10 - Makna di Balik Selembar Kertas Lusuh

"Ada apa dengan musik?" pancing Jati.

Cendana tidak langsung menjawab. Ia hanya terdengar menghela napas panjang.

"Bukan salah musik. Saya yang terlalu payah untuk bisa berdamai dengannya, masa lalu, dan rasa bersalah yang menyertainya."

Jati paham akan hal itu. Tapi rasa bersalah apa yang dimaksud Cendana? Kendati rasa penasarannya semakin merumpun, Jati tidak ingin tergesa-gesa mengorek terlalu dalam. Ia tidak ingin membuat gadis di sampingnya semakin tidak nyaman.

Tanpa terasa, langkah-langkah pelan mereka sudah mencipta jarak yang lumayan panjang dari kawasan Pasar Semawis. Mereka menyusuri emperan pusat pertokoan, ditemani derum pelan mesin kendaraan yang lalu-lalang. Keduanya tersadar saat tiba-tiba rintik hujan perlahan-lahan menyetubuhi malam. Tanpa pikir panjang, Jati menarik tangan Cendana, mengajaknya berlari-lari kecil menuju sebuah minimarket di seberang jalan, demi terhindar dari lumatan hujan.

"Perasaan, tadi bintangnya masih ceria," seloroh Jati sambil mengusap lengannya yang agak basah.

Cendana hanya tersenyum seadanya.

"Duduk, yuk!" Gerakan dagu Jati menunjuk sepasang kursi besi bertemankan meja bundar yang tertata di samping pintu masuk minimarket itu.

"Kamu tunggu bentar, ya. Aku mau beli minum dulu," pamit Jati setelah keduanya duduk berhadapan.

Cendana mengiyakan dengan anggukan.

Berselang beberapa menit, Jati muncul kembali membawa dua hot chocolate cup dan beberapa bungkus sandwich. Salah satu hot chocolate cup itu langsung disodorkan ke Cendana.

"Lumayan buat hangatin badan." Jati tersenyum sehangat hot chocolate yang baru saja diterima Cendana.

Baru hendak menyedot minuman hangat di tangannya, perhatian Jati teralihkan oleh kehadiran pemulung yang tergopoh-gopoh ikut numpang berteduh di pojok kanan teras. Perempuan paruh baya itu meletakkan karung berisi setengah botol dan gelas plastik bekas. Ia lalu cekatan memeriksa kondisi bayi dalam gendongannya, memastikannya tidak basah, meski pakaiannya sendiri hampir basah sempurna.

Ibu itu menepuk pelan pantat bayinya yang mulai rewel, sambil bersenandung lirih. Entah lagu apa. Namun, perpaduan suara hujan dan suara sang ibu, nyatanya ampuh menenangkan bayi itu. Sesaat kemudian, tangisnya tak terdengar lagi.

"Lihat, deh, betapa seseorang sebenarnya tidak bisa terlepas dari musik. Bayi itu berhenti menangis setelah mendengar ibunya bersenandung."

Cendana berhenti menyedot minumannya, setelah sadar apa yang sedari tadi diperhatikan Jati. Ia ikut menoleh ke pojok kanan teras. Melihat pemandangan penuh kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, bola mata Cendana tiba-tiba menghangat. Ia lupa pernah diperlakukan sama oleh mamanya. Yang ia ingat, Cakka yang selalu menghiburnya saat sedih.

Sebelum air matanya kembali bergulir, Cendana mengalihkan pandangan dari sana. Ia beralih pura-pura sibuk memerhatikan paper cup di tangannya.

Jati mengambil dua bungkus sandwich yang masih tersisa, lalu menghampiri pemulung tadi. Melihat sikap hangat Jati saat menyerahkan sandwich dan membalas ucapan terima kasih si pemulung sambil agak membungkukkan badan, sesuatu di sudut hati Cendana kembali bergetar hebat. Ah, cowok itu selalu menarik dalam kondisi apa pun.

"Hujan ini juga musik, nyanyian alam," pancing Jati lagi, setelah kembali duduk berhadapan dengan Cendana. "Bahkan suara ranting patah, derik engsel pintu, detak sepatu di lantai, semuanya bisa jadi musik. Jadi tidak semestinya kamu merasa tidak nyaman saat berhadapan dengan musik."

Cendana bukannya belum siap untuk cerita, tapi ia tidak tahu bagaimana harus memulainya. Akhirnya ia memilih bungkam.

Jati selalu berusaha memahami kondisi Cendana. Ia tidak akan memaksakan apa yang belum siap Cendana bagikan. Ia hanya ingin memastikan gadis di depannya baik-baik saja, dan suatu saat bisa kembali berdamai dengan musik.

"Balik, yuk, Pak. Nanti Ranum dan Jaka bingung nyariin." Cendana berucap setelah mengamati keadaan di luar. Hujan sudah reda.

"Yuk!"

Keduanya hendak bangkit ketika ponsel Cendana bergetar. WA dari Ranum.

Ranum: Sori, ya, gue pulang duluan. Mama udah kebelet banget pengin minum Jamu Jun. Lo nggak apa-apa, kan, pulang bareng Pak Jati?

Belum selesai Cendana membaca pesan Ranum, ponsel Jati juga bergetar. WA dari Jaka.

Jaka: Maaf, Pak, saya pulang duluan. Mama nelpon, katanya ada teman saya dari luar kota. Bapak tolong anterin Cendana pulang, ya.

"Yah, Ranum pulang duluan," keluh Cendana.

"Jaka juga pulang duluan," ungkap Jati sambil menahan tawa, setelah meyakini semua ini sudah direncanakan sejak awal oleh kedua anak itu.

"Ha? Kok, bisa?" Cendana mengernyit tak percaya.

Jati mengendikkan bahu dengan ekspresi dibuat-buat. "Ya udah, aku antar kamu pulang, ya."

Cendana tidak mengangguk, tapi juga tidak menggeleng.

"Kamu masih ada perlu di Pasar Semawis?"

Cendana menggeleng.

"Ya udah, kita pesan taxi online dari sini aja, ya."

Cendana mengangguk setuju. Sebenarnya ini kesempatan emas untuk menjalin keakraban lebih dengan Jati, tapi setelah kejadian di stan pisang plenet tadi, Cendana belum bisa terlalu banyak bicara.

***

"Ka, serius, nih, nggak apa-apa?"

"Udah, lo tenang aja."

Jaka dan Ranum berunding di salah satu stan. Mereka baru mau pulang setelah hujan sepenuhnya reda. Sebelum berpisah, Ranum kembali memperjelas rencana yang sebenarnya sudah Jaka jelaskan panjang lebar lewat telepon, sebelum masing-masing menyeret target ke pasar kuliner ini.

"Pokoknya, kalau sampai Cendana atau Pak Jati marah, lo yang tanggung jawab." Ranum masih tampak ragu untuk benar-benar meninggalkan Cendana.

"Beres!" Jaka sudah beranjak dari kursinya.

"Eh, jangan lupa deketin gue sama Ridho, ya." Ranum menyusul Jaka meninggalkan stan yang sedari tadi mereka jadikan tempat persembunyian dari Jati dan Cendana.

Jaka mempertemukan ujung jempol dan telunjuknya membentuk huruf O tanpa menoleh. Oke, katanya.

"Awas aja kalau nggak," ancam Ranum.

Memang tidak mudah mengajak Ranum bekerjasama dalam misi ini. Namun, setelah Jaka berjanji akan mendekatkannya dengan Ridho, sang ketua OSIS, gadis itu langsung bersedia tanpa perlu mengorek latar belakangnya terlalu jauh. Yang ia tahu, Cendana kelihatannya memang menyukai guru Matematika mereka.

***

Setelah taxi online yang mengantar mereka berlalu, Jati langsung mengeluarkan ponselnya. Ia bermaksud langsung memesan ojek online, setelah memastikan Cendana tiba di rumah dengan selamat.

"Bapak ada waktu mampir sebentar? Saya mau nunjukin sesuatu." Cendana berucap dari ambang pintu gerbang.

Kesibukan Jati pada ponselnya langsung terhenti. Ajakan barusan sungguh di luar dugaan, mengingat sikap Cendana yang masih terkesan tertutup sejauh ini.

"Boleh?" Kedua alis Jati terangkat.

Cendana mengangguk.

"Nggak apa-apa sama papa-mamamu?"

"Mereka belum di rumah jam segini."

"Kalau gitu, sebaiknya jangan, deh. Aku nggak enak."

"Bapak boleh izin dulu sama Bibi."

"Bibi?" Jati memastikan tidak salah dengar.

"Bibi lebih berhak ngasih izin siapa yang boleh saya bawa masuk ke rumah ini," tegas Cendana.

Meski merasa janggal, Jati tidak mempermasalahkannya lebih jauh. Ia tersenyum mengiyakan sambil mengantongi kembali ponselnya.

Setelah menemani Jati minta izin kepada Bibi untuk melihat-lihat apa yang akan ditunjukkannya, Cendana membawa Jati ke sebuah kamar. Melihat ornamen-ornamen khas cowok dalam kamar ini, Jati yakin, ini bukan kamar Cendana.

"Ini kamar Cakka, ya?" Jati langsung menyimpulkan. Ia kembali melihat-lihat setelah Cendana mengiyakan dengan anggukan. Ada banyak pernak-pernik berbau musik. Mulai dari jam dinding bermodel gitar, sofa tunggal berbentuk terompet, bed cover bermotif tuts piano, dan tak ketinggalan seluruh permukaan dinding yang dilapisi wallpaper bergambar not-not balok.

"Cakka selalu menghibur saya pakai gitar ini."

Jati yang tadinya memerhatikan salah satu dinding kamar yang dipenuhi poster musisi-musisi dunia, menoleh demi melihat gitar yang dimaksud Cendana. Jati mendekat dan langsung mengambil alih gitar akustik berwarna hitam itu. Secara naluriah, jemari Jati langsung memainkan melodi ringan.

"Bapak bisa main gitar?" Cendana tidak menyangka.

"Eh ...." Jati tersadar. "Dikit." Ia tersenyum aneh sambil meletakkan gitar itu di atas kasur.

Cendana beranjak menghampiri meja belajar di sudut ruangan. Sekembalinya, ia membawa selembar kertas lusuh yang langsung dikenali Jati.

"Jadi karena kertas ini, kamu sedemikian panik saat dijambret waktu itu?"

Cendana ikut duduk bersisian di tepi tempat tidur setelah Jati menerima kertas yang disodorkannya.

Melihat barisan kata membentuk bait yang dilengkapi not angka di bawahnya, Jati yakin, ini lirik lagu. "Kakak Terhebat", demikian judulnya.

"Itu lagu pertama dan terakhir yang berhasil Cakka ciptakan untuk saya, dihadiahkan di hari ulang tahun saya. Sungguh, itu jadi kado terindah yang pernah saya terima."

Jati bisa merasakan keharuan mengental di ucapan Cendana.

"Cakka pengin banget jadi musisi terkenal. Tapi keinginannya ditentang keras oleh Papa. Menurut Papa, musik tidak bisa menjamin masa depan. Papa ingin anak laki-lakinya jadi sosok yang bisa dibanggakan, yang memiliki strata sosial tinggi. Sedang di mata Papa, pemusik sama sekali tidak membanggakan."

Jati menyimak dengan seksama, berusaha menjadi pendengar yang baik.

"Terkadang saya merasa lucu, seringkali posisi Cakka lebih terasa sebagai kakak ketimbang adik." Cendana tertawa ringan, meski sudut matanya sudah digenangi air mata. "Ketika Papa-Mama seakan tak mau tahu lagi tentang kami, Cakka terkadang mengambil alih peran mereka." Kali ini Cendana tidak mampu menghalau getaran di suaranya.

"Ngomong-ngomong, Cakka kayaknya berbakat banget, deh. perpaduan not yang dipilihnya, keren, loh." Jati bermaksud mengalihkan suasana, pura-pura kembali mengamati kertas lusuh di tangannya.

"Emang, Bapak ngerti?"

"Dikit. Selebihnya asal nebak aja, sih." Lagi-lagi Jati tersenyum aneh. Ia mengembalikan kertas itu ke Cendana, sebelum kelepasan terlalu jauh.

***

[Bersambung]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top