5 - Kenapa Bapak Memilih Jadi Guru?

"Sejak adiknya meninggal, musik bukan lagi sesuatu yang menarik untuk Cendana."

Ucapan Jaka terus terngiang. Kaitan antara musik dan kematian itu membuat Jati tak habis pikir. Ia sampai sulit berkonsentrasi saat mengajar tadi. Terlebih saat jam terakhir di kelas Cendana.

Di mata Jati, Cendana itu hebat. Ia bisa bersikap biasa sepanjang proses belajar mengajar, setelah nyata-nyata menunjukkan rasa peduli tadi pagi. Atau memang hanya Jati yang kege-eran?

Jati harus bisa menemukan momen yang tepat untuk bisa mengobrol lebih lama dengan Cendana. Karena itu, selepas mengajar tadi ia sengaja buru-buru kembali ke ruang guru untuk mengambil ransel dan sekarang sedang menunggu Cendana di parkiran.

Jati yang tadinya bersandar di tiang kanopi parkiran, lekas berdiri tegak setelah melihat Cendana berjalan ke arahnya. Langkah Cendana memelan menyaksikan hal itu, menyadari Jati seolah sengaja menunggunya, dan sekarang sedang bersiap menyambutnya.

"Hari ini kamu sibuk, nggak?" tanya Jati setelah Cendana tiba di depannya, mengabaikan hilir mudik siswa-siswi yang bisa saja menguping obrolan mereka.

Cendana menyelipkan rambut ke belakang telinga, lalu menggeleng.

"Bisa temani ke toko buku? Aku butuh beberapa buku pendamping bahan ajaran."

Cendana tampak menimbang-nimbang.

"Aku minta tolong sebagai gurumu, jadi kamu nggak boleh nolak." Tawa kecil meluncur dari mulut Jati, membuat Cendana pun tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa, karena tingkah kekanak-kanakan guru memesona di depannya.

"Kita naik angkot aja, ya. Sepedanya tinggal di sini aja dulu."

Cendana mengangguk mengiyakan.

***

Banyak hal ajaib yang dikarenakan hal-hal kecil di dunia ini. Misal yang dirasakan Jati sekarang. Duduk berdempetan dengan Cendana dalam angkot sungguh ampuh menetralisir hawa panas Kota Semarang siang ini. Entah melalui proses apa. Dipikir dari sudut pandang mana pun, sepertinya jawabannya tidak akan ketemu.

Meski yakin hatinya telah tercuri, sejauh ini Jati masih belum berani memikirkan akan ke mana kedekatan yang coba ia jalin ini bermuara. Memang kesannya egois, tapi ia tidak boleh melupakan statusnya sebagai guru. Jati sudah melalui proses panjang sebelum bergabung di SMA Nusa Bangsa.

Di detik Jati memperkenalkan diri di depan kelas waktu itu, Cendana mulai menata ulang perasaannya. Pacaran dengan guru sendiri sama sekali tidak ada dalam agendanya. Membayangkannya saja tidak pernah. Tapi, bukankah cinta selalu menemukan tempat ternyaman untuk tumbuh? Lalu, harus menyalahkan siapa jika perasaan Cendana kini memilih Jati sebagai habitatnya? Dengan cara apa Cendana membunuh gejolak yang melumpuhkan sisi-sisi penolakannya?

Berselang beberapa menit kemudian, Jati dan Cendana sudah berada di toko buku yang berlokasi dalam gedung pusat perbelanjaan. Jati mengikuti langkah Cendana yang langsung mengarah ke rak novel. Sejak di pintu utama hingga tiba di lantai tiga ini, keinginan Jati untuk menggandeng tangan Cendana begitu kuat. Namun, penampilan gadis itu dengan seragam putih abu-abunya membuat Jati berpikir dua kali. Berkali-kali ia menegaskan dalam hati status mereka sebagai guru dan murid.

"Suka baca novel?"

"Nggak terlalu, sih, Pak. Tapi lumayanlah buat pengisi waktu luang. Daripada bengong nggak ngapa-ngapain?" Cendana menjawab tanpa menoleh. Kedua matanya sibuk mengamati judul-judul buku yang terpajang rapi pada rak di depannya.

"Kamu lagi nyari buku apa?" tanya Jati lagi setelah mereka melewati dua lorong dan Cendana belum menyentuh satu buku pun.

"My Real Boy, karya penulis asal Makassar. Baru rilis, sih. Saya juga kurang yakin sudah ada di sini." Cendana mengamati jejeran buku lebih teliti, belum menyerah untuk menemukan buku incarannya.

"My real teacher, ada, nggak?" seloroh Jati yang disambut tawa ringan dari Cendana.

"Nah, ini dia." Cendana meraih buku bernuansa biru yang menampakkan sepasang kaki cowok berjins sobek di bagian lutut untuk ilustrasi kovernya.

"Buku siapa, sih?" Karena penasaran, Jati mengambil satu lagi dari rak yang sama. "Ansar Siri?"

"Ini emang novel debutnya, wajar kalau namanya masih asing untuk tertera di sampul buku."

"Kok kayaknya kamu tahu banyak?"

"Dia aktif nulis di platform kepenulisan, dan kebetulan karya-karyanya sesuai dengan selera bacaan saya."

"Oh gitu." Jati manggut-manggut sambil masih melihat-lihat buku di tangannya. "Gue jatuh cinta sama puisi lo, tapi belum tentu sama lo. Tagline-nya asyik juga," puji Jati, lalu beralih membaca blurb di bagian belakang. "Jadi selera bacaan kamu kisah percintaan remaja kayak gini?"

"Begitulah, Pak. Lebih aman pilih bacaan sesuai umur."

"Wah, berarti setua aku nggak cocok lagi, dong, baca ini." Jati tertawa renyah sambil mengembalikan buku yang dipegangnya ke tempat semula.

"Eh, kata siapa Bapak udah tua?" Cendana buru-buru menyanggah.

"Buktinya, kamu selalu panggil aku "Pak" di luar jam sekolah."

Cendana mendadak salah tingkah.

"Udah, nggak usah salting gitu. Ntar cantiknya berkurang, loh."

Cendana bukan hanya salah tingkah sekarang, tapi juga kehilangan kemampuan bicara. Beruntung di sekelilingnya banyak buku yang bisa dijadikan pelarian, daripada harus meladeni godaan Jati yang berpotensi membuat kedua lututnya rapuh.

"Sini, bukunya aku pegangin."

Cendana tidak menolak saat Jati mengambil alih buku di tangannya.

"Nanti bayarnya disatuin sama punyaku aja, ya."

"Maksudnya dibayarin?" Pemilik tahi lalat di dekat bibir itu buru-buru memperjelas.

Jati mengangguk seraya tersenyum lebar.

"Eh, nggak usah, Pak."

"Nggak apa-apa, kok. Itung-itung ucapan terima kasih karena kamu udah mau nemenin aku."

"Sebenarnya nggak perlu, Pak. Serius."

"Ayo, ah." Jati meraih pergelangan tangan Cendana dan menuntunnya ke zona buku pelajaran. Giliran dia yang cari buku.

Meski terlihat santai, napas Cendana agak tersengal digandeng Jati seperti itu. Genggaman Jati hangat, membuat Cendana ingin merasakannya lebih lama. Tapi cowok itu melepaskannya ketika mulai serius memilih buku.

Jati bingung harus memilih buku yang mana, karena sebenarnya ia tidak terlalu butuh. Buku-buku penunjang koleksinya sudah lebih dari cukup. Ini hanya akal-akalannya agar bisa pergi berdua dengan Cendana.

"Kenapa Bapak memilih jadi guru?"

Jati senang, karena Cendana mulai inisiatif memulai obrolan. Mekipun pertanyaannya terlalu berat untuk ukuran basa-basi. Ia tampak membuang pandang ke tak tentu arah, membiarkan jeda menggantung sesaat sebelum menjawab.

"Jadi guru itu seru. Buktinya, bisa ketemu murid secantik kamu." Makin ke sini Jati makin senang menggoda Cendana. Gelagat salah tingkah gadis itu serupa candu baginya. Ia sangat menikmati pipinya bersemu merah, yang menurutnya ampuh menaikkan kadar kecantikannya.

Cendana refleks meninju pelan lengan Jati. "Bapak ada-ada aja, deh. Orang lagi tanya serius, juga."

"Saya juga serius, Dana."

"Ah, bilang aja Bapak senang digodain Bu Susi."

"Cemburu, ya?"

"Ih, Bapak kepedean."

Keduanya terbahak.

Meski terbahak bersama seperti ini, dan barusan hatinya menghangat karena Jati memenggal namanya sedemikian akrab, Cendana merasakan sesuatu yang janggal. Sikap Jati memilih menghindar memberikan alasannya jadi guru, membuat Cendana merasakan jarak perlahan-lahan kembali terbentang di antara mereka. Jati seperti menyimpan sesuatu yang belum saatnya dibagi dengannya.

***

Kenanga yang sedari tadi menunggu, langsung berdiri begitu melihat Jati mengayuh sepedanya memasuki halaman.

"Kamu dari mana aja?"

"Tadi ke toko buku dulu. Ada bahan ajar yang harus dibeli." Jati berucap sambil jalan setelah menurunkan kickstand sepedanya.

Melihat tatapan kesal Kenanga, Jati yakin, ada yang tidak beres hari ini. Tapi, apa? Cowok hitam manis itu mencoba meingat-ingat.

"Kamu beneran lupa, atau cuma pura-pura?" Kenanga tidak bermaksud, tapi suaranya naik satu oktaf.

"Maksudnya?" Jati mengernyit.

"Hari ini kamu ada latihan. Sepulang mengajar seharusnya kamu langsung ke studio, bukan malah ke toko buku dan hape di-non-aktifkan." Kenanga berucap cepat, membuat Jati heran. Tidak biasanya gadis itu emosional seperti ini.

"Astagfirullah!" Jati tepuk jidat. "Maaf, saya benar-benar lupa." Jati tidak bohong, ia memang lupa. Hapenya pun bukan sengaja dimatikan, tapi daya baterainya habis.

Kenanga menarik napas dalam-dalam, tampak berupaya menenangkan diri.

"Aku harap, ini yang pertama dan terakhir."

"Baik. Aku janji."

"Kamu masih serius memperjuangkan impianmu, kan?"

Jati mengangguk. "Pasti."

Kenanga menarik napas dalam sekali lagi.

"Kamu udah makan?" Karena tidak sengaja melihat bungkusan di atas meja, Jati refleks menggeleng demi tidak mengecewakan gadis yang tampak sedang kesal di depannya. Padahal dari toko buku tadi, ia dan Cendana mampir makan bakso sebelum pulang.

"Tuh, aku bawain makanan." Kenanga mengerling ke arah bungkusan yang sudah lebih dulu dilihat Jati. "Makan dulu baru istirahat." Meski masih agak ketus, Kenanga tidak tahan untuk tidak perhatian.

"Siap!" Jati memeragakan posisi hormat sambil tersenyum manis.

Baru kali ini respons Kenanga biasa-biasa saja. "Udah, ah. Aku balik dulu." Gadis itu langsung beranjak menuju mobilnya yang terparkir di luar pagar. Sikapnya membuat Jati heran. Ada apa sebenarnya? Tidak mungkin hanya gara-gara ia lupa jadwal latihan sekali, sikap lemah lembut gadis itu langsung hilang.

Alih-alih menemukan penyebab perubahan sikap Kenanga, Jati malah menyadari hal lain. Sudah sedemikian akut virus Cendana menjangkit seluruh sel otaknya. Ia bahkan sampai lupa jadwal latihan—salah satu hal terpenting—karena tengah bersama gadis itu. Jati kembali senyum-senyum sendiri teringat murid spesialnya itu.

***

[Bersambung]

Dear My Beloved Readers ....

Maaf, ya, part ini mengandung materi promo. Cuma mau ingetin, novel "My Real Boy" masih bisa kamu order lewat Tokopedia atau aplikasi berbelanja lainnya.


Makasih. 🙏

Salam santun. 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top