2 - Kenapa Harus Dia?
Jati bersimpuh di hadapan sebuah makam. Semarang sedang cerah hari ini. Menjelang sore pun sinar matahari masih saja terasa menggigit. Beruntung, sebatang pohon berdiri kokoh tak jauh dari posisi Jati, yang kerimbunan daunnya cukup untuk menghadirkan keteduhan.
Jati mengelus nisan bertuliskan nama ayahnya setelah selesai menabur bunga.
"Alhamdulillah, hari ini Jati berhasil mengabulkan harapan Ayah. Lamaran Jati diterima di sebuah sekolah swasta. Jati akan berusaha memberikan yang terbaik, agar Tuhan pun senantiasa memberikan yang terbaik. Seperti yang selalu Ayah bilang." Jati tersenyum getir, dengan sedikit genangan bening di sudut matanya.
Delapan bulan sejak ayahnya berpulang karena penyakit lever, Jati berjuang agar tak perlu merapuh lagi. Karena tak ada lagi nasihat dari beliau, ia harus mengingatkan diri sendiri, agar tidak salah langkah, agar tidak mudah terpengaruh oleh gemerlap dunia.
Jati mengayuh sepedanya meninggalkan kawasan pemakaman sambil mengenang saat-saat kebersamaan dengan almarhum ayahnya. Jati berjanji kepada diri sendiri untuk mencontoh beliau, perihal ketekunannya dalam bekerja, juga sikap tak pernah putus asa dalam kondisi seburuk apa pun. Karena itulah ia jadi guru, sesuai harapan beliau.
Memasuki pekarangan rumahnya, Jati langsung tersenyum kepada seorang gadis yang sedang menunggunya di teras.
"Habis dari makam ayahmu, ya?" tebak gadis bernama Kenanga itu setelah melihat kesenduan yang sudah sangat dihafalnya di wajah Jati.
Jati hanya mengangguk lalu duduk bersebelahan.
"Kok, nggak bilang-bilang?"
"Emang nggak direncanain. Mendadak lagi pengin mampir aja." Jati membuka dua kancing atas kemejanya, lalu meluruskan kaki sambil menghela napas panjang.
"Gimana rasanya jadi guru? Capek, ya?"
"Yah, begitulah. Kalau nggak capek bukan kerja namanya," jawab Jati tanpa menoleh. Tatapannya membentur ke langit-langit teras yang plafonnya dihiasi beberapa noda bekas rembesan air hujan.
"Kamu yakin ngajar di sekolah itu?"
Jati mengangguk, masih belum menoleh.
"Padahal aku bisa ngerekomendasiin kamu di yayasan teman papaku. Bayarannya pasti jauh lebih tinggi."
"Hanya orang-orang berpengalaman yang patut direkomendasiin. Pemula macam aku belum pantas di sekolah bertaraf internasional seperti itu. Makanya, untuk sekarang ini aku ngutamain pengalaman, bukan bayaran."
Kenanga menghela napas pasrah. Entah kapan cowok yang berhasil memenjarakan hatinya itu bersedia menyambut semua tawaran baiknya.
"Aku ke sini mau nunjukin ini." Gadis ber-dress selutut itu menyodorkan pamflet.
Jati meraihnya, lalu membacanya dengan seksama sambil manggut-manggut.
"Selain jadi guru, impian lain itu masih ada, kan?"
"Pastinya, dong!" Jati tersenyum lebar. Sesaat ia menoleh ke arah Kenanga, lalu kembali mengamati pamflet di tangannya.
"Oh ya, biar nggak terlalu capek, kamu mau, yah, ganti sepedamu dengan motor." Kenanga melirik sepeda sport warna merah yang terparkir di halaman.
Jati menegakkan punggung. "Justru sepeda itu yang bikin aku tetap bugar. Kalau bukan bersepeda ke mana-mana, aku nggak akan punya waktu khusus untuk berolahraga."
Kenanga tahu, itu hanya alasan. Mungkin Jati masih punya prioritas lain ketimbang mengganti sepedanya dengan motor. Andai tidak takut Jati tersinggung, jangankan motor, mobil pun dibelikannya.
"Waktu kuliah, okelah, kampusmu hanya 500 meter dari rumah. Tapi sekarang? Sekolah tempatmu ngajar jaraknya hampir tiga kilo, loh, dari sini." Kenanga sengaja menekankan beberapa kata.
"Itu belum seberapa, kok." Jati nyegir iseng.
Kenanga menggeleng samar. Sikap Jati yang memilih menolak dengan sopan semua kebaikan berupa materi darinya, membuat gadis berkulit putih bersih itu jatuh cinta sedemikian akut. Perasaannya sudah sampai pada titik tak peduli akan terbalas atau tidak. Bahkan secara tidak sadar ia sudah mengemis cinta cowok berkarisma itu dengan berbagai cara.
Bertemu Jati membuat Kenanga sadar, bahwa tipe cowok bak malaikat yang selama ini dikiranya hanya ada dalam novel dan film-film, ternyata masih ada di dunia nyata. Semua sikap langka yang tidak pernah ditemuainya di cowok lain, Jati memilikinya. Dan yang paling utama, Kenanga selalu merasa diperlakukan selayaknya perempuan bila bersama Jati. Meskipun sejauh ini Jati tak pernah menunjukkan tanda-tanda ketertarikan yang sama, Kenanga tetap memupuk perasaannya sedemikian sabar.
"Kamu sudah shalat Asar?"
Kenanga menggeleng.
"Shalat dulu, yuk!" Jati megambil anak kunci di kantong samping ranselnya, lalu beranjak membuka pintu.
Jujur, Kenanga shalat hanya bila bersama Jati. Selain itu, entah kenapa nuraninya belum terpanggil. Bukannya sok alim untuk menarik perhatian Jati, tapi lima menit diimami cowok hitam manis itu benar-benar menenangkan. Sering beribadah bersama menyadarkan Kenanga, bahwa Jati harus diperjuangkan dengan cara yang benar, nggak pakai aneh-aneh.
Kenanga bangkit dari duduknya, berdiri di belakang Jati menunggu pintu terbuka. Betapa memabukkannya sosok Jati di mata Kenanga. Punggungnya saja serupa memiliki daya gravitasi yang sewaktu-waktu bisa membuat gadis itu pura-pura tersandung demi merebahkan kepala di sana.
***
Tidak biasanya sepulang sekolah Cendana langsung rebahan tanpa mengganti seragamnya. Ini hari yang aneh dan berat menurutnya. Untuk pertama kalinya ada cowok yang berhasil membuat hatinya bergetar lembut, getaran aneh yang awalnya ia identifikasikan sebagai cinta, sebelum cowok itu malah muncul sebagai gurunya. Kenapa harus dia guru baru itu?
Tragis memang. Di saat seharusnya Cendana menikmati perasaan unik yang baru pertama kali menyinggapi hatinya, ia malah berjuang keras menyeretnya ke zona biasa saja. Yang tak perlu menumbuhkan rindu, terlebih gelisah sampai tak bisa tidur. Sungguh, Cendana tidak ingin hal itu terjadi. Betapa pun menariknya sosok Jati, ia tidak mungkin pacaran dengan guru. Mereka akan menemui kesulitan bila terjadi.
Cendana mengeluarkan lembaran kertas lusuh dari tas selempangnya. Ia mengamatinya sesaat, lalu meletakkannya di dada seperti yang sudah-sudah.
Cakka ... Kakak rindu.
***
Pukul enam lebih lima menit Cendana sudah siap dengan seragamnya. Ia bertemu Mama di ruang makan. Hanya Mama. Papa pasti belum pulang dari luar kota sejak terakhir Cendana melihatnya di rumah ini, seminggu yang lalu.
Cendana tidak berani berharap akan terciptanya suasana sarapan bareng yang hangat. Karena lihatlah, di meja makan pun Mama tetap sibuk dengan gadget. Padahal di telinganya sudah ada ponsel yang dijepit dengan pundak, yang terhubung dengan seseorang yang entah sepenting apa. Yang pasti menurutnya jauh lebih penting ketimbang meluangkan waktu sejenak untuk sarapan dengan Cendana, menanyakan kebutuhannya, kesibukannya di sekolah, atau apa pun yang bisa menampakkan hubungan mereka selayaknya ibu dan anak.
Cendana selalu berusaha memaklumi kesibukan Mama sebagai Finance Manager di salah satu perusahaan kontraktor sambil mengurus Event Organizer yang perkembangannya cukup pesat. Tapi hati kecilnya pun susah mengelak, bahwa ia butuh perhatian.
"Bibi bilang, kemarin kamu dijambret, ya?" tanya Mama tanpa mengangkat pandangannya dari gadget.
Cendana bergumam mengiyakan. Hal semacam itu seharusnya bisa ia ceritakan langsung. Tapi sampai Cendana ketiduran tadi malam, Mama belum pulang.
"Makanya bawa mobil. Sampai kapan, sih, kamu mau naik sepeda terus? Nggak capek, apa? Mama beliin mobil pakai uang, loh. Sama kamu malah dianggurin."
Cendana baru mau berucap ketika Mama sudah bangkit dari duduknya.
"Ya sudah, Mama berangkat dulu, ya. Mulai sekarang kamu harus lebih hati-hati."
Cendana merasa tidak perlu merespons apa-apa. Toh, Mama berucap tadi tanpa melihat ke arahnya.
Sesaat kemudian, dari luar terdengar deruman lembut suara mobil Mama yang kemudian benar-benar menghilang setelah bunyi klakson dua kali, pertanda minta dibukakan pintu gerbang oleh satpam. Setelahnya, suasana rumah berlantai tiga itu sempurna menguarkan kesepian dari segala arah, atmosfer yang sudah mengakrabi Cendana sejak dulu. Terlebih sejak kejadian yang membuatnya hidup dalam rasa bersalah.
"Mau Bibi temani sarapan, Non?" Perempuan paruh baya yang menyampirkan lap di pundaknya itu seolah paham betul perasaan majikan mudanya.
Cendana mengangguk seraya tersenyum. Apa-apa yang ia butuhkan selalu bisa dipenuhi Bibi. Ia harus bisa merasa cukup dengan semua itu.
***
Saat mengambil sepeda di garasi, Cendana sempat terdiam beberapa jenak memandangi sedan biru langit yang entah baru berapa kali dikendarainya. Sedan itu hadiah dari Mama di ulang tahunnya yang kemarin, tepat ketika ia sudah memperoleh KTP dan SIM.
Mengingat kejadian kemarin, Cendana sempat kepikiran untuk mengendarai mobil itu. Tapi ia tidak ingin kehilangan peluang untuk ketemu Jati. Membayangkan setiap detik mendebarkan namun berkesan bila bersepeda bareng cowok santun itu hingga tiba di sekolah, memantapkan hati Cendana untuk setia pada sepeda.
Di ruas jalan yang seolah sudah sehati dengan jejak ban sepedanya, Cendana sengaja mengayuh dengan pelan. Sesekali ia menengok ke belakang. Bukan mewaspadai penjambret, melainkan berharap sang pahlawan muncul, meski tidak sedang terjadi apa-apa.
Cendana sudah melewati lokasi munculnya penjambret kemarin, tapi Jati belum juga terlihat. Rumahnya di mana, ya? Cendana mulai murung dan sedikit kecewa. Ia memutuskan mempercepat laju sepedanya, tidak ingin terlambat hanya karena berharap sesuatu yang tidak pasti.
"Cendana ... tunggu!"
Deg!
Itu suara Jati.
***
[Bersambung]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top