Part 8-9 Baru dimulai
Part 8 Baru Dimulai
Calia tak mengatakan apa pun untuk menyangkal tuduhan tersebut. Ia membuang wajahnya ketika tatapannya sempat bertemu dengan Lucius.
"Kita bicara di luar, Ma." Lucius memegang lengan sang mama, berbicara dengan nada setenang mungkin.
"Apa?" Mata Vania mendelik tak percaya. "Kau tak mendengar dengan baik apa yang mama katakan, Lucius." Tangannya menunjukan ke arah Vania. "Dia berusaha mendorong mama ...."
Lucius mendesah kasar. "Aku melihat semuanya, Ma. Dan aku bukan anak kecil untuk menelaah apa yang terjadi tepat di depan mataku."
Mulut Vania menganga, kehilangan kata-kata tertangkap basah telah berbohong. Tak mau dipermalukan di hadapan Calia, ia bersikeras membela diri. Menunjukkan pergelangan tangannya. "Dia mencengkeram tangan ..."
"Kita pergi."
Vanie menggeleng, kali ini tak ada lagi sandiwara yang mendramatisir, tetapi emosi yang sesungguhnya terhadap Calia. Kebencian dan kemarahan. "Aku tak akan menerinya kembali ke rumah kita. Tak akan pernah, Lucius."
Rahang Lucius mengeras, bibirnya menipis tajam. Menahan kemurkaan yang siap meluap tetapi harus ia tahan. "Kita pergi. Sekarang."
"Tidak. Urusan mama belum selesai dengannya." Vania menyentakkan tangan Lucius yang menggenggam pergelangan tangannya.
Lucius kembali menangkap pergelangan tangan sang mama yang baik-baik saja, membawa wanita paruh baya tersebut berjalan meninggalkan Calia yang masih membuang wajah dari mereka berdua.
Sampai keduanya turun ke lantai satu, menyeberangi lobi yang luas masih dengan langkah Lucius yang besar-besar hingga membuat sang mama nyaris terserimpet kedua kaki. Keduanya berhenti di halaman rumah sakit, Lucius sengaja mencari tempat yang cukup lengang agar keduanya bisa bicara dengan benar.
"Sekali lagi jika mama membuat keributan tak berarti seperti ini, aku tak akan tinggal diam. Dan lagi ... aku tak butuh ijin dari mama untuk membawa istri dan anakku untuk kembali ke rumah."
"Kau tak tahu kenekatan apa yang mungkin akan mama lakukan jika kau membawa wanita pembawa sial itu kembali ke rumah." Vania benar-benar sudah kehilangan akal untuk menentang kebutaan Lucius terhadap wanita sialan itu. "Sampai kapan pun, mama tak akan menerima dia sebagai menantu mama."
"Mama tak perlu menerimana. Hanya perlu tahu kalau Calia masih dan akan tetap menjadi istriku."
"Apakah dia lebih penting dibandingkan dengan nyawa mama?"
Lucius mendesah keras. "Baiklah. Aku tak akan membawa mereka ke rumah. Aku yang akan keluar dari rumah."
"Apa?"
"Hanya itu pilihan mama." Lucius megakhiri perdebatan begitu sopir yang membawa mobilnya berhenti tepat di samping Vania. "Bawa mamaku pulang," perintahnya sebelum berbalik dan berjalan masuk ke dalam lobi rumah sakit. Meninggalkan sang mama yang masih tercengang dengan ancamannya.
Begitu sampai di lantai lima, ia melihat Calia yang sedangn berbicara dengan ponsel menempel di telinga.
"Apa dia sudah tenang?" Calia mengangguk sekali. "Kalau begitu biarkan Zaiden yang membujuknya. Katakan aku akan menjemput mereka siang nanti dan kami akan pergi ke rumah sakit bersama."
Calia mendengarkan Caleb yang menyampaikan pesannya pada Zsazsa. Dalam sekejap suara rengekan Zsazsa tak terdengar lagi. Ia pun mendesah lega.
'Dia ingin bicara denganmu.'
"Hai, sayang." Suara Calia berubah lebih lembut. "Ya, Mama janji. Sekarang berikan ponselnya pada paman. Paman harus segera berangkat ke kantor. Oke?"
Helaan napas Caleb terdengar dari seberang, mengucapkan sampai jumpa dan Calia mengakhiri panggilan. Saat berbalik, ia terperanjat dengan keberadaan Lucius yang begitu dekat, nyaris membuat wajahnya menabrak dada bidang pria itu.
"Apakah Zsazsa rewel?" tanya Lucius.
Calia tak menjawab, kerutan samar membentuk di keningnya akan pertanyaan Lucius yang terkesan begitu akrab dengan putrinya. Padahal pria itu dan Zsazsa baru bertemu kemarin.
"Jam berapa mereka pulang?"
"Aku sudah mengurusnya," jawabnya kemudian melewati Lucius.
Lucius menangkap pergelangan tangan Calia. Membawa wanita itu kembali menghadapnya dengan ujung bibir yang menyeringai menatap keacuhan Calia. "Kau tak menjawab pertanyaanku, Calia."
"Jam berapa mereka pulang, itu sama sekali bukan urusanmu, Lucius."
Bibir Lucius menipis, cengkeramannya pada pergelangan tangan Calia mengencang. Kemudian menyentakkan tangan Calia hingga tubuh wanita itu membentur tubuh besarnya. "Kau tahu bukan itu jawabannya, istriku."
Napas Calia tertahan, wajahnya terdongak dan wajah Lucius tertunduk dalam. sehingga jarak di antara wajah merek cukup dekat. Calia bahkan bisa merasakan napas berat pria itu yang berhembus di wajahnya, menunjukkan sebatas apa kesabaran yang pria itu miliki. "Jam 1," jawabnya kemudian dengan suara yang bergetar. Menarik tubuhnya menjauh dan memelintirkan lengannya hingga terbebas dari cengkeraman Lucius.
"Kalau begitu aku yang akan menjemput mereka."
"Apa?" Calia baru saja akan menjawab kalau Lucius tak perlu repot hingga mengganggu pekerjaan pria itu. Tapi baru tersadar kalau Lucius mengenakan pakaian santai.
"Sekalian aku akan mengurus kepindahan mereka."
"Apa?" Sekali lagi Calia tercengang dengan pernyataan tersebut. "Kau tak bisa memindahkan mereka sesuka hatimu, Lucius. Kau harus bicara dengan mereka. Mereka butuh adaptasi dengan lingkungan baru ..."
"Oke. Aku akan membujuk mereka," penggal Lucius penuh keyakinan. Alih-alih bicara, Lucius memilih kata membujuk. Yang artinya pria itu akan melakukan apa pun agar ketiga kembar setuju untuk dipindahkan. Khas Lucius yang Calia kenal.
"Dan, aku juga akan memindahkan Zayn ke rumah sakit yang lebih besar dengan fasilitas yang lebih memadai. Aku sudah bicara dengan dokter pribadi keluarga mengenai tentang penyakitnya. Dia akan membantu bicara dengan dokter spesialis. Sekarang, bawa aku pada dokter yang menanganinya untuk membawa rekam medisnya."
Mulit Calia sudah membuka hendak membantah bahwa Lucius tak bisa semena-mena melakukan hal ini. Namun, ini mengenai Zayn dan kali ini apa yang dikatakan oleh Lucius adalah demi kebaikan sang putra, maka Calia pun menutup mulutnya.
Setelah keheningan yang sempat menyelimuti keduanya, Lucius menatap lursu kedua mata Calia dan bertanya dengan keseriusan yang lebih kental. "Jadi, apakah kau akan ikut bersama kami?"
Calia tak menjawab. Dan bagaimana mungkin ia bisa menjawab ketika beberapa saat yang lalu mama mertuanya menamparnya dan masih menentang garis keras akan dirinya sebagai istri Lucius Cayson.
"Mama akan menjadi urusanku," tambah Lucius menangkap kegamangan di wajah Calia. Menatap pipi Calia yang masih memerah oleh bekas tamparan sang mama.
"Kenapa aku harus kembali?"
Ujung bibir Lucius menyeringai. "Pilihanmu hanya ada dua, Calia. Ikut bersama kami atau tidak. Jika tidak, maka jangan pernah muncul lagi di hadapan kami. Dan kau tak perlu mengkhawatirkan anak-anak. Aku akan memastikan mereka mendapatkan yang terbaik untuk hidup mereka. Kau hanya perlu menyaksikan mereka tumbuh besar dari kejauhan, tanpa menampakkan dirimu."
Bibir Calia menipis, menatap Lucius dengan kemarahan sekaligus keputus asaan. "Dan kau tak akan pernah menceraikanku."
Seringai Lucius naik lebih tinggi. "Ya, itu hukuman untuk pengkhianatan yang telah kau lakukan padaku. Delapan tahun yang lalu."
Part 9 Tak Pernah Punya Pilihan
'Hentikan, Lukas.' Calia memiringkan wajahnya ke samping, membuat bibir Lukas mendarat di pipinya. Dan menyadari penolakan Calia, kedua mata pria itu terpejam. Masih dengan wajah yang saling menempel.
'Kenapa? Kau sudah tak mencintaiku?'
'Ini tidak benar.'
'Tidak pernah ada yang benar dengan cinta kita, Calia. Lucius yang merebutmu dariku.'
Mata Calia mengerjap ketika kenangan tersebut muncul di benaknya. Calia terdiam. Pengkhianatan tersebut tak sepenuhnya ada, tapi juga tak benar-benar menjadi sebuah pengkhianatan.
Ia menatap keseriusan di wajah Lucius yang menunggu jawabannya. Ya. Sejak ia kembali ke hidup Lucius, ia memang tak pernah punya pilihan bukan. Menghadapi kebencian Vania Cayson bukanlah apa-apa dibandingkan dengan kehilangan ketiga buah hatinya di saat yang bersamaan, kan?
Kepala Calia mengangguk pelan, menciptakan senyum kemenangan di bibir Lucius. Kemudian pria itu menangkap pinggangnya dan menyambar satu ciuman di bibirnya.
***
Hanya butuh satu hari bagi Lucius untuk mengurus semuanya. Mulai dari kepindahan rumah sakit Zayn, tetapi juga sekolah Zsazsa dan Zaiden. Siang itu, tepat setelah menyuapi Zayn, Lucius datang dengan Zsazsa dan Zaiden. Begitu melihat Zayn yang sudah bangun, Zsazsa dengan penuh semangat menarik lengan Lucius mendekati ranjang pasien Zayn dan memperkenalkan Lucius.
Zayn tak kalah terkejutnya, tetapi begitu mengamati penampilan fisik Lucius ditambah kekosongan sosok seorang ayah. Lagi-lagi Lucius berhasil mendapatkan hati Zayn dengan mudah. Calia hanya terduduk di ujung ranjang pasien Zayn, Lucius duduk di samping ranjang. Mengenggam lembut tangan Zayn yang ditempeli jarum infus. Di sampingnya kanan dan kiri pria itu berdiri Zsazsa dan Zaiden yang dengan penuh semangat melontarkan seberapa banyak kemiripan ketiganya dengan Lucius.
"Sekarang kau merasa bahagia, kan?" celetuk Zsazsa kemudian. "Jadi sekarang kau harus sembuh. Agar kita bisa berenang bersama lagi."
"Zayn tidak bisa berenang, Zsazsa." Zaiden memperingatkan.
"Papa bilang akan menyembuhkan Zayn. Jadi dia bisa belajar berenang denganku, kan?"
Zayn tersenyum dengan bibirnya yang pucat. "Apakah papa akan meninggalkan kami lagi?" Tiba-tiba bocah itu mengalihkan perhatiannya pada Lucius.
Lucius merangkum wajah pucat Zayn dengan hati-hati. Kemudian mengelusnya dengan lembut dan menggeleng. "Maafkan papa baru kembali sekarang. Sekarang, kita akan selalu bersama. Papa tak akan meninggalkan kalian semua."
Senyum yang melengkung di bibir pucat Zayn semakin tinggi. Begitu pun dengan Zsazsa yang bersorak bahagia sementara Zaiden hanya tersenyum lebih semringah. Kebahagiaan yang diluapkan Zsazsa sudah cukup mewakili perasaannya.
"Jadi, berjanjilah pada papa agar cepat sembuh, ya?"
Zayn mengangguk pelan. Kemudian menatap sang mama yang duduk di ujung ranjang. Calia yang memahami isyarat tangan sang putra pun segera mendekat. Membiarkan sang putra mengambil tangannya dan menumpukkannya di atas punggung tangan Lucius.
"Sekarang kita memiliki mama dan papa," ucap Zsazsa mewakili Zayn suaranya tak bisa lebih kuat dari sang adik bungsu.
***
Esok harinya, setelah Zayn dipindahkan di Jovlin Medical Center. Calia merasa sedikit tenang dengan dua perawat yang membantunya menjaga. Jadi pagi-pagi sekali sebelum Zayn terbangun, ia pulang ke rumah untuk mengurus Zsazsa dan Zaiden sebelum Caleb membawanya pergi ke sekolah. Sehingga sang kakak tidak harus terlambat pergi ke kantor seperti biasanya.
Ia menutup pintu apartemennya setelah Caleb membawa kedua buah hatinya. mengambil semua pakaian kotor dan memasukkannya ke dalam mesin cuci. Berlanjut membersihkan dapur dan ... tiba-tiba suara bel menghentikan kegiatannya yang tengah mencuci piring.
Calia bergegas membersihkan tangannya dan beranjak menuju pintu meski bertanya-tanya siapa yang datang sepagi ini.
"Lucius?" Calia terkejut menemukan Luciuslah yang berdiri di depan pintu apartemennya. Dan bagaimana pria itu menemukan tempat ini jelas bukan pertanyaan yang tepat. Jika Lucius mau, pria itu memang bisa menemukan dirinya di mana pun. Selama ini, pria itu tidak pernah menemuinya karena memang tak ingin tahu tentangnya.
"Bolehkah aku masuk?" Lucius memiringkan tubuhnya dan berjalan melewati Calia tanpa merasa perlu menunggu jawaban. Hanya butuh beberapa langkah untuk berhenti di tengah ruangan yang sempit tersebut. Dapur terlihat di sisi kanan dengan satu pintu kamar mandi. Di sisi lain ada dua pintu yang ia yakini adalah kamar tidur. Satu untuk Calia dan satunya pasti untuk ketiga kembar. Dengan ambang pintu yang terjemblak terbuka, ia bisa melihat kasur bertingkat di sisi kanan dan kasur lainnya di sisi kiri. Merasa prihatin membayangkan ketiga anaknya harus hidup di tempat sesempit ini selama tujuh tahun lamanya.
"Kenapa kau ke sini, Lucius?" Pertanyaan Calia mengalihkan perhatian Lucius dari kamar si kembar.
Lucius memutar tubuhnya menghadap Calia. Wanita itu tampak kelelahan dengan beberapa helai rambut yang basah menempel di sekitar wajah. Juga ujung lengan bajunya yang basah. Saat pandangannya beralih pada dapur, ia bisa melihat peralatan makan yang masih dilumuri sabun karena belum sempat dibilas. Kehidupan macam apa yang sebenarnya wanita itu jalani selama delapan tahun ini? Seharusnya ia merasa bahagia dengan hidup Calia yang menyedihkan ini. Namun, kenapa hatinya juga ikut teremas.
"Aku sudah membawa beberapa orang untuk mengemas barang-barangmu. Tapi ... sepertinya tidak ada apa pun di sini yang bisa kau bawa." Lucius mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang bahkan tak lebih luas dari kamar tamu di rumahnya ini.
"Apa?"
"Ya, mulai malam ini kalian akan pulang ke rumah."
"Apakah harus secepat ini?"
"Lalu apakah ada yang harus ditunggu?"
Calia terdiam. Sejenak kehilangan kata-kata ketika menatap wajah Lucius yang tak membutuhkan jawaban apalagi bantahan darinya.
"Apakah masih ada yang ingin kau tunggu?" Lucius mengulang pertanyaannya.
"Aku tak bisa meninggalkan tempat ini begitu saja, Lucius." Suara Calia lebih rendah.
"Kau ingin aku yang membuatnya bisa?" Salah satu alis Lucius terangkat. Ujung bibirnya berkedut. Ia benar-benar tak tahan melihat Calia berada di tempat ini lebih lama lagi. Bahkan ia tak akan membiarkan salah satu dari ketiga kembar menginjakkan kaki di tempat kumuh ini lagi. Dadanya terasa sesak. Oleh sempitnya tempat ini sekaligus oleh emosi yang bergejolak di dadanya.
Calia mendesah pelan. Tak akan menang mendebat ketegasan Lucius yang sudah memekat di wajah pria itu. "Beri aku waktu satu jam. Aku harus mengemas beberapa berkas penting dan memilahnya. Atau setidaknya setengah jam."
Lucius tampak mempertimbangkan sejenak. Kemudian mengangguk sekali dan duduk di sofa panjang yang warna coklatnya sudah memudar.
Calia pun berjalan ke kamarnya dan mengambil koper kecil yang ada di atas lemari dan mulai memilah beberapa berkas penting di dalam lemari dan lebih banyak yang ada di meja kerjanya.
Gerakannya tiba-tiba terhenti ketika menemukan benda berkilau di sudut laci terbawahnya. Ia mengambil dan menatap cincin pernikahannya dan Lucius yang entah bagaimana bisa ada di sana.
Apakah ia harus membawanya juga?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top