Bab 12 (Repost)
Aku duduk di bebatuan tepi sungai. Menonton Regan yang sedang berendam di dalam sungai. Sesekali tanganku menyentuh air. Sebenarnya aku tertarik untuk ikut berendam bersamanya. Tapi mengingat aku tidak membawa perlengkapan apapun. Mungkin lain kali aku akan kembali ke sini, berendam sepuasnya.
"Tidak tertarik?" godanya.
"Tidak! Kamu saja. Aku tidak membawa pakaian ganti."
"Apa peduliku?"
"Regan!!!" seruku terkejut ketika dia menarik tanganku hingga terjatuh bersamanya.
Masih dengan rasa terkejutku. Aku hanya terdiam menatapnya dengan tatapan bodoh. Menoleh pada tempatku tadi. Tasku masih tergeletak di sana. Sedang pria di hadapanku tertawa terbahak.
"Regan!!!" pekikku kesal.
"Aku juga tidak bawa pakaian ganti. Apa salahnya sedikit menggila hari ini. Pakaian kita akan mengering dengan sendirinya ketika kita sampai di rumah nanti."
Aku menahan senyum. Sebuah ide konyol, sedikit gila tapi menantang.
"Bukan sebuah masalah," ucapku hingga muncul sebuah keisengan. Tanganku membuat cipratan-cipratan air yang sengaja kuarahkan padanya.
Ada gelak tawa ketika dia membalasnya padaku. Persetan dengan hari esok. Aku membiarkan diriku menikmati sebuah sensasi kesegaran. Sesaat aku dan dia duduk bersandar di bebatuan dengan setengah badan terendam air.
"Aku sudah lama tidak melakukan hal ini," kataku jujur.
"Sama. Terakhir ketika aku berusia 12 tahun," jawabnya.
"Wow. Dan kamu sekarang sudah 28 tahun," sahutku takjub.
"Dan bagian umur itu tolong kamu skip. Ayo kembali ke rumah," ujarnya sambil beranjak bangun.
Dia mengenakan kembali kaos yang dia letakkan di atas bebatuan. Kemudian memberikan jaketnya padaku.
"Terima kasih," jawabku meringis lebar.
"Berharap ketika sampai, masakan sudah siap," sahutnya.
"Masakan?"
Dia mengangguk. "Aku meminta seseorang untuk menyiapkan makanan untuk kita sebelum kita pulang."
"Kenapa harus menyuruh orang?"
Dia menghela napas. Tangannya mengacak gemas rambutku yang basah.
"Huh, kamu pikir aku pintar memasak? Pertanyaan yang sama untukmu," dengusnya gemas.
Aku meringis lebar, mengangguk-angguk. Jawaban yang sama. Aku tidak pandai memasak. Terakhir aku memasak mie instan. Hanya itu kemampuanku. Aku kini mentertawakan kebodohanku.
***
Rasanya aku masih ingin tinggal di tempat ini. Kalau saja Regan tidak menyeretku untuk masuk ke mobil, untuk pulang. Aku menatap rumah itu lagi dengan sangat tidak rela. Menatap sekali lagi sebelum Regan melajukan mobilnya, dini hari.
"Kenapa harus sepagi ini?" lenguhku di dalam perjalanan.
"Jaraknya jauh. Kita akan terlambat ke kantor kalau kita berangkat agak siang sedikit. Dan kita harus pulang dulu mengganti pakaian," jawab Regan.
Pulang?! Aku menegang dalam diam. Menatap cepat dirinya. Aku tidak akan pulang sekarang. Bahkan aku baru mengingatnya sekarang. Bahwa aku sedang lari dari masalah. Maksudku, meredakan diri dari letupan emosi.
"Oke, aku beli baju di jalan. Nanti mampir ke toko baju sebentar," putusku membuatnya terkejut.
"Hei!"
"Serius!" jawabku meyakinkan.
"Apa masalahnya kita mampir sebentar?"
Aku menelan ludahku. Apapun itu, tidak akan kuberitahu Regan.
"Katamu kita akan telat."
Dia terdiam seperti memikirkan sesuatu. Kemudian dia menoleh padaku.
"Oke. Kita akan beli baju sebentar. Kupikir idemu tidak salah. Aku baru ingat, semalam Rania mengingatkan di grup kalau pagi ini ada meeting."
Dia benar. Perjalanan yang cukup jauh. Bahkan hampir memakan waktu tiga jam. Aku bergegas menuju ke toilet begitu sampai di tempat kerja. Mengganti pakaian dengan kaos dan kemeja yang baru dibeli beberapa saat lalu. Biar saja orang akan menatapku seorang gadis tomboy. Apalagi saat ini aku mengenakan sepatu sneakers. Padahal biasanya aku mengenakan flatshoes bahkan terkadang wedges. Sneaker hanya kugunakan ketika aku sedang jalan-jalan atau nongkrong.
"Fahsai?" sebuah suara bernada tidak percaya ketika aku keluar dari toilet.
Matanya menatapiku dari atas ke bawah. Aku meringis lebar begitu selesai melipat lengan kemeja hingga sebatas siku.
"Kamu?" tanyanya lagi.
"Jee," panggilku memperingatkan untuk menyudahi reaksinya.
"Penampilan beda. Tapi keren," pujinya berdecak.
Aku memutar bola mata. Membiarkan dia masih menatapiku. Tanganku meraup rambut sebahuku untuk kuikat tinggi. Kemudian memoles wajahku dengan riasan sederhana.
"Cantik," pujinya lagi masih menatapiku.
"Bagi parfum," pintaku menadahkan tanganku padanya.
"Parfum?" tanyanya mengkerut.
"Hm," sahutku mengangguk.
"Lupa bawa parfum?" tanyanya tidak percaya.
Aku mengangguk sekali lagi. Dia mendesah lalu mengambil parfum dari dalam tas riasnya. Aku meringis sebagai ucapan terima kasih.
"Mau kemana?" tanya Jee ketika melihatku sedikit terburu.
"Kata Regan pagi ini ada meeting. Aku belum buka ponselku," ucapku.
"Tunggu. Ke sana bersamaku. Aku ke toilet sebentar," ucapnya berlari masuk ke dalam bilik.
Aku mengambil ponselku, menekan tombol switch on. Karena sejak kemarin pagi, ponselku masih dalam keadaan mati. Dan itu dengan sengaja.
Ada sangat banyak notif pesan. Dari Rania, Bram. Dan paling banyak dari Daniell. Tapi aku tidak berminat untuk membukanya satu per satu. Karena aku sudah tahu, mereka pasti mencariku. Aku tertawa dalam hati, tempat pelariannya sedang berlari.
"Ayo," ajak Jee begitu keluar dari toilet.
"Oke," sahutku cepat sambil memasukkan ponselku ke dalam tas.
"Kemarin Rania menelponku. Cari kamu. Kamu kemana?" tanya Jee sambil berjalan.
Oh, bagus. Semua orang dia hubungi untuk menanyakanku. Dasar Rania!
"Aku ada. Cuma ponselku kemarin habis baterai. Jadi mati. Mau hubungi Rania lagi aku lupa. Tertidur," jawabku cepat bernada seolah apa yang kukatakan itu benar.
"Oh. Aku tidak tahu. Nadanya sangat panik. Dia telfon Regan katanya juga tidak tahu."
"Fahsai!!!"
Lengkingan suara Rania membuatku berhenti seketika. Juga Jee yang berada di sampingku. Rania melangkah cepat menghampiriku dengan napas tersengal-sengal lalu menangis, menghambur memelukku.
"Hei," kataku pelan menepuk-nepuk bahunya.
"Kamu dari mana saja? Kamu tahu? Seharian kemarin aku mencarimu kelabakan. Kamu nyaris membuatku mati ketakutan," ucapnya patah-patah karena tangis.
"Kamu mencemaskanku?" kekehku.
"Aku!" Suara itu membuatku menegang kaku.
Rania segera melepas pelukannya padaku. Aku mendapati pria itu berdiri tiga meter dari tempatku berdiri. Menatapku tajam sekalipun wajahnya begitu tenang. Baik Rania maupun Jee beringsut berdiri di belakangku. Aku melihat Pak Dirga di samping pria itu mengembuskan napas, pasrah.
"Aku tidak ingin melihat dia bekerja di perusahaan ini lagi! Detik ini juga! Atau kontrak kerja dibatalkan!" katanya tegas. Terdengar sangat menyakitkan bagiku.
"Fahsai, aku..."
Aku mengerjabkan mata. Sebegitu mudah baginya mematikan seseorang. Tanpa pernah dia berpikir hal apa yang pernah orang itu lalui. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan diriku. Lalu tersenyum tipis pada Pak Dirga yang tengah bingung harus berbuat apa.
"Aku tahu, Pak. Tidak perlu merasa bingung. Aku akan membereskan barang-barangku," ucapku serak.
"Tapi, Fah... Aku akan mencoba bicara dulu dengan Mr. Daniell."
"Tidak perlu," jawabku memaksakan sebuah senyuman.
Aku beranjak, melangkah tergesa menuju meja kerjaku. Tidak pernah membayangkan jika karierku di sini akan berakhir dengan hal konyol seperti ini.
Aku membuang napas kasar ketika mataku mulai berembun dan napasku mulai tersengal-sengal. Jauh sangat menyakitkan. Duniaku runtuh dalam sekejab.
"Everythings gonna be okay," bisikku menyemangati diri sendiri.
Entah setelah ini apa yang akan kulakukan. Aku masih mengemasi beberapa barangku ketika Regan berlari menghampiriku.
"Fah?"
"Hm?" sahutku melirik dirinya.
"Kenapa?" tanyanya.
"Dipecat," jawabku singkat.
"Aku sudah tahu. Jee menceritakan semuanya. Tapi kenapa dia melakukan itu? Padahal kamu tahu kalau kamu tidak melakukan apapun!"
"Lupakan. Aku hanya perlu melewatinya."
"Fah!"
"Aku pulang. Regan, terima kasih untuk hari indah kemarin."
Regan masih menatapku tidak percaya ketika aku melangkah meninggalkan ruangan itu. Ditatap oleh sekian banyak karyawan. Aku tidak peduli. Wajahku masih tegak, tanpa air mata. Karena aku memang sangat sulit untuk menangis. Hanya gemuruh kemarahan di dadaku.
Apa yang dia lakukan adalah sebuah hal yang tidak beralasan. Dan perusahaan ini, perusahaan kecil yang sedang mengembangkan sayapnya. Maka akan sangat disayangkan jika harus kehilangan clien besar demi mempertahankan seorang karyawan kecil. Aku memahami itu.
"Biar kubawakan barangmu." Bram menyambutku di Lobi.
"Tidak perlu," jawabku tegas.
"Boss menunggumu di mobil," ujarnya menjajari langkahku.
Tidak tertarik untuk tahu, dengusku dalam hati. Aku kembali menarik napas, menguatkan diriku sendiri.
"Fahsai," panggil Bram ketika aku mempercepat langkah.
"Aku hanya percaya, ketika seseorang masih bernapas, maka seseorang itu masih memiliki rejeki. Tidak peduli kalian sudah menghentikan langkahku di sini," ujarku percaya diri kemudian memberhentikan sebuah taksi.
Dengan cepat aku masuk, sebelum Bram menahan taksi itu agar aku tidak menaikinya. Entah sudah keberapa kalinya. Aku hanya bisa membuang napas untuk meredakan sesak. Menatap keluar jendela.
Otakku mulai memikirkan rencana hidupku ke depan. Dengan sisa tabungan yang ada. Setidaknya aku harus cepat menemukan pekerjaan yang baru.
"Sudah sampai," kata supir taksi itu menyadarkanku dari lamunan.
Aku segera keluar setelah membayar ongkos taksi. Menuju ke flatku dengan langkah gontai.
"Kamu tahu apa kesalahanmu?" Seseorang menjajari langkahku.
Tidak perlu aku menoleh. Aku sudah tahu. Aku juga tidak berminat menjawab pertanyaannya. Karena aku sudah tahu jawabannya. Kesalahanku adalah menerima kehadirannya. Itu saja.
"Fahsai!"
"Sudah puas membuatku kehilangan pekerjaan?" tanyaku sinis. Aku melenggang masuk ketika dia membukakam pintu flat.
"Kesalahanmu adalah berlari dariku!" desisnya mencengkeram lenganku.
Aku memejamkan mata, menahan sakit dari genggaman tangannya. Menarik napas panjang lalu membuka mata. Aku menatap Daniell tanpa ada rasa takut meski sikapnya begitu mengerikan.
"Lalu apa pedulimu?! Bukan aku hanya sebatas tempat pelarian?" Aku membentak dirinya dengan segenap emosi yang meluap tanpa bisa kukendalikan lagi.
"Kamu bukan tempat pelarian! Berapa kali aku harus bilang kalau kamu teman hidupku? Berapa kali aku harus bilang kalau jangan pernah menghancurkanku?"
Dia mendorong tubuhku hingga menghantam ke dinding. Punggungku seperti tersetrum aliran listrik. Aku hanya bisa memejamkan mataku, menahan sakit di punggungku. Meronta sebagaimana aku bisa ketika dia mencium leherku dengan kasar.
"Dan.. Daniell! Daniell!!!" jeritku ketika tangannya hampir merobek bajuku.
Dia berhenti, menjatuhkan dahinya di dahiku. Napasku memburu. Sedang aku sudah tidak merasakan lagi kakiku berpijak. Lagi, aku hanya bisa mengatupkan mulut. Menarik napasku beberapa kali. Sementara dadaku seperti ingin meledak.
"Kamu. Teman. Hidupku." bisiknya penuh penekanan lalu meraup tubuhku, memelukku sangat erat.
Aku sendiri kembali merasakan sakit itu datang lagi. Sakit yang seharian kemarin bisa kulupakan. Tapi sekarang kurasakan lagi bahkan rasanya jauh lebih sakit.
***
Tbc
03 mei 2018
Dapet enggak sedihnya fahsai. Aku menggambarkan sosok perempuan yang susah nangis. Sakit cuma bisa mendem doang.
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top