Bab 7 (REPOST)

Aku terbangun begitu mendengar dering telfon. Tanganku menggapai-gapai ponselku di meja dekat tempat tidur. Sedikit susah payah karena sepasang lengan itu mendekap tubuhku.

"Hm?" sapaku sedikit menggumam, masih dengan mata terpejam.

"Fah? Kamu bisa datang pagi-pagi tidak?" Sebuah suara bernada panik menyambut sapaanku. Berhasil membuat mataku terbuka lebar, tidak lagi ada rasa kantuk.

"Kenapa memangnya?" tanyaku melirik pada jam weker, masih pukul 05.30.

"Aku sudah janji sama Mr. Daniell untuk presentasi design acara dia. Tapi tiba-tiba Pak Dirga minta aku untuk meeting dadakan. Sepertinya urgent. Aku sudah bilang sama Bram kalau kamu yang mewakili aku untuk presentasi," ucap Rania.

"Presentasi? Aku? Regan kan bisa. Kenapa harus aku?"

"Fah, Regan bicaranya kurang jelas. Sedikit gagap jika berhubungan dengan orang banyak. Kamu pasti bisa. Tinggal pencet file di laptop. Bahan sudah aku siapkan. Oke? Aku percayakan sama kamu. Aku jalan sekarang. Meetingnya di Bandara. Pak Dirga mau ke luar kota."

Aku melenguh. Apa ini pagi-pagi? Ketemu Daniell? Presentasi design? Aku mengerang, malas! Tanganku kembali meletakkan ponselku, lebih memilih melanjutkan tidurku. Tapi aku seperti tersadar sesuatu.

Daniell? Aku tersenyum lebar, menahan geli. Untuk apa aku datang pagi-pagi menemui Daniell? Aku melirik sosok di sampingku yang masih terlelap. Lalu bergerak miring, menghadap padanya. Tanganku menyentuh belakang kepalanya, mengusapnya sedikit gemas.

"Sedang kamu masih di sini?" ucapku berbisik menahan geli.

Sejenak aku tertegun, saat dia bergerak mencari titik ternyamannya. Sepertinya dia menyadari sentuhanku di belakang kepalanya. Yang terjadi saat ini, wajahnya terbenam di dadaku. Entah apa yang ada di pikiranku, sama sekali tidak sinkron. Tanganku kini merengkuh penuh kepalanya di dadaku. Setengah tidak sadar aku menghirupi wangi rambutnya.

Peduli setan dengan presentasi. Seharusnya aku masih memiliki waktu tidur satu jam lagi. Aku tersenyum lebar di antara kantukku, menumpukan daguku di puncak kepalanya.

Perlahan aku mulai kehilangan kesadaranku. Kantuk itu sudah melingkupi diriku. Hingga kemudian aku kembali dibangunkan oleh derinh telpon. Dalam hati aku mengerang. Aku menggulingkan tubuhku, mengulurkan tangan mencari ponselku.

"Iya," sahutku kesal.

"Fahsai! Astaga, kamu tidur lagi? Mr. Daniell sebentar lagi sampai di kantornya! Astaga, bangun sekarang. Aku tidak mau tahu, kamu harus datang sebelum dia menunggu terlalu lama!"

Aku berdecak kesal. Bergegas turun dari tempat tidur dengan langkah lesu.

"Tenang saja. Daniell bersamaku," gumamku.

"Fah! Berhenti bermimpi! Cepat mandi dan segera temui Mr. Daniell. Atau project ini terancam gagal!"

"Iya," sahutku tanpa bisa menahan mulutku untuk menguap.

Dengan cepat aku merapikan diriku sebelum Rania lebih kencang memarahiku. Tidak sampai setengah jam, aku keluar dari kamar mandi. Sementara kulihat pria itu baru datang dengan setelan olah raganya. Lengkap dengan tetesan keringat.

"Kantor?" tanyaku singkat sambil memoles wajahku dengan bedak tipis.

"Tidak sepagi ini. Sedikit siang nanti. Sengaja, biar temanmu presentasi dengan Bram. Aku sudah bilang meminta dia untuk mewakiliku," jawabnya membuatku terbelalak.

Bram?! Sudah tamat semuanya! Aku sudah menjamin asistennya sudah menunggu Rania mungkin sejak satu jam yang lalu.

"Kenapa kamu baru kasih tahu?" tanyaku panik.

"Untuk apa?"

"Oih! Aku tidak tahu dengan cara berpikir kalian para atasan. Rania memintaku untuk mewakilinya menemuimu, presentasi design. Dan sialnya kamu meminta Bram untuk mewakilimu? Astaga," geramku. Aku tidak membayangkan reaksi Bram ketika yang datang adalah aku.

Tapi peduli setan, aku malah merasa kasihan jika benar dia sudah menunggu Rania hampir satu jam. Dengan sedikit tergesa aku mencari flatshoes kemudian menjejalkan ke kakiku. Seharusnya ini kujejalkan pada para atasan itu.

"Fah?! Kemana?" tanyanya ketika aku hampir mencapai pintu.

"Presentasi!" jawabku singkat.

"Denganku saja!"

"Tidak! Setidaknya aku harus menemui asistenmu!"

"Biar nanti kutelpon dia," jawabnya melangkah menghampiriku.

"Dan... Oih!" pekikku kesal saat dia menarik tanganku untuk kembali ke kamar.

Dia mendorongku jatuh ke tempat tidur. Sementara dia mengambil ponselnya, menelpon Bram. Sesaat kemudian dia meletakkan kembali ponselnya. Bersikap seolah semuanya bukanlah sebuah masalah.

"Mana laptopmu?"

"Sana!" jawabku singkat, menunjuk ke meja sudut kamarku dengan daguku.

Dia beranjak, membuka laci. Mengambil laptop berwarna silver milikku. Dia menarik sebuah kursi sambil mengotak-atik laptopku. Penasaran dengan apa yang dia lakukan, aku beranjak menghampirinya.

"Password?"

"Fahsai19."

"Diam di tempat. Aku sedang melihat design-nya," ucapnya ketika aku hampir sampai di tempatnya.

"Hm," sahutku enggan. Kembali ke tempat tidur dengan mulut mengerucut.

"Aku sudah lihat. Ada beberapa note yang aku berikan. Nanti bilang sama temanmu," katanya setelah beberapa lama berkutat pada laptopku.

Aku melihat dia menyimpan kembali laptopku di laci meja, sebelum beranjak menuju ke kamar mandi. Tapi kemudian dia keluar lagi dengan handuk mengalung di lehernya.

"Ingat, tetap di tempat," katanya lalu kembali ke kamar mandi.

Aku mendengus kesal. Beranjak dari dudukku begitu mendengar suara gemericik air dari kamar mandi. Sebuah kebetulan ketika aku bangun, aku mendengar bel pintu.

Kakiku bergegas melangkah menuju ke pintu. Mengintip dari lubang kecil. Yang kudapati, sesosok yang membuatku meringis seketika. Aku melihat wajah lelahnya di balik setelan jas rapi. Perlahan aku membuka pintu, menyapanya dengan nada hati-hati.

"Hai, Bram."

"Selamat pagi, Fah," balasnya jauh lebih sopan dan lembut dariku. Seketika aku menggigit bibirku, merasa sedikit tidak enak.

"Masuk," kataku memberikan jalan untuknya.

"Boss ada?"

"Hm. Sedang mandi," jawabku sambil melangkah, membiarkan Bram mengekori langkahku.

"Oke," sahutnya singkat.

Aku berhenti dari langkah, membalikkan tubuhku. Sebenarnya aku ingin menanyakan banyak hal pada pria ini. Tapi aku sendiri tidak tahu harus memulainya dari mana. Dan lagi aku tahu, aku bukan seseorang yang memiliki hak untul tahu.

"Ada apa?" tanya Bram mengernyit.

"Tidak ada. Hanya merasa bingung. Ada banyak hal yang ingin kutanyakan tapi..., ah, sudahlah. Lupakan!" putusku akhirnya ketika aku tidak menemukan satu cara sekalipun.

Aku kembali melangkah masuk. Di pikiranku tidak ada yang lain. Hanya dia yang tahu banyak mengenai Daniell. Tentang sosoknya, masa lalunya dan apa yang Daniell rencanakan. Juga mengenai tujuannya tinggal bersamaku.

"Apa ini mengenai Boss?" tanya Bram mendesak.

"Tidak. Mengenai kalian," sahutku ringan.

"Aku dan Boss?"

Aku mengangguk. Baru ingin mengucap, Daniell keluar dari kamar, sudah rapi dengan setelan jas nya.

"Boss...,"

"Pagi, Bram. Oya, hari ini aku butuh kamu seharian. Bertemu target nanti siang. Aku akan kasih tahu kamu tempatnya. Dan sebaiknya kamu langsung ke kantor sekarang. Biar aku berangkat sendiri," katanya terdengar begitu tegas, membuat Bram hanya mengangguk patuh.

Pria itu membungkuk hormat sebelum berpamit untuk pergi. Sedang aku masih menatap tidak percaya. Aku sedang hidup di belahan dunia mana, tanyaku pada diri sendiri.

"Fahsai, aku akan sibuk mungkin beberapa hari ini. Jangan mencariku. Mungkin urusanku mengharuskan aku tidak pulang," ucapnya lagi sambil memakai jam tangan kemudian mengecup kilat puncak kepalaku.

"Aku berangkat. Taksi untukmu akan segera datang!" lanjutnya.

Aku melihat dia begitu tergesa. Bahkan sambil menerima telepon. Aku kini melipat tanganku di dada, menatapi kepergiannya sekaligus merangkum kejadian-kejadian yang baru saja kulihat.

Otakku mulai berpikir, apa ini dunia bisnis? Orang dengan tergesa demi sebuah tujuan yang hanya dia yang tahu, tanpa melihat kanan-kiri. Oh, ini benar-benar asing di mataku. Yang kurasakan, dia sedang mengalami sesuatu hal buruk. Itu saja.

"Ah! Ini juga bukan urusanku!" dengusku sambil beranjak, mengambil laptop dan tas, bersiap untuk berangkat.

***

"Hmm, lupakan masalah Daniell dan asistennya. Pekerjaanku bahkan jauh lebih penting," gumamku kembali menekuni berkas-berkasku setelah setengah jam berbicara dengan Rania yang heboh dengan design yang sudah disetujui oleh Daniell.

Rumornya, Boss muda itu begitu susah untuk diajak kompromi. Bahkan mengenai design, bisa membuat pekerjanya ingin menggoroknya karena terlalu mempersulit. Tapi kali ini dia dengan mudahnya menyetujuinya meski dengan sedikit coretan perubahan darinya.

"Fah, masih kerja?"

Aku menghela napas. Rania datang lagi, lenguhku.

"Hm," sahutku enggan.

"Makan siang?" tanyanya.

"Aku sudah pesan sama Regan," jawabku tanpa mengalihkan tatapanku pada laptop.

"Aku traktir?"

Aku mengangkat wajah seketika demi menatap wanita yang sekarang lebih colourfull dengan make-upnya. Dia memainkan alisnya, mencoba untuk membuatku tertarik.

"Emh, tidak," jawabku kukuh.

Aku tersenyum diam-diam ketika dia membuang napasnya, kecewa. Melangkah pergi. Entah, hari ini aku sedang tidak tertarik apapun. Bahkan sampai makananku datang, aku hanya membukanya.

"Fah, makan," ujar Regan memperingatkan.

"Ya, nanti. Sebentar lagi selesai," sahutku.

"Kamu bertengkar dengan Rania?" tanya Regan menyeret kursinya, mendekatiku.

Aku menggeleng, "Mungkin dia lagi kesal. Tadi aku menolak dia traktir makan siang."

"Kupikir dia sekaligus ingin membagikan kabar bahagianya. Tapi kamu tidak tertarik. Ada baiknya kamu hampiri dia," ujarnya membuatku mengernyit.

Kabar bahagia? Aku teringat sekilas wajahnya tersenyum lebar. Langkahnya seperti berdansa. Astaga, entah apa yang terjadi kemarin setelah nonton. Aku bergegas pergi ke ruangannya.

"Rania!" panggilku menyembulkan kepalaku dari celah pintu.

Dia mengangkat wajahnya dari hadapan laptopnya. Menatapku enggan. Aku tahu dia kesal.

"Kopi americano?"

Dia terdiam, masih tanpa senyum.

"Seberang jalan?"

"Hm, sebelum jam istirahat habis," jawabku meyakinkan.

"Yes!" pekiknya beranjak menyeretku untuk keluar.

Sekilas aku melihat Regan berdiri di ambang pintu, tersenyum padaku. Sudah kubilang, aku si bungsu di antara mereka.

"Satu langkah lebih dekat," katanya membuka suara begitu memasuki kedai kopi.

"Bukan kamu!" sahutnya gemas ketika aku melangkah lebih dekat.

"Terus?" tanyaku belum mengerti.

"Hubungan."

"Siapa?" tanyaku.

"Bukan kamu dengan aku."

"Terus?"

"Fah," decaknya menjadi kesal.

"Aku belum paham. Kamu bercerita satu kata satu kata," bantahku tidak mau kalah.

Dia meringis, meremas tangannya. Lalu berbisik di telingaku. Padahal kalaupun bicara biasa, aku menjamin tidak akan ada yang tertarik mencuri dengar.

"Bram," bisiknya.

"Jadian?" tanyaku berbuah cubitan kecil dari Rania karena aku bersuara keras seperti biasa.

"Belum. Tapi lebih dekat," jawabnya pelan sedikit malu-malu.

Astaga, aku mengerang dalam hati. Lebih dekat saja sudah membuatnya bahagia. Dasar wanita! Aku meringis kaku lalu mengambil es kopi milikku.

***

Tbc
29 April 2018

S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #romance