8 - Selamat Tidur

Kalau bukan lewat video call segala, Cendana pasti langsung mengangkat telepon Jati. Entah kenapa ia jadi setegang itu menyadari akan berhadapan dengan pemilik senyum manis itu, meski hanya lewat layar ponsel.

Setelah sempat bengong dan bingung harus ngapain, Cendana melompat dari tempat tidur ke depan meja rias. Hal pertama yang dilakukannya adalah mengambil beberapa lembar tisu untuk menyeka noda bekas air mata di pipinya. Jati tidak boleh tahu kalau ia habis menangis.

Detik selanjutnya, antara tidak ingin terlihat berantakan dan harus segera menjawab panggilan Jati sebelum berakhir, membuat Cendana gelagapan. Sebelum berhenti berdering, Cendana buru-buru menyambar ponselnya di atas kasur dan langsung mengetuk gambar lingkaran kecil berwarna hijau di sisi kiri, mengabaikan penampilannya yang kini sudah terpampang di layar ponsel Jati. Ia tidak ingin mengabaikan panggilan pertama Jati dan membuatnya salah paham. Lebih parah lagi kalau cowok itu tidak akan menghubunginya lagi.

"Hai!"

Cendana hanya tersenyum lebar ketika Jati menyapanya di seberang sana. Kenapa rasanya lebih mendebarkan ketimbang ngobrol langsung?

"Jangan-jangan aku ganggu. Tadi udah tidur, ya?" Jati berasumsi demikian setelah melihat penampilan Cendana yang memang sedikit berantakan dalam balutan piama biru langit.

"Eh, enggak, kok," Cendana buru-buru menyanggah.

"Terus, kamu lagi ngapain?"

Cendana malah menggeleng. Apa-apaan ini? Bisa, nggak, sih, responsnya lebih bermutu, membuat obrolan itu lebih hidup?

"Aku masih teringat dengan kata-katamu tadi sore. Karena itu, aku menghubungimu untuk ngucapin selamat tidur."

Cendana makin tidak berdaya sekarang. Ia hampir tidak mampu menahan ponsel di tangannya demi tetap melihat wajah Jati di seberang sana.

"Sampai kamu berhasil mendapatkannya dari kedua orangtuamu, untuk sementara biar aku saja yang mengucapkannya."

Cendana menahan napas agar tidak bertingkah konyol.

"Selamat tidur, Cendana. Mimpi indah, ya. Esok kamu harus bangun dengan senyum baru, semangat baru, dan harapan baru."

Cendana benar-benar meleleh sekarang. Jantungnya belum pernah berpacu secepat ini. Seindah inikah cinta? Sebatas ucapan selamat tidur yang dilatarbelakangi senyum manis yang terus mengembang di seberang sana, reaksinya sedemikian dahsyat.

"Ya udah. Tidur, gih. Aku tutup, ya."

Cendana mengangguk, meski hatinya menolak untuk berpisah dengan pemilik manik cokelat pekat di seberang sana.

Gadis berbibir tipis itu meletakkan ponselnya secara asal setelah wajah Jati menghilang. Ia kembali mendaratkan kepalanya di bantal dengan senyum yang semakin lebar. Ia tidak yakin masih bisa tidur setelah ini. Wajah Jati tercetak jelas di langit-langit kamarnya.

***

"Udah selesai ngobrolnya?" Kenanga menyela aksi senyum-senyum sendiri Jati di salah satu sudut ruangan. Dari nadanya, kentara ia tidak suka.

Jati mengangguk seraya berusaha keras meredam senyum yang dengan mudahnya tercetak di luar kehendak.

"Yuk, lanjut lagi. Yang lain udah pada nungguin."

Jati mengantongi ponselnya sebelum bangkit, lalu berjalan santai melewati Kenanga yang sedang bersandar malas di sisi kanan pintu.

Kenanga yakin, gadis itu lagi yang baru saja dihubungi Jati, salah seorang murid yang menemaninya ke toko buku waktu itu, yang membuatnya mengabaikan jadwal latihan. Setelah tidak sengaja mendengar Jati mengucapkan selamat tidur untuk gadis itu, Kenanga merasa perlu bertindak. Bertahun-tahun ia berada di sisi Jati, tapi tak sekali pun cowok itu bersikap semanis tadi padanya.

Kenanga menarik napas dalam-dalam demi menghalau perih di hatinya, yang sesaat kemudian malah menjelma jadi selaput bening yang melapisi sepasang bola matanya.

***

"Selamat tidur, Cendana. Mimpi indah, ya. Esok kamu harus bangun dengan senyum baru, semangat baru, dan harapan baru."

Kalimat manis Jati terus terngiang, membuat Cendana seolah tersenyum sepanjang tidur tadi malam. Karena itu juga, ia sangat bersemangat pagi ini. Ia bangun lebih awal dari biasanya, langsung siap-siap sambil menikmati bayangan Jati yang bermunculan dari segala arah.

Setelah berseragam lengkap, Cendana berlari-lari kecil menuruni tangga menuju lantai dasar. Ia langsung ke dapur, menemukan Bibi yang berkutat dengan kesibukan khas pagi hari.

"Selamat pagi, Bi!"

Bibi yang sedang mencuci sayuran, lantas melongo. Ia heran melihat reaksi majikan mudanya pagi ini, setelah tersedu-sedu dalam pelukannya tadi malam.

Pandangan Cendana beralih ke atas meja yang masih kosong. Tumben Bibi belum menyiapkannya segelas susu full cream dan roti selai cokelat. Ah, Bibi tidak mungkin lupa. Ia yang kepagian saking semangatnya.

"Bi, aku berangkat dulu, ya." Cendana langsung berlari-lari kecil menuju garasi. Setibanya, ia langsung menaiki sepedanya dan mengarahkan setangnya ke pintu gerbang.

"Non, tunggu!" teriak Bibi dari arah pintu utama.

Cendana menghentikan kayuhan penuh semangatnya, lalu menoleh ke Bibi yang entah ada apa dengannya.

"Nggak apa-apa, Bi. Nanti aku bisa sarapan di sekolah," alih Cendana dengan senyum tidak mempermasalahkan. Menurutnya, sikap Bibi jadi aneh begitu setelah merasa bersalah kerena kurang cekatan menyiapkan sarapan untuknya.

Bibi menggeleng sambil tetap melangkah mendekat.

"Non mau berangkat sekolah?" Sekali lagi Bibi mengamati penampilan majikan mudanya yang sudah rapi dengan seragam putih abu-abunya.

Cendana mengangguk tegas sambil tetap tersenyum.

"Bukannya ini hari Minggu, Non?"

"Ha?" Cendana melongo beberapa jenak, tampak sulit mengakui kekonyolan yang diperbuatnya sepagi ini. Ia buru-buru mengambil ponsel di dalam tas dan langsung melototi petunjuk hari di sudut kiri atas.

Jatuh cinta bisa bikin orang sebego ini, ya?

Cendana mengembalikan ponselnya ke dalam tas sambil cengar-cengir ke arah Bibi.

"Tumben, Non sesemangat ini? Ada apa di sekolah?" goda Bibi di sela tawa yang susah payah ditahannya.

Cendana ikut-ikutan tertawa sambil memutar kembali sepedanya.

"Non mau dibikinin sarapan apa?" tanya Bibi setelah Cendana mulai mengayuh sepedanya mengarah ke garasi.

"Nanti aja, deh, Bi. Aku mau tidur lagi aja," jawab gadis itu tanpa menoleh.

Semua ini gara-gara Jati. Setelah mengucapkan selamat tidur tadi malam, wajahnya kian lekat membatik di segala sisi pikiran Cendana, membuat gadis itu buru-buru ingin berangkat ke sekolah demi lekas bertemu di ruas jalan yang selalu jadi titik pertemuan mereka. Belum apa-apa, cowok itu sudah berhasil membuat Cendana lupa hari.

Rindu memang sedahsyat ini, ya?

***

Jati mencoba menenangkan diri dengan secangkir kopi hangat di teras. Belum pernah paginya segelisah ini. Terlebih untuk hal absurd yang masih belum berhasil ia terjemahkan sepenuhnya.

Cendana

Entah kali keberapa Jati mengulang nama itu dalam hati. Sayang sekali, hari Minggu tiba di waktu perasaan ingin bertemu semenggebu ini. Untuk pertama kalinya Jati tidak suka hari libur.

Entah dengan cara apa Jati melalui hari ini, agar waktu tak terasa semakin melambat. Ia ingin esok lekas tiba, dan kembali menciptakan kembang-kembang senyum di ruas jalan yang seolah sudah menjadi milik mereka.

***

Konsentrasi Cendana dalam menyelesaikan PR Fisika tiba-tiba terinterupsi oleh panggilan Ranum yang terus-terusan menderingkan ponselnya. Cendana sengaja tidak langsung mengangkatnya, sebab menurutnya anak itu palingan hanya ingin menanyakan jawaban soal yang juga sedang membuatnya pusing.

Mendengar deringan ponselnya yang mulai lagi dari awal untuk ketiga kalinya, akhirnya Cendana mengalah. Ia mengangkatnya.

"Ada apa, sih?" todong Cendana tanpa basa-basi. Nada suaranya malas-malasan.

"Temenin gue ke Pasar Semawis, ya!"

"Kok, tiba-tiba? Ngapain?" Volume suara Cendana bertambah.

"Ya nyari makanlah, masa nyari musuh!" timpal Ranum di seberang sana, dengan intonasi khas ala dia.

"Aku udah makan, nih."

"Kita makan yang ringan-ringan aja."

"Tapi aku belum ngerjain PR."

"Gampang. Besok tinggal nyalin punya Jaka." Ranum melontarkan solusi andalannya, tanpa nada tidak enak sedikit pun.

"Em ...."

"Pokoknya, sekarang lo siap-siap. 30 menit lagi gue jemput." Ranum mematikan sambungan telepon tanpa perlu menunggu persetujuan.

Mau tidak mau, Cendana merapikan buku-bukunya, lalu beranjak untuk siap-siap. Saat memilih pakaian di dalam lemari, pergerakannya terhenti sejenak karena tiba-tiba Jati kembali memenuhi pikirannya. Ah, sepertinya ia memang harus keluar dari rumah ini, agar malam yang masih dini lekas tua, lalu binasa dicumbu hangat mentari pagi. Cendana ingin esok tiba lebih cepat, agar rasa aneh ini segera dirontokkan oleh senyum Jati.

***

[Bersambung]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top