya. Namun, nampaknya angin dingin itu tidak bereaksi sama sekali pada tubuhnya. seolah tubuhnya memang sudah mati rasa seperti hati mereka yang menuduhnya dengan cara tidak manusiawi.

Kinan mendongakkan kepalanya, membiarkan air hujan itu menampar wajahnya. Mata sipitnya dibiarkan terbuka sedikit, tepat di lantai tiga Kinan melihat Della tengah mengawasinya dari atas. Tatapan kedunya bertemu dan Kinan melihat Della tengah mengusap air matanya.

Kinan tahu Della sangat kecewa kepadanya lantaran tidak pernah menceritakan pekerjaanya selama ini. Niat Kinan tidak ingin membuat Della semakin khawatir kepadanya, namun nampaknya Tuhan berkehendak lain. Andai saja Kinan bercerita, mungkin Della bisa membelanya di tengah lapangan itu.

Kinan menatap nanar pada selembaran spanduk yang sudah berubah menjadi robekan-robekan kecil yang tergeletak pasrah di atas tanah. Kinan berjongkok dan memunguti robekan-robekan yang terdapat fotonya di sana.

Kinan tersenyum miris, ketika harapannya musnah begitu saja hanya dengan hitungan menit. Tujuannya untuk membahagiakan sang mama, satu-satunya orang yang dirinya miliki di muka bumi ini hanyalah tinggal dongeng semata. Namun, Kinan sempat bahagia dengan dongeng yang sempat dirinya ciptakan itu. walaupun, sesaat, tapi Kinan bahagia bisa merasakan dongengnya sendiri.

"Mungkin takdir tuhan memang seperti ini," gumam Kinan dengan senyum miris yang tergambar jelas di wajahnya.

Della nampak masih berdiri di sana, mengamati Kinan yang tengah berjongkok sembari memunguti spanduk yang sduah tidak terbentuk itu. Hatinya begitu tercubit ketika sahabat satu-satunya mendapatkan musibah yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Gadis itu memang sangat kecewa kepada Kinan, namun Della tahu ini semua bukan murni kemauan Kinan.

Della juga tahu betul, pengobatan mamanya membutuhkan uang yang tidak sedikit. Bagaimana pun caranya, Kinan harus mendapatkan uang itu untuk kesembuhan mamanya. Karena hanya wanita itu yang Kinan miliki di dinia ini.

***

"Bagaimana dengan hasilnya?" tanya lelaki itu wajahnya mengharapkan sesuatu yang bahagia.

Dokter itu menyerahkan selembaran kertas. "Semoga hasilnya sesuai dengan harapanmu," ucapnya dengan senyum di wajahnya. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top