1 - Guru Baru
"Jambret .... Tolong ... tolong ... tolong ...!" Cendana teriak sekencang-kencangnya, mengabaikan luka di siku karena terbentur di aspal.
Pulang-pergi sekolah Cendana selalu lewat di jalan itu, dan belum pernah kenapa-kenapa. Tapi pagi ini tiba-tiba saja lelaki bertubuh tinggi kurus menarik paksa tas selempangnya hingga ia kehilangan keseimbangan dan jatuh dari sepeda. Belum sempat Cendana menyingkirkan sepeda yang kini menimpa tubuhnya, si penjambret sudah tidak terlihat. Hal itu membuat gadis berseragam putih abu-abu itu panik, terlebih setelah teringat benda penting di dalam tas biru pucat kesayangannya itu.
Cendana mengedarkan pandangan, berharap seseorang memberikan pertolongan. Namun sepagi ini jalanan masih lengang, dan pergerakan penjambret itu teramat gesit. Cendana mulai menangis. Rasanya terlalu berat untuk mengikhlaskan tas beserta isinya itu hilang begitu saja. Ia ingin mengejar. Tapi selain berbahaya, ia sama sekali tidak tahu harus mengejar ke arah mana.
Dalam sedu sedan, pemilik tahi lalat di dekat bibir itu bangkit beserta sepedanya. Ia membersihkan sisi kiri tubuhnya yang berdebu karena jatuh terbaring dalam posisi menyamping. Ia melirik darah segar yang menghiasi luka di sikunya sebelum mulai berjalan menuntun sepedanya. Ia memilih tidak mengendarainya dalam kondisi masih shock.
Setelah beranjak beberapa meter dari posisi jatuhnya tadi, langkah Cendana dihadang oleh seorang cowok yang tiba-tiba menghentikan sepedanya dengan posisi melintang. Karena baru saja menjadi korban kejahatan, wajar jika Cendana tersentak hingga mundur beberapa langkah.
"Jangan takut. Aku hanya ingin balikin ini." Cowok berkemeja putih yang lengannya digulung hingga siku itu menyodorkan tas selempang berwarna biru pucat. Napasnya agak tersengal. Dadanya naik turun dengan cepat.
Cendana menurunkan kickstand sepedanya lalu mendekat untuk menerima tasnya. Ia lekas memeriksa isinya, lalu tampak sangat lega setelah menemukan selembar kertas yang memiliki banyak bekas lipatan dan tampak lusuh. Cendana mendekap kertas itu seraya menarik napas panjang-panjang, pertanda betapa berharganya benda itu untuknya.
"Terima kasih. Terima kasih. Terima kasih!" Cendana berucap kepada cowok yang telah menyelamatkan tasnya sambil membungkuk.
"Sama-sama. Untung masih keburu," balas cowok hitam manis itu setelah meredam rasa heran melihat gadis di depannya yang tampak sangat peduli pada selembar kertas lusuh, sampai-sampai ucapan terima kasihnya berkali-kali. Melihat kepanikan Cendana saat memeriksa isi tasnya tadi, anggapan cowok itu benda berharga semacam ponsel atau dompet yang dipastikannya, tahu-tahunya hanya selembar kertas.
"Lain kali lebih hati-hati kalau lewat sini."
Cendana hanya mengangguk. Ia mengembalikan kertas tadi ke dalam tasnya, lalu berbalik menghampiri sepedanya.
"Tunggu!" Suara cowok itu sempurna mengunci langkah Cendana.
Cowok itu mendekat setelah Cendana memutar badan.
"Sikumu berdarah."
Cendana bahkan lupa dengan luka itu. Yang penting tasnya sudah kembali. Ia memeriksanya ketika cowok itu sudah mengeluarkan tisu dan plester luka dari ransel abu-abunya. Tanpa permisi cowok itu meraih lengan Cendana, menyeka darah di sikunya, lalu memasanginya plester luka. Sepanjang proses itu Cendana punya peluang memerhatikan lekuk wajah cowok itu dalam-dalam. Alisnya tebal. Rahangnya tegas. Hidungnya memang tidak terlalu mancung, tapi pas untuk ukuran cowok. Dan bibirnya ... entah bagaimana harus membahasakannya. Tahu-tahu Cendana ingin menatapnya lebih lama. Sayang, kesibukan cowok itu dengan sikunya tak sampai semenit.
"Kalau dibiarin takutnya infeksi." Cowok itu berucap sambil mengembalikan sisa tisu ke ranselnya.
"Terima kasih."
"Sama-sama." Cowok itu tersenyum manis. Ralat, terlampau manis untuk sepagi ini, membuat Cendana kesulitan menarik napas hingga wajahnya terlihat aneh. Sepanjang cowok itu tersenyum, jantung Cendana berdetak aneh, belum pernah semisterius ini. Hatinya mendadak berbunga-bunga. Ada apa ini?
"Ya udah. Aku duluan, ya." Kalimat pamit cowok itu mengangkat Cendana dari perasaan entah yang membuat damai seolah berpusat padanya di sepersekian menit sebelumnya.
Cendana hanya mengangguk seraya tersenyum.
Setelah cowok bercelana bahan itu mengayuh sepedanya dan mulai menjauh, Cendana baru kepikiran untuk menanyakan namanya. Tapi ... ah, sudahlah. Kini ia hanya bisa memandangi punggung pahlawannya semakin menjauh, dan menikmati sensasi yang ditimbulkan oleh sikap melindungi dan penuh perhatiannya.
***
"Gue pikir lo nggak masuk. Tumben banget datang di menit-menit krusial." Ranum, teman duduk Cendana, berucap sambil menyiapkan buku dan alat tulis untuk pelajaran pertama.
"Tadi ada jambret."
"What? Terus, apanya yang diambil? Lo nggak diapa-apain, kan?" Ranum dibekuk rasa khawatir, matanya melotot.
Cendana hanya menggeleng seraya tersenyum, membuat Ranum mengernyit.
"Kenapa lo malah senyum-senyum?"
"Untung ada dia." Senyum Cendana melebar saat terbayang wajah cowok tadi. Kalau Tuhan memepertemukan mereka lagi, Cendana pastikan akan mengajaknya kenalan.
"Siapa?" Melihat ekspresi bahagia di wajah orang yang habis dijambret, membuat Ranum bertanya-tanya.
Niat Cendana untuk cerita soal cowok itu urung, ketika Pak Hasan—wali kelas mereka—masuk bersama seseorang.
Kelas yang tadinya gaduh mendadak senyap.
"Selamat pagi."
"Selamat pagi, Pak," jawab mereka serentak.
"Hari ini sekolah kita kedatangan guru baru yang akan mengajar Matematika di beberapa kelas, salah satunya kelas ini. Untuk perkenalan lebih lanjut, saya persilakan langsung kepada Pak Jati."
Orang bernama Jati maju selangkah kemudian menyapu pandang wajah siswa-siswi di depannya. Ia langsung memberi salam dan mulai perkenalan singkat di hari pertamanya bergabung di SMA Nusa Bangsa.
"Perkenalkan, nama saya Jati Andreas Siregar. Selama berada di lingkungan sekolah kalian bisa memanggil saya Pak Jati, tapi kalau ketemu di luar, terserah. Mau pakai pak atau nggak, nggak masalah. Saya harap kita bisa saling membimbing, dan menciptakan banyak hari yang patut dikenang."
Tanpa Jati sadari, senyum manis yang ia tebar sejak tadi membuat cewek-cewek dalam kelas itu meleleh. Mereka menyimak dengan antusias kata per kata yang diucapkan guru muda menawan itu. Banyak yang hampir tidak mampu mengalihkan pandangan sedetik pun.
"Ganteng banget, ya," bisik Ranum di telinga Cendana.
Cendana yang melongo ke depan kelas tidak merespons. Bukan saking melenakannya wajah guru baru itu, tapi ia masih belum bisa percaya, bahwa sosok pahlawannya sekarang malah jadi gurunya. Ya, Jati adalah cowok bersepeda itu, cowok pertama yang berhasil menyentuh sisi langka di hati Cendana yang belum pernah terjamah selama ini. Karena berusaha mengelak fakta itu, membuat Cendana masih mematung hingga kini.
Peredaran tatapan Jati dalam upaya mengenali wajah-wajah penghuni kelas pertamanya ini tiba-tiba terhenti di satu titik, saat manik matanya menemukan wajah tirus yang dihiasi tahi lalat di dekat bibir. Wajah itu pasti jauh lebih cantik jika tidak digelayuti sesuatu yang membuatnya kurang akrab dengan senyum. Namun bukan hal itu yang membuat Jati memerhatikannya hingga menumbuhkan kerutan halus di dahinya. Jati yakin, siswi yang sekarang salah tingkah karena ditatapnya lama-lama adalah cewek yang ditolongnya tadi pagi, yang merasa selembar kertas lusuh jauh lebih berharga dari semua isi tasnya.
Cendana lekas mengeluarkan buku pelajarannya ketika tiba-tiba tatapan Jati berlabuh di matanya. Ia membuka asal halamannya dan pura-pura tekun membacanya. Dadanya sesak tak beraturan. Saat pahlawannya mengayuh sepeda dan menjauh sebelum mereka sempat kenalan, Cendana berdoa lirih agar suatu saat bisa bertemu lagi dengannya. Tapi tidak secepat ini, terlebih harus hadir sebagai gurunya.
Terdengar suara Pak Hasan pamit dan mempersilakan Jati untuk memulai pelajarannya. Cendana belum berani menegakkan kepala, takut tatapan Jati belum bergeser darinya.
Jam pelajaran berlangsung. Dalam hati Jati bergumam, ternyata seperti ini rasanya jadi guru. Jujur, Jati belum menemukan feel-nya. Namun pengalaman pertamanya ini tidak terlalu buruk.
Matematika adalah pelajaran favorit Cendana, namun tidak kali ini. Kejadian yang berlangsung cepat sebelum ini memenuhi benaknya, membuatnya tidak fokus. Diam-diam ia memutar kembali kejadian tadi pagi mulai dari bangun tidur. Mungkin ada bagian yang hanya halusinasi. Hal itu dipicu rasa tidak rela menemukan pahlawannya berwujud guru dalam kelas ini.
***
Beberapa meter dari tempat biasa ia memarkir sepedanya, langkah Cendana memelan melihat ada sepeda lain di sana. Karena di sekolah ini tidak ada murid lain yang manggunakan sepeda, Cendana yakin, itu sepeda Jati. Karena itu Cendana mempercepat langkahnya, bermaksud segera meninggalkan sekolah itu sebelum Jati muncul. Namun, hampir bersamaan setelah Cendana meraih stang sepedanya, Jati pun tiba mengambil alih sepeda di sebelahnya. Lagi-lagi hati Cendana bergetar lembut.
"Ternyata markir sepeda harus di sini, ya?"
Cendana hanya mengangguk samar lalu beralih pura-pura membenahi posisi tas selempangnya.
"Tadinya aku markir asal dekat pos satpam. Kayaknya satpam yang mindahin ke sini. Pake nggak bilang, pula. Aku sampai bingung nyariin." Jati tertawa renyah, bermaksud mencairkan suasana. Sebenarnya ia ingin mengobrol banyak dengan Cendana, tapi gadis itu malah kelihatan tidak nyaman.
"Kamu emang pendiam, ya? Tadi aku perhatiin di kelas, kamu juga jarang ngomong."
Cendana hanya tersenyum datar.
"Oh ya, lukanya gimana?"
"Udah nggak apa-apa. Sekali lagi terima kasih, Pak, atas bantuannya." Sama seperti tadi pagi, Cendana berucap sambil membungkukkan badan.
Sudah sewajarnya seseorang sedemikian sopan pada gurunya, tapi menurut Jati gadis di depannya itu terlalu kaku. Ia lebih suka bicara dengan seseorang sambil bertatapan.
"Kayaknya kita searah, deh. Pulangnya barengan aja, yuk!"
Deg!
Bagaimana ini?
Otak Cendana langsung berputar cepat mencari bahan penolakan.
"Maaf, Pak, tapi hari ini saya nggak langsung pulang, mau mampir ke suatu tempat dulu."
"Oh gitu. Ya udah, aku duluan, ya."
Setelah Jati mengayuh sepedanya hingga melewati gerbang, Cendana mengutuk kebodohannya. Kenapa juga harus menghindar?
***
[Bersambung]
Dear My Beloved Readers ....
Part pertamanya gimana? Ada yang langsung naksir juga sama Jati?
Sampai jumpa di part selanjutnya, ya.
Salam santun.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top