Bab 10 (REPOST)
Wanita itu dan kata pelarian terus bergantian melintas di pikiranku. Aku mengerjabkan mata. Padahal sudah menjelang pagi tapi aku belum merasakan kantuk itu datang. Kalau saja besok bukan akhir pekan, mungkin aku sudah panik karena belum tidur sama sekali.
Aku menghela napas, memilih beringsut turun dari tempat tidur. Sementara Daniell entah sudah bermimpi sampai di mana. Dia tidur tak terusik. Aku meraih jaket dan ponselku. Tidak tahu apa yang harus kulakukan. Sepertinya duduk di taman akan lebih baik, sekaligus mencari informasi tentangnya. Sudah kubilang kan kalau aku tidak akan bertanya. Tapi akan mencari tahu dengan caraku sendiri.
Sebelumnya aku membuat secangkir kopi panas untuk menemaniku menikmati udara malam. Aku melangkah menuju bangku taman. Duduk termenung, menatap langit. Jujur saja, aku sangat jarang melakukan hal ini. Tapi aku suka dengan suasana seperti ini.
Aku menghela napas panjang. Merapatkan jaketku. Punggungku bersandar nyaman di sandaran bangku taman. Terakhir aku melakukan ini empat tahun yang lalu ketika aku harus merelakan ibuku menikah lagi, melanjutkan hidupnya setelah dua tahun ayahku meninggalkan dunia.
Tanganku kini mengambil ponsel, mencari informasi dari sebuah nama. Sekalipun itu sangat mustahil. Aku mendapati beberapa artikel mengenai dirinya. Sosoknya yang cukup dianggap batu besar di dunia bisnis. Membuat musuh cukup segan. Prestasi-prestasinya. Tapi tidak dengan kehidupan pribadinya.
Aku tertawa lirih. Orang seperti dia, menyingkirkan seseorang bukanlah hal sulit. Apalagi menghapus sebuah rumor, itu merupakan perkara kecil. Uang dan kekuasaan yang berbicara.
Aku bergidik. Meletakkan kembali ponselku. Lebih memilih menatap langit malam. Udara dan angin sejuk membuat sensasi yang menenangkan bagiku.
Cerita masa depan tidak ada yang tahu. Aku mulai memahami ini. Seseorang bisa datang dan pergi dengan atau tanpa alasan. Baik dan buruk. Salah atau benar. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semua akan berjalan normal. Dan itu pasti akan bisa kita lalui seperti biasa.
Selalu teringat jelas kalimat dari ayahku ketika bersantai dulu. Kalimat ketika menyemangatiku untuk tidak pernah menyerah. Dan kini aku kembali mengingatnya juga memahaminya. Bahwa semua akan berjalan normal. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan baik tentang wanita itu maupun tentang aku sebagai pelarian.
Aku mengambil cangkirku, menyesap kopi yang sudah tidak sepanas tadi. Lalu kembali berdiam diri. Memejamkan mata, meresapi segalanya.
***
Aku terbangun ketika mulai merasakan kehangatan. Mataku mengerjab, merasakan sinar matahari. Baru menyadari bahwa aku tertidur di taman hingga pagi. Aku tertawa lirih menyadari kekonyolanku. Lalu beranjak bangun, mengambil cangkir kopi yang masih tersisa sedikit kopi.
Melangkah santai menuju flat. Tidak ada yang kupikirkan. Semuanya seperti ringan melayang. Aku seperti tanpa beban. Sedang ponselku sudah kehabisan daya. Aku melangkah masuk, sedikit terkejut.
Hampir melupakan kalau aku tidak tinggal sendiri. Ada seorang William Daniell. Dia dengan tampang datar tapi aku tahu dia sedang mencari sesuatu.
"Mencari apa?" tanyaku sambil meletakkan cangkir di meja. Lalu mengambil charger ponselku.
"Tidak ada!" jawabnya kaku lalu kembali ke kamar.
Aku hanya melongokkan kepalaku. Dia kembali menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur. Sementara aku memilih mengambil sepasang sepatuku lalu memasang earphone di kedua telingaku, kembali meninggalkan flatku. Salah satu rutinitasku ketika libur adalah lari pagi. Dengan catatan jika suasana dalam keadaan baik atau dalam keadaan buruk.
Karena pada dasarnya aku adalah orang yang paling malas berolahraga. Jadi aku berolah raga hanya ketika dalam suasana baik atau sedang sedikit terpuruk. Satu-satunya olahraga yang kulakukan adalah lari pagi. Hanya itu. Selebihnya aku tidak tertarik.
Seperti saat ini. Aku sedang berusaha membuang segala kepenatanku. Setelah semalam merenung di bawah langit malam. Entah, kali ini aku berlari dengan segenap emosiku. Napasku seperti bergumul di dada, ingin meledak. Rasanya aku ingin berteriak kencang. Tapi aku hanya membuang napas keras di antara lariku. Hingga kemudian aku berhenti, menumpukan kedua tangan di lutut.
Napasku tersengal-sengal seiring dengan peluh yang menetes membanjiri sekujur tubuhku. Aku tertawa lirih. Tidak rela jika aku menyerah begitu saja.
"Fah! Fahsai!"
Aku menegakkan tubuhku ketika mendengar suara teriakan memanggilku. Mengedarkan tatapanku. Sejenak aku terdiam lalu berkacak pinggang begitu mendapati seseorang itu. Dia berlari menghampiriku.
"Kenapa?" tanyanya dengan napas tersengal-sengal.
Aku mengernyit. Seharusnya aku yang bertanya bukan?
"Kamu yang kenapa?" sahutku.
Dia menggelengkan kepala. "Aku panggil kamu sejak tadi. Tapi kamu malah lari kencang. Kenapa?"
Aku melepas satu earphone, menghela napas. Sejenak dia mengangguk-angguk lalu tertawa. Mungkin dia sudah paham kenapa aku tidak mendengar panggilannya.
"Oke. Tidak apa-apa. Beruntung kamu akhirnya mendengar ketika suaraku hampir habis."
"Ada apa?" tanyaku kembali melangkah.
"Tidak ada. Hanya butuh udara segar. Dan kebetulan aku melihatmu."
Udara segar? Aku tertawa kecil. Menarik napas lalu menatap dirinya. Sedang dia berjalan di sampingku, seperti ingin melepas beban.
"Rania?" tebakku.
Dengan cepat dia menoleh. Meringis kepadaku.
"Sampai kapan kamu akan begini? Rania tidak akan pernah tahu kalau kamu suka dia tanpa kamu pernah membicarakannya."
Dia tertawa lirih, menghela napas.
"Aku hanya takut keadaan akan berbeda ketika dia menolakku nanti."
Aku berdecih, "Belum pernah dicoba kan?"
"Hm. Tapi sudah pasti dia akan menolakku. Karena perasaan itu bukan untukku."
"Cinta tanpa bicara itu pengecut, Regan," cetusku pedas, "Omong-omong kamu ke sini hanya untuk bicara tentang Rania?"
Dia berdecak. "Kamu yang ke sini. Aku lihat kamu lari kencang, makanya aku memanggilmu. Tiga blok!"
Tiga blok? Aku berhenti seketika dari langkahku. Menyadari kalau aku sudah mencapai kawasan apartemen Regan. Tiga blok katanya. Dan aku tidak sadar dengan hal itu.
"Oih! Aku harus kembali sekarang!" erangku segera membalikkan badan. Melangkah cepat untuk pulang.
"Tidak tertarik sarapan di flatku? Nanti kuantar kamu pulang," ujar Regan.
Sarapan? Penawaran yang menarik. Aku menghentikan langkah, sedikit menimbang-nimbang. Tapi kemudian aku mengerang kesal, bagaimana aku begitu mudah tergoda dengan tawaran makanan. Aku menggelengkan kepala, sedikit kesal dengan diri sendiri.
"Tidak! Lain kali!" seruku kembali berlari. Kali ini dengan ritme yang santai. Tanganku kembali memasangkan earphone.
Entah kenapa aku sedikit berbelok. Kali ini berjalan santai melewati samping pemakaman. Awalnya tidak ingin menoleh. Tapi aku sedikit tertarik, dulu, biasanya pria itu akan di sini. Berdiri di sebuah pusara. Ah, apa dia sudah bangun sekarang?
Aku menghentikan langkah, menatap ke dalam area pemakaman itu. Hingga berhenti pada satu titik. Di mana aku merasa seperti tertusuk. Dia sudah bangun. Dia berada di sana. Tapi bertatapan dengan seorang wanita.
Napasku tercekat. Menatapi mereka. Sedikit mundur tergagap ketika wanita itu menghapus jarak. Memeluk dia. Meski kulihat kedua tangannya mengepal tanpa membalas pelukan wanita itu. Postur tubuhnya membuatku berasumsi bahwa wanita itu adalah wanita yang sama dengan apa yang kulihat di Mall itu.
Wanita itu dan sebuah kata pelarian kembali berdengung di telingaku. Padahal semalaman aku sudah mencoba untuk melupakan hal itu.
Aku menarik napasku dalam-dalam, melangkah seperti tanpa tenaga. Seharusnya aku menerima tawaran sarapan dari Regan. Agar aku tidak pernah tahu dengan hal seperti ini.
Tanganku kini masuk ke dalam saku jaket. Aku mengerjabkan mata. Tidak tahu, aku hanya merasa tidak rela diriku berada di situasi seperti ini. Aku membuang napas beberapa kali sebelum memilih duduk di sebuah bangku trotoar, di bawah pohon akasia.
Jika saja semuanya seteduh ini, gumamku dalam hati sambil menyandarkan punggungku di sandaran kursi berbahan baja itu. Memejamkan mata, mengalirkan kesesakan itu dengan sebuah lagu lewat earphone.
"Huh! Sepertinya aku butuh berlibur," dengusku membuka mata.
Berlibur di tepi pantai terdengar sangat menarik. Aku beranjak dari dudukku. Kembali berlari kecil menuju ke apartemen.
"Aku tahu itu sakit. Tapi kamu hanya perlu membiasakan diri. Melihat tidak hanya dengan matamu."
Sebuah suara hadir menjajari langkah lari kecilku. Aku tertawa kecil tanpa perlu melihat orang itu.
"Apa yang akan kamu katakan? Aku sudah hafal. Aku hanya tempat pelarian kan?" kataku melirik sinis padanya.
"Sudah kubilang, jangan melihat hanya dengan matamu."
"Dengan mataku atau tidak, memangnya aku punya pilihan? Tapi," aku berhenti dari langkah.
Mataku menatap pria yang kini berada di hadapanku. Aku tersenyum miring.
"Yang kutahu semua pasti akan bermuara. Tidak tahu kapan pastinya. Aku hanya perlu menunggu. Semua pasti akan berjalan normal. Aku hanya perlu melewatinya. Itu saja."
"Namanya Nayalla..."
"Tidak penting untukku tahu," potongku sebelum kembali melangkah, kali ini lebih cepat.
"Fah!"
Aku memutar mata, mendengus enggan. Dia kembali mengejar langkahku.
"Demi apapun aku tidak tertarik membahas ini. Aku tidak peduli. Yang kutahu aku hanya tempat pelarian, sesuai dengan katamu!"
Dia terdiam canggung. Menghela napas seperti ingin bicara sesuatu tapi tidak tahu bagaimana untuk memulainya.
"Kalau perasaan itu masih ada, lebih baik kembali padanya. Kenapa malah harus berlari?"
"Tidak sesederhana itu, Fah," jawabnya terdengar putus-asa.
"Maka sederhanakan!"
"Nanti akan kuceritakan tentang Nayalla dan Boss. Hanya kamu harus berjanji untuk tidak meninggalkannya."
"Kalian selalu berkata demikian. Tapi tergantung keadaan nanti. Seseorang datang dan pergi. Tidak ada yang perlu ditakutkan soal itu. Semuanya wajar dan akan berjalan seperti biasa."
"Kamu sudah berjanji..."
"Menjadi teman hidupnya, Bram. Aku masih ingat jelas. Tapi aku sarankan. Jika Bossmu masih memiliki perasaan untuk dia, lebih baik kembali. Daripada harus berlari."
"Sekalipun ada, dia hanya akan bersamamu."
Aku tertawa sumbang. Sungguh aku merasa sedang berada di dalam sebuah kisah yang konyol.
"Fah,"
"Aku harus pulang. Perutku mulai berteriak minta diisi."
"Tadi pagi dia mencarimu," ucap Bram.
Yang kutahu dia sedang mengulur waktu agar aku tidak segera pulang. Aku tidak tahu kenapa.
"Kamu lihat sekarang aku sedang apa. Sudahlah, sekali lagi bukan hal penting. Jadi apa yang harus kupedulikan!"
"Dia mencemaskanmu," jawabnya cepat.
"Terima kasih," sahutku singkat. Kali ini aku sama sekali tidak tertarik membahas apapun. Aku kembali berlari tanpa mempedulikan Bram yang terus memanggilku. Aku hanya sedang memerlukan sedikit waktu untuk sendiri. Itu saja.
***
Tbc
03/mei/2018
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top