Bab 8 (REPOST)

Jadi seperti ini orang yang sedang jatuh cinta? Aku mengulum senyum sepanjang mendengarkan Rania menceritakan tentang Bram. Sementara di otakku, aku membayangkan apa akan sama jadinya jika aku di posisi Rania? Kata orang rasanya indah.

"Rania jatuh cinta?" tanya Regan menghampiriku begitu aku kembali dari kedai kopi.

Aku menjawabnya dengan anggukan kepala. Yang kutahu Regan sudah lama naksir Rania. Tapi takut untuk mengungkapkannya. Hm, Regan yang malang.

"Sama siapa?" tanyanya penasaran.

"Bram," jawabku singkat, "ops!!!"

Aku menoleh cepat pada Regan begitu menyadari kejujuran yang teramat sangat dariku yang tidak bisa kutahan. Melihat pria itu terdiam, pias.

"Regan, maaf," ucapku pelan, meringis tidak enak hati.

Dia tersenyum, tangannya terulur mengusap puncak kepalaku.

"Tidak ada yang salah dengan hati. Oke, Fah, terima kasih," lirihnya seperti menahan sesak. Tapi aku tahu dia hanya berusaha menutupi itu seperti yang sudah-sudah.

Dia beranjak meninggalkanku. Aku masih terdiam menatapinya hingga dia mencapai meja kerjanya. Sesaat aku menghela napas.

"Regan!" panggilku.

"Ya?"

"Jalan-jalan ke Mall? Coba kedai kopi baru?"

Entah, aku hanya merasa perlu melakukan ini untuknya. Lagipula dia juga sering melakukan hal seperti ini ketika aku mulai merasa jenuh dengan kehidupanku.

Sementara dia terdiam, seperti menimbang sesuatu. Aku masih menatapnya menunggu jawaban darinya.

"Pulang kerja?"

"Oke," jawabku dengan senyum merekah.

Dia tertawa, menggelengkan kepalanya kemudian kembali pada pekerjaannya. Sama denganku.

***

Dia membiarkanku menyeret tangan kanannya memasuki sebuah kedai kopi di pusat perbelanjaan itu. Dia juga tidak keberatan membayari dua gelas kopi ukuran Large. Kupikir sepertinya dia sedikit bisa melupakan apa yang membuatnya sesak.

"Kamu kasih tahu Rania?" tanyanya sambil melangkah keluar dari kedai kopi.

Aku mengangguk, sembari meminum kopi dingin milikku.

"Iya, tapi aku belum mendapat jawaban dari Rania."

"Kenapa?" tanya Regan.

"Sengaja. Ponselku off," jawabku meringis lebar.

"Kalau ada yang mencarimu?" tanya Regan menjatuhkan tatapannya padaku. Perlu diingat, tubuhku hanya sebatas ketiak Regan. Pria berkumis seperti Jerry-nya Tom itu berpostur tubuh tinggi kurus.

"Kamu bersamaku. Yang lain juga sudah tahu aku bersamamu. Jadi siapa yang mencariku?" sungutku membuatnya terkekeh. Tangannya mengacak rambutku.

"Makanya mulai belajar membuka hati. Biar kamu tidak terus menerus mengekori kakak-kakakmu," ucapnya.

Dia selalu mengatakan itu. Tapi dia sendiri tidak pernah mencoba membuka hati untuk orang lain. Dia selalu rela terluka untuk Rania. Astaga, aku mendesah dalam hati. Kasih tak sampai!

"Nonton?" tanya Regan di antara langkah kami mengelilingi Mall.

"Belum tertarik," jawabku.

"Belanja?"

Aku terdiam, berhenti dari langkah. Bibirku tersenyum miring.

"Astaga, Fah. Lain kali saja," putus Regan membuatku tergelak. Dia paham ketika aku menjadi tertarik untuk belanja. Karena dia harus merelakan sebagian gajinya untuk belanjaku.

"Akan kucatat dalam ingatanku," ujarku menyeringai.

Dia mendesah. Mungkin merutuki dirinya karena salah mengucap. Sedang aku tersenyum penuh kemenangan. Bulan depan belanja dengan sebagian donasi dari Regan.

"Cari makan malam. Kamu mau makan apa?" tanya Regan. Kepalanya bergerak mencari tempat makan. Begitu juga denganku.

Tapi kemudian kepalaku berhenti bergerak di satu titik. Apa yang kulihat membuatku ingin berkata bahwa mataku salah melihat. Aku ingin tidak mempercayainya. Sungguh. Aku bahkan beberapa kali mengerjabkan mata. Tapi sia-sia.

Sosoknya malah semakin terlihat jelas. Dia berdiri menegang kaku, melihat pada satu titik. Tangannya bergerak mengepal dalam diam. Wajah tenangnya mendadak mengeruh tertutup luapan emosi. Entah apa yang menyebabkan dia menjadi marah.

Aku ingin menghampirinya. Tapi kakiku sulit untuk digerakkan. Mataku malah berganti sibuk mencari kemana tatapan itu tertuju.

Tidak lama. Karena kulihat Bram seperti menyadarkan seorang William Daniell dari kemarahannya. Pria itu bergegas melangkah bersama Bram. Hingga kemudian mataku mendapati seseorang yang lain melangkah gontai bersama tangan mungil di gandengannya.

Seorang wanita dengan gaun krem sederhana. Mataku menyipit, demi melihat lebih jelas wanita itu. Rambut ikal sebahunya dan tubuh rampingnya adalah paket yang sempurna.

"Fahsai? Hei, ayo jalan," tegur Regan menyadarkanku dari wanita itu.

"Ya," sahutku tergagap lalu kembali melangkah. Tapi di otakku terus berputar bertanya siapa wanita itu. Dan kenapa Daniell bisa terlihat semarah itu.

Aku segera menepis keinginkanku untuk mencari Daniell. Tadi pagi dia berpesan untuk tidak mencarinya. Aku mengedikkan bahu, melangkah lebih ringan bersama Regan memasuki sebuah restoran cepat saji.

Makan malam bersama Regan itu sudah pasti akan memakan waktu lama. Pria ini akan banyak bercerita di sepanjang makannya. Mulai dari hal yang serius sampai yang lucu. Bahkan terkadang sampai lupa waktu.

"Yah, sudah malam. Ayo kita pulang. Aku antar kamu ya?" katanya ketika menyadari karyawan restoran itu sudah mulai bersiap untuk tutup.

"Hm, aku bisa pulang sendiri. Terima kasih untuk kopi dan makan malamnya," ucapku tersenyum lebar.

Dia terkekeh, "Aku. Terima kasih sudah menemaniku. Melupakan sejenak soal Rania. Kamu si bungsu yang selalu mengerti kami."

"Aku pulang," ucapku sambil beranjak.

"Oke. Kabari aku kalau kamu sudah sampai rumah."

"Hm!"

Aku bergegas meninggalkan restoran cepat saji itu. Keluar dari pusat perbelanjaan, menyusuri trotoar. Masih cukup ramai orang-orang. Aku menghela napas di antara langkah.

Entah, malam ini aku enggan pulang cepat. Masih ingin menikmati malam. Bahkan langkah kakiku begitu santai. Tanganku merapatkan sweater yang kukenakan. Berjalan menuju ke shelter bus untuk ke rumah.

Waktu yang kuhabiskan untuk perjalanan pulang mengulur hingga setengah jam. Itu karena aku malah nyaman duduk di shelter bus, melewatkan 3-4 bus. Aku sangat menyukai keadaan ini.

Hingga hampir tengah malam, aku baru sampai di apartemen. Aku melangkah gontai. Baru merasakan lelah. Tanganku menekan saklar lampu di ruang tengah.

Aku baru akan menjatuhkan tubuhku di sofa ketika melihat seorang William Daniell berdiri menatapku lurus. Masih dengan kemarahan yang sama. Katanya dia tidak pulang karena akan ada urusan beberapa hari ini. Tapi sekarang ada di hadapanku.

Aku menahan napas melihat dia melangkah mendekatiku. Tidak tahu harus berkata apa. Aku masih cukup terkejut dengan keberadaannya.

"Fahsai," panggilnya serak.

Dia meraup tubuhku, memelukku seperti ingin meremukkan tubuhku. Sementara aku hanya diam, menahan napas. Apalagi ketika pelukannya mengantarkan sesak yang tersendiri. Entah bagaimana bisa dia selalu berhasil membagi apa yang dia rasakan lewat pelukannya.

"Kamu tidak akan menghancurkan aku kan?" bisiknya sarat ketakutan dan kesakitan.

"Daniell," lirihku.

Tanganku bergerak membalas pelukannya. Mengusap punggungnya. Aku merasakan dia semakin dalam memelukku. Wajahnya terbenam di ceruk leherku.

"Kamu tidak akan meninggalkanku kan? Kamu tidak akan melupakan janjimu kan?"

"Ya," ucapku masih setengah bingung.

Yang menjadi pertanyaanku adalah dia kenapa? Ada apa dengannya? Karena sejauh ini dia tidak pernah seperti ini. Aku hanya melihatnya seseorang yang tenang. Seseorang yang tidak memiliki ekspresi.

Tapi malam ini aku melihat seorang Daniell di dalam kerapuhannya. Seseorang yang bisa membuat mataku berembun ingin menangis tapi tidak bisa.

"Kamu ada perasaan itu kan? Perasaan yang hanya untukku?"

Aku mengernyit. Dia melepaskan pelukannya lalu menggenggam kedua lenganku. Matanya menatapku lekat-lekat. Masih tetap ada kemarahan di wajahnya. Aku melihat garis-garis keras itu masih bertahan.

"Hey, ada apa?" tanyaku memberanikan diri.

"Aku bertanya, Fah! Aku hanya butuh jawabanmu bukan pertanyaanmu!"

Dia melepaskan genggamannya di lenganku dengan sedikit kasar. Sikapnya membuatku terkejut untuk kesekian kalinya. Aku masih berdiri terdiam menatap dirinya yang meninggalkanku.

"Daniell!" panggilku melihat dia yang sudah membuka pintu.

Dia berhenti dari langkahnya. Tidak menoleh sedikitpun. Sementara aku menarik napas, sedikit ragu untuk apa yang akan kuucap.

"Bisa kamu kembali? Menyelesaikan kemarahanmu?"

Dia menutup pintu sedikit membanting, melangkah cepat padaku. Dia menarik tanganku sedikit kasar, menjatuhkanku di tempat tidur.

"Kamu pikir kamu siapa?! Kamu bukan malaikat! Kamu bukan pahlawan! Seseorang yang sempurna di mata orang-orang!" desisnya bernada kebencian, tepat di wajahku.

Dia menindih tubuhku. Sementara aku merasa sakit dengan kata-katanya. Apa yang kulakukan, aku tidak pernah bermaksud sok sempurna. Hanya sekedar ingin membantu sedikit saja mengurangi kemarahannya. Tapi sepertinya dia salah paham.

Aku mengerjabkan mata. Menarik napas dalam-dalam, menekan sesak itu untuk tidak menguasai diriku.

"Kamu bisa pergi jika itu yang kamu inginkan. Maaf, sudah melarangmu," lirihku kemudian memaksakan sebuah senyuman tipis.

Dia beranjak bangun lalu meninggalkanku. Melangkah cepat. Aku bahkan mendengar suara pintu tertutup dengan keras.

Sementara aku masih berbaring, menatap langit-langit kamar. Mencoba menghilangkan sendiri sakit itu. Berpikir positif bahwa apa yang dikatakan Daniell tidak bermaksud menyakitiku. Dia hanya tidak bisa mengendalikan kemarahannya. Itu saja.

***

Tbc
30 April 2018
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #romance