Bab 11(REPOST)
Aku menghempaskan tubuh ke sofa. Masih dengan sepatu di kakiku. Membuang napas kasar. Apa yang kulihat, apa yang kudengar dan apa yang kuucap semuanya tidak bisa sinkron. Jelas ada kemarahan di dalamku. Separuh dari diriku tidak terima dengan keadaan ini. Sekalipun aku mencoba meluruhkan diriku dengan kata-kata bijak.
Mataku terpejam sesaat menarik napas beberapa kali. Berharap akan lebih baik. Tapi malah kalimat-kalimat itu kembali berdengung. Aku mengerang kesal, merasa gagal mengendalikan diri.
William Daniell.
Nayalla.
Dan aku sebagai tempat pelarian.
"Argh!" erangku menampar bantal sofa hingga terlempar ke lantai. Napasku memburu.
Aku beranjak menuju ke kamar mandi. Membersihkan keringat lalu mengganti pakaian. Sedikit merapikan diri dengan memberikan sedikit polesan di wajahku sebelum mengambil tas kecil sambil menjejalkan kaki pada sepasang flatshoes.
"Di mana?" tanyaku tanpa basa-basi sambil melangkah keluar dari kamarku.
"Ada apa?" tanyanya menjawab telfonku.
"Aku mau jalan-jalan," jawabku singkat, bernada seperti sebuah perintah.
"Hah? Oke, tunggu. Aku mandi dulu."
"Hm. Aku ke flatmu. Terserah kamu mau ke mana. Yang pasti aku butuh jalan-jalan!"
Aku melangkah cepat dengan napas memburu. Memasukkan ponsel ke dalam tas sambil berjalan. Tidak peduli dengan kanan-kiri, langsung masuk ke sebuah taksi yang baru saja kosong oleh penumpang di depan lobi apartemen. Sekilas aku melihat William Daniell menoleh ke arahku lalu berusaha mengejar taksi yang kutumpangi.
Sekali lagi, tidak ada yang perlu kupedulikan untuk saat ini. Aku butuh membuang sesak dan kemarahanku. Untuk situasi yang tidak adil bagiku. Aku menyebutkan sederet alamat lalu kembali diam. Memejamkan mata, mengatur napas.
"Terima kasih," ucapku singkat sambil memberikan uang yang harus kubayarkan, begitu sampai.
Aku berdiri di depan Lobi apartemen. Melipat tangan di dada, menunggu dia datang. Hanya perlu menunggu 10 menit, sebuah mobil menepi di depanku. Dia keluar menghampiriku.
"Wajahmu kaku. Ada masalah? Tadi pagi baik-baik saja," katanya memperhatikan wajahku.
Aku hanya meliriknya dengan wajah datar. Menekan kuat kemarahanku agar tidak meluap.
"Bukan hal penting!" jawabku sambil masuk ke mobil.
Pria itu hanya tertawa kecil kemudian menyusul masuk ke mobil. Dia mulai melajukan mobilnya. Sekali lagi dia kembali melirikku.
"Katamu semuanya hanya perlu kita lalui. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," katanya mengingatkan kalimat bijak yang pernah kuberikan padanya.
Aku terdiam sejenak, mengatupkan mulut. Sedikit menarik napas. Tertawa sumbang kemudian menahan senyuman, menatap dirinya. Aku membiarkan tangannya terulur mengusap puncak kepalaku.
"Nonton?" tawarnya.
Aku mengerutkan kening. Mencoba menimbang-nimbang.
"Kurang menarik," jawabku mengedikkan bahu.
"Taman bermain? Kita naik wahana?"
"Sudah sering," sahutku. Memang sudah sering. Minggu kemarin aku ke sana bersama Rania. Dan aku sudah bosan dengan wahana-wahana bermain.
"Pantai, gunung, pasar?"
Aku menggeleng, tertawa ketika dia mulai menyebutkan sederet destinasi. Dia menghela napas. Seperti memikirkan sesuatu.
"Aku tahu tempat yang cocok untuk keadaanmu," putusnya dengan percaya diri.
"Sudah kubilang kan tadi. Terserah mau kemana," jawabku.
Dia meringis, mengacak rambutnya sendiri. Merasa sedikit frustasi denganku mungkin. Sikapnya membuatku terkikik geli. Dua anak manusia yang sedang jatuh dan berusaha saling menguatkan. Itu yang lebih membuatku terkikik. Nasib kami. Lebih tepatnya sedang berlari sejenak dari kenyataan.
Aku menatap keluar jendela. Menyadari bahwa mobilnya sudah memasuki kawasan perbatasan kota. Aku tidak tahu kemana dia akan membawaku. Tidak penting. Aku hanya percaya dia tahu kemana harus membawaku.
***
Hampir satu jam perjalanan dari perbatasan kota menuju kawasan perbukitan ini. Dia menghentikan mobilnya di sebuah rumah berbahan kayu, cukup mengesankan. Aku menurunkan kaca jendela mobil. Hawa dingin perbukitan membuatku menarik napas dalam-dalam. Aku sangat menyukai suasana ini. Perlahan senyumku tercipta ketika sapuan angin menyentuh kulit wajahku.
Aku bergegas keluar dari mobil. Berlari menyusul Regan. Apa yang ada di depan mataku membuatku berdecak. Kabut masih menutupi bawah perbukitan sana. Aku menoleh pada Regan. Pria itu tersenyum lebar padaku.
"Aku tahu kamu pasti akan suka," katanya percaya diri. Dalam hati aku tersenyum memuji.
"Rumahmu?" tanyaku menatap ke sekeliling. Mengangguk-angguk.
"Ya. Tapi aku sudah lama tidak pulang," jawabnya menghela napas. Ya. Sejak orangtuanya memilih pensiun dan berpindah ke kota lain, katanya rumah ini kosong. Hanya sesekali orang suruhannya membersihkan rumahnya. Dia pernah bercerita padaku. Tapi sama sekali aku tidak tahu kalau rumahnya seindah ini.
"Kita menginap di sini?" tanyaku kembali menatapnya.
"Hanya kalau kamu tidak masalah. Besok pagi-pagi kita berangkat kerja dari sini. Bagaimana?" tawarnya.
Aku terdiam. Menahan senyum. Sebuah tawaran yang sangat menarik. Bahkan kalau mengharuskan pulang-pergi setiap hari, rasanya bukan masalah. Tempatnya ini sangat indah.
"Ide yang bagus. Dan tempat yang bagus untuk relaksasi," ujarku sambil melangkah menuju pada hammock yang terbentang.
"Jangan kemanapun kalau begitu. Aku akan segera kembali," ujarnya.
"Kemana?" tanyaku mengangkat kepala. Aku sudah berbaring di dalam hammock, begitu nyaman.
"Menyiapkan kamar untuk menginap. Juga menelpon orang untuk membawakan makanan untuk kita."
"Siap menunggu!" seruku lalu kembali bersantai di dalam hammock.
Tanganku bertautan, menjadi bantalan kepalaku. Aku memejamkan mata. Melupakan sejenak apa yang membuatku marah. Sejauh ini hanya Regan yang paling mengerti. Aku benar-benar seperti memiliki seorang kakak laki-laki.
Entah sudah berapa lama. Yang jelas aku merasakan napasku berangsur teratur. Penat di kepalaku mulai memudar.
"Astaga, kamu mematikan ponselmu?" tanya Regan mendekatiku dengan tasku di tangannya.
Aku terbangun dari tiduranku, memberikan celah untuk Regan bergabung bersamaku. Aku mengangguk, menerima ponsel dan tasku.
"Hm. Aku sedang tidak ingin dihubungi siapapun," jawabku santai tanpa ada rasa bersalah.
"Pantas saja Rania menelponku sejak tadi," dengusnya menghela napas.
"Tidak kamu angkat?" tanyaku.
Dia meringis, menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak tahu. Mode silent," jawabnya tidak mau disalahkan.
Aku tertawa. Mentertawakan sikap bodoh kami.
"Kupikir dia menghubungiku karena mau bicara denganku. Tapi mencarimu," dia tertawa, "Ah, aku sudah berharap banyak."
"Kalau kamu tidak berani, maka lupakan!" sahutku sok bijak.
"Kalau berani, hadapi. Jangan berlari," sahutnya membalasku.
"Terlalu sakit untuk dihadapi," jawabku melankolis.
"Huh, terlalu mendramatisir! Oke, lupakan! Kita jalan-jalan!" putusnya beranjak kemudian menarik tanganku untuk bangun.
"Kemana?" tanyaku menengadah demi menatap dirinya.
"Melupakan masalah," sahutnya.
Aku tergelak, kemudian beranjak mengikuti langkahnya. Menuruni perbukitan lalu memasuki perkebunan teh.
"Kamu bisa berteriak di sini sekencang-kencangnya. Biar perasaanmu sedikit lega," katanya ketika sampai di tengah-tengah perkebunan.
"Oya?" Aku menatap ke sekeliling. Semuanya hijau dan aku seperti tenggelam di sini.
Dia mengangguk. Bahkan dia lebih dulu berteriak, aku ingin berhenti mencintainya!!! Sungguh konyol. Aku mentertawakan apa yang dia lakukan. Dia beralih menatapku, menyuruhku untuk melakukannya.
"AKU BENCI KEADAAN INI!!! AKU MEMBENCINYA! AKU MEMBENCINYA!!!"
Napasku tersengal-sengal. Aku merasakan tenggororkanku sedikit gatal. Mungkin karena aku terlalu keras berteriak.
"Membenci siapa?" tanya Regan terbengong.
"Ya, membencinya," jawabku acuh.
"Dia siapa?" desaknya.
"Dia yang mengambilmu dariku," jawabku terkikik.
Dia menghela napas, menggelengkan kepala.
"Sudah sakit jiwa," gumamnya.
Aku tidak peduli. Aku kembali melangkah. Dan pria itu mengikuti langkahku. Tidak ada yang bicara. Masing-masing sibuk menikmati keadaan dalam diam. Aku sendiri entah kenapa merasa jauh lebih baik setelah berteriak tadi. Terdengar konyol memang.
"Fah," panggilnya setelah sekian lama terdiam.
"Hm?"
"Rania telpon lagi," ujarnya sambil mengeluarkan ponselnya dari saku celananya.
"Angkat saja."
"Oke," jawabnya pasrah.
"Tapi jangan kasih tahu kalau aku bersamamu."
"Kenapa?"
"Pokoknya jangan kasih tahu!"
Karena aku tahu, entah Bram atau Daniell sendiri yang mencariku. Dan satu-satu yang bisa dia hubungi adalah Rania. Mungkin di sana mereka sedang bersitegang atau kalangkabut panik mencari keberadaanku.
Aku tersenyum miring. Tidak boleh ada yang tahu di mana aku saat ini. Aku sedang memerlukan ruang untuk sendiri. Menikmati kesendirian seperti dulu sebelum Daniell menyentuh kehidupanku.
Biar saja mereka kebingungan mencariku. Memangnya dia pikir dia bisa melakukan segalanya? Jika iya, maka dia telah salah menilai seorang Fahsai Tristanaya. Seorang perempuan yang kelihatannya mudah menerima kehadiran orang baru.
"Rania bertanya kamu ada bersamaku atau tidak. Dia memintamu untuk menemaninya, meeting dengan Mr. Daniell," kata Regan memberi tahu setelah dia menjawab telpon dari Rania.
Aku tersenyum kecut. Bukan meeting. Tapi aku tahu itu hanya alasan seorang William Daniell agar aku segera pulang.
"Terus?"
"Aku bilang. Aku tidak tahu."
Jawabannya membuatku tersenyum puas. Lalu kembali melangkah. Dengan Regan berjalan di sisiku.
"Client kita satu itu agak aneh. Kenapa harus meeting dengan Rania. Dan Rania selalu meminta ditemani sama kamu. Kenapa bukan dengan Pak Dirga atau asistennya, Jee?" ucap Regan berpikir kritis.
Sedikit kritis. Karena rasanya dia terlambat untuk menyadari. Memang apa yang dikatakan Regan benar. Tapi satu alasan yang kutahu, antara William Daniell dengan Sebastian Dirga itu sudah ada kesepakatan. Tidak tahu kesepakatan apa. Aku hanya mencium adanya kesepakatan. Sudah terlihat sejak awal kedatangannya. Yang lebih anehnya adalah posisiku di dalam perusahaan itu hanyalah anak buah Rania, team creatives design.
"Bukan urusanku untuk tahu. Kenapa memangnya?"
Dia mengedikkan bahunya. "Tidak. Hanya merasa sedikit aneh saja."
"Rania pernah bercerita padaku, Pak Dirga mempercayakan itu pada Rania," jawabku.
Dia menghela napas. Terdiam sesaat.
"Oke. Lupakan. Sebaiknya kita menikmati liburan kita," sahutnya.
Itu akan lebih baik. Daripada membahas Rania yang hanya akan berujung pada sebuah nama, William Daniell.
"Kita akan kemana?" tanyaku sambil memasukkan kedua tangan ke saku jaket.
"Berenang di sungai bawah sana."
"Serius?" tanyaku hampir tidak percaya.
"Ya. Airnya masih jernih belum terkontaminasi apapun."
"Wow," decakku merasa begitu antusias. Di otakku sudah terbayang dengan aliran air yang sejuk. Banyak batu-batu di sana.
Di dalam hati aku bergumam, ini baru namanya melarikan diri. Dan sepertinya aku jatuh cinta dengan tempat ini. Begitu tenang seperti tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
***
Tbc
03 Mei 2018
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top