Bab 2 [REPOST]
"Kamu tidak ke kantor lagi hari ini?" tanyaku ketika mendapati dia masih belum beranjak dari ranjang.
Dua hari sejak pagi itu, dia tidak pernah keluar dari apartemen. Aku sendiri tidak mau untuk tahu dengan apa yang sedang dia alami. Kupikir itu bukan masalahku, bukan urusanku.
"Aku ingin. Tapi tidak hari ini. Mungkin besok."
"Oke. Kalau kamu membutuhkan aku untuk pulang cepat, telfon saja," ujarku sambil mengambil tas yang tergantung di pojok kamar.
"Kamu pernah merindukan seseorang?" tanyanya tiba-tiba.
"Tidak. Saat rindu, aku akan pulang. Itu saja. Jadi aku tidak pernah tahu rasanya merindukan seseorang."
Dia mengangguk-angguk. Lalu kembali telungkup, menyembunyikan wajahnya di bantal. Aku menghela napas, memutuskan untuk menghampirinya.
"Boleh aku bertanya?"
"Hm."
"Aku tidak tahu apa yang terjadi. Kamu seminggu menghilang lalu datang dengan keadaan seperti ini. Kamu punya masalah?"
Dia menggulingkan tubuhnya hingga telentang. Menatapku sejurus sebelum membuang napas.
"Aku tahu, ini bukan urusanku. Tapi belajarlah untuk berbagi. Kamu tidak hidup sendiri saja. Terkadang pula orang lain membutuhkan bantuanmu. Dan kamu juga begitu."
"Aku tahu."
"Oke, aku berangkat sekarang."
Aku bergegas meninggalkannya. Sekilas aku mendengar dia berbisik memanggil namaku. Tapi aku segera mengingat jika pagi itu dia pernah berbisik, biarkan aku menggumamkan namamu.
Melangkah cepat begitu turun dari bus kota, memasuki tempat kerjaku. Aku mendapati Rania sedang duduk bergerombol dengan yang lain. Secangkir kopi favoritnya tidak lepas dari tangan.
"Pagi, Fah. Sini!" seru Rania menyapaku.
"Pagi, Fahsai. Kopi spesial untuk kamu," sapa Jee, wanita dengan kacamata tebal, asisten Pak Dirga. Berusia tiga tahun di atasku.
"Terima kasih, Jee," sahutku menerima kopi capucinno dengan taburan bubuk kayu manis di atasnya.
"Fah, hari ini kamu temani aku ya? Bertemu dengan asisten Mr Daniell. Membicarakan desain acara buat market dia," ucap Rania.
"Daniell?" tanyaku mengulang.
"Mr. Daniell, ralat," sahut Jee membenarkan.
Rania mengangguk-angguk. Lalu menyesap kopi di tangannya. Sedang aku merasa tiba-tiba pusing melanda. Kenapa Daniell harus menggunakan jasa design perusahaan tempatnya bekerja? Kenapa bukan yang lain yang lebih punya nama?
"Yang kemarin pakai jasa kita untuk ulang tahun perusahaannya, Fah. Kamu lupa?"
Tidak! Aku bahkan ingat harum tubuhnya. Aku meringis lalu beranjak melangkah dengan gamang, seperti tidak lagi berpijak.
"Fahsai!" seru Rania memanggilku.
"Ya, nanti. Setelah pekerjaanku selesai," jawabku tak kalah seru.
Tubuhku terhempas lunglai di kursi kerjaku. Aku memijit pangkal hidung. Bagaimana bisa aku berada di lingkup yang tidak jauh dari seorang Daniell.
"Semesta mendukung," gumamku lesu.
***
Aku melangkah di belakang Rania dan seorang pria, asisten Daniell. Mendengarkan mereka membicarakan konsep market.
"Kalau begitu saya pamit ke toilet sebentar, Pak, maaf," ucap Rania di akhir perbincangan.
"Oke, saya ada di sini," ucap pria itu.
Situasi ini seperti saat pertama aku menginjakkan kaki di gedung perusahaan yang bergerak di bidang property ini. Aku menatap ke sekeliling, sepeninggal Rania.
"Fahsai?"
Aku menoleh pada pria itu. Dia tersenyum simpul.
"Kita sering bertemu di apartemenmu. Hanya saja jarang bicara. Aku, Bram. Asisten Tuan Daniell. Jika nanti ada sesuatu dengannya, segera hubungi aku. Keadaannya sedang tidak baik sejak dia pergi ke Hongkong. Kuharap kamu bisa menjaganya," ujar pria di hadapanku.
Ke Hongkong? Aku bahkan tidak mau tahu kemana dia menghilang. Sebenarnya. Hanya saja rasa cemasku membuatku ingin tahu kemana dia.
"Aku tahu kamu baik. Tuan Daniell tidak salah jika dia memutuskan untuk lari kepadamu."
"Lari?"
Dia tergagap. Seperti ada yang disembunyikan. Tapi dengan cepat dia menutupinya.
"Maksudku, memutuskan untuk hidup bersamamu. Itu akan baik untuknya. Dia bukan tipe orang yang dengan mudah berinteraksi dengan orang-orang asing secara detail."
"Tapi kenapa harus aku?"
"Dia yang memutuskan," jawabnya tak terbantah.
Aku ingin menanyakan alasannya tapi urung, ketika Rania melangkah masuk kembali. Aku kembali diam, mendengarkan mereka kembali membicarakan masalah pekerjaan.
"Kita akan bertemu dengan Tuan Daniell. Sebaiknya satu mobil denganku saja. Kamu bisa menyuruh supir kantormu untuk pulang. Nanti aku akan mengantar kalian. Tuan Daniell meminta untuk bertemu di luar, sekaligus makan siang," ucap Bram, membuatku hampir tersedak ludahku.
"Mr. Daniell sedang sibuk?" tanya Rania.
"Selalu sibuk. Tapi hari ini dia membutuhkan istirahat sedikit. Jadi, kita akan bertemu di restoran tidak jauh dari tempat tinggalnya."
Dan itu tempat tinggalku. Sejauh ini belum ada yang tahu jika dia tinggal bersamaku. Karena tidak ada pentingnya aku membicarakan itu pada teman-teman. Lagipula mereka tidak pernah main ke tempat tinggalku selain hanya mengantarku pulang. Yang ada mereka ingin menahanku untuk menginap di apartemen mereka.
"Melanjutkan pembicaraan pekerjaan?" tanya Rania.
"Tidak. Hanya sebatas compliement sudah memberikan yang terbaik untuk acara perusahaan kami. Bentuk penghargaan dari Tuan Daniell."
Keningku mengkerut. Yang kutahu, untuk apa perusahaan sebesar dia memberikan compliment untuk perusahaan kami yang terhitung masih bayi?
"Oh, seharusnya Pak Dirga yang datang. Bukan aku," ucap Rania.
"Sama saja. Sudah kubicarakan dengan Pak Dirga. Maksudku, Tuan Daniell sudah membicarakan dengan Pak Dirga saat penutupan acara. Tuan Daniell menemuinya secara khusus."
Rania mengangguk-angguk tanda mengerti. Lalu menarik tanganku untuk mengikuti langkahnya bersama asisten Daniell.
"Sebentar," ucapku menahan ketika ponselku berdering. Daniell. Aku menahan napas sebelum menjawab telfonnya.
"Siapa?" tanya Rania menghentikan langkah.
"Tidak tahu," jawabku seolah tidak peduli.
"Mantan pacarmu meneror lagi?" tebak Rania.
"Tidak," jawabku cepat sambil menggeser tombol hijau dengan ibu jariku.
"Ya?" jawabku menjauh dari Rania.
"Aku lapar. Ingin makan siang denganmu. Compliment hanya alasanku. Segera datang. Aku sudah di tempat. 20 menit!"
Aku mengatupkan mulut. Seperti biasa, aku belum sempat menjawab, dia sudah menghilang begitu saja. Tanganku tanpa sadar meremas ponsel di tangan dengan gemas. Menghentakkan kaki ke lantai kembali menghampiri Rania. Tapi aku tidak melewatkan senyum simpul dari Bram yang diam-diam memperhatikan aku.
"Kenapa?" tanya Rania mengernyit.
"Tidak ada. Ayo jalan, 20 menit!" sahutku menahan geram.
"20 menit? Apanya yang 20 menit?" tanya Rania menyusul langkahku dengan bingung.
Aku berhenti seketika. Mengatupkan mulut, menatap Rania terkejut. Dengan cepat aku menggelengkan kepala.
"Tidak ada!"
"Akan segera sampai. Tepat waktu," bisik Bram di telingaku ketika Rania lebih dulu memasuki mobil hitam mengkilap itu.
"Kamu tahu?" tanyaku terbata.
"Selalu tahu," jawabnya terkekeh lalu menutup pintu mobil untukku.
Sedikit menahan napas ketika sopir yang membawa kami melaju cepat untuk mengejar waktu 20 menit sampai di tempat tujuan. Astaga, dia sudah membuat anak buahnya kalang kabut. Sedang dia sudah duduk manis di sana.
"Tepat waktu," ucap Bram dengan nada bangga.
Sejenak aku dan Rania bertatapan. Dia tersenyum tipis, menggenggam tanganku.
"Sampai dengan selamat, jangan takut. Tarik napas," bisiknya menenangkanku.
Sementara napasku tersengal-sengal. Aku mencoba mengaturnya, merilekskan tubuhku. Tanganku terasa dingin. Aku memang tidak pernah menaiki kendaraan sekencang tadi.
"Kupikir hidupku akan berakhir dengan mati konyol kecelakaan mobil," gumamku seraya keluar dari mobil.
"Tidak akan. Ada aku," ucap Rania menahan senyum. Dia mengulurkan tangannya padaku untuk segera mendekat. Dia selalu melindungiku, seperti aku adalah adik kesayangannya.
"Mari, Tuan Daniell sudah di dalam," ucap Bram mengarahkan untuk segera mengikutinya.
Bahkan sudah dari tadi, gumamku dalam hati. Benar saja, aku mendapati seorang Daniell duduk dengan penuh wibawanya. Meski hanya dengan setelan kemeja dengan lengan terlipat sedikit.
Dia berdiri menyambut kedatangan kami. Tapi aku merasa tatapannya tidak lepas dariku. Aku baru ingin duduk tidak berhadapan dengannya tapi sepertinya kalah cepat dari Rania. Wanita itu sudah duduk di hadapan Bram. Hingga tersisa satu-satunya bangku, di hadapan Daniell.
Aku menelan ludah susah payah ketika menarik kursi itu. Duduk bahkan sepertinya tanpa tulang. Sekilas aku melihat senyum samar di wajah datarnya. Dia tampan sebenarnya, kalau tidak bersikap aneh. Aneh menurutku, karena sepanjang waktu wajahnya datar, tanpa banyak bicara. Seperti dunia hanya ada dia seorang.
Mataku mengamati dengan sendirinya setiap gerakan darinya. Dia pria yang terorganisir. Semuanya anggun khas pria dengan mannernya.
"Aku sudah mendapat report dari Bram mengenai desain untuk acara dua bulan mendatang. Tema seperti yang dibicarakan sejak awal. Hanya saja mungkin nanti ada sedikit perubahan. Kupikir tidak terlalu masalah," ucapnya membuka pembicaraan. Dia berbicara dengan Rania tapi sesekali matanya mencari tatapanku.
"Baik. Aku mengerti. Apapun itu, tim kami akan bekerja sama untuk mewujudkan apa yang clien inginkan," jawab Rania diakhiri dengan senyum ramahnya.
"Terima kasih. Jika mungkin ada hal yang sulit, kamu bisa bicarakan dengan Bram. Biar nanti Bram mereport padaku. Dan, kuharap design kalian nanti sama memuaskan seperti yang kudapat dalam acara kemarin."
"Akan kami usahakan, sebaik mungkin, Mr. Daniell."
Dia mengangguk-angguk lalu menyuap makannnya. Mengunyah pelan, anggun dalam kelasnya. Sesaat kemudian dia mengambil ponselnya. Aku sempat berpikir orang sesibuk dia, makan saja ada yang menganggu. Tapi begitu dia meletakkan ponselnya, ponselku ganti berdering, notif sebuah pesan masuk.
Senang kamu datang. Segera pulang!
Aku tersedak seketika, membuat tiga orang menoleh padaku dengan tatapan terkejut. Kulihat dia dengan sikap tenangnya, mengulum senyum. Tanganku segera meraih minuman, menenggaknya dengan cepat.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Rania.
Aku menggelengkan kepala. Membiarkan tangannya mengusap-usap punggungku.
"Hati-hati. Kamu selalu terburu-buru kalau makan," nasihat Rania.
"Hm," gumamku singkat.
Kalau saja dia tahu apa yang membuatku tersedak makanan yang kukunyah sejak tadi. Aku menarin napas lalu memaksakan sebuah senyuman untuk Rania, menyakinkan wanita itu bahwa adik kesayangannya baik-baik saja.
"Kamu sedikit aneh hari ini. Kalau kamu sakit, nanti aku bicara dengan Pak Dirga agar kamu besok istirahat," ucap Rania lagi.
"Aku baik," jawabku cepat.
"Sedikit pucat. Sebaiknya kamu lebih memperhatikan kesehatan tim agar jangan sampai hasil kerjanya tidak maksimal," ucap Daniell menginterupsi kami.
"Ya, memang sebaiknya. Beberapa hari ini Fahsai memiliki tumpukan pekerjaan akibat salah seorang karyawan kami ijin sakit," ujar Rania membenarkan lalu menatapku, "Aku bicara dengan Pak Dirga nanti. Kamu bisa istirahat di rumah."
"Itu bagus!"
Kepalaku beralih dengan cepat demi mendengar sahutan dari Daniell. Dia hanya menaikkan alisnya sebelah, masih dalam sikap tenangnya. Bahkan sangat tenang.
***
Tbc
20 April 2018
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top