Part 18 Pengakuan
Part 18 Pengakuan
Setelah menyiapkan pakaian ganti untuk Lucius, Calia gegas pergi ke kamar si kembar untuk memastikan kedua buah hatinya tersebut sudah bangun dan bersiap ke sekolah. Rupanya dua pengasuh yang dipekerjakan oleh Lucius melakukan tugasnya dengan baik. Membangunkan Zsazsa dan Zaiden dan saat ia muncul, kedua anaknya sudah rapi dengan seragam baru mereka. Begitu pun dengan peralatan sekolah mereka. Mulao dari sepatu, tas, dan semua kebutuhan keduanya.
Zsazsa menyambutnya dengan riang dan memeluknya. Sedangkan Zaiden terlihat tenang seperti biasa. Memegang tangan sang mama dan ketiganya pun turun untuk bergabung di meja makan. Kecuali Lucius, semua orang di rumah ini sudah duduk di kursi masing-masing. Termasuk Divya dan adik perempuan Lucius, Leana. Keduanya tampak kompak menatap kemunculannya dengan raut tak suka. Ya, Leana dan Divya memang berteman sejak kecil. Alasan yang bagus bagi Leana untuk tidak menyukainya.
Sejenak pandangannya bertemu dengan Rhea dan Lukas yang duduk di samping Cailey sebelum duduk di kursinya. Meja makan diselimuti keheningan, karena keberadaannya. Tetapi Calia sudah terbiasa dengan suasana semacam ini. Zsazsa dan Zaiden pun tampaknya beradaptasi dengan baik. Vania dan Leana bersandiwara dengan baik di hadapan keduanya. Hanya itu yang ia butuhkan.
Satu jam kemudian, ia duduk jok belakang yang membawanyanke rumah sakit. Langsung naik ke ruang perawatan Zayn.
"Kau datang?" Lucius menutup berkas di tangannya dan memberikannya pada wanita muda yang berdiri di depan meja.
Calia menutup pintu di belakangnya, melihat meja yang dipenuhi beberapa tumpukan berkas. Membalas sapaan wanita muda yang ia kenali sebagai salah satu sekretaris Lucius ketika mendatangi pria itu di kantor.
"Ini pakaian ganti yang kau minta." Calia meletakkan kantung pakaian yang dibawanya di ujung sofa panjang. Kemudian berjalan ke ranjang pasien, melihat Zayn yang tertidur.
"Dia baru saja kembali tidur setelah minum obat," beritahu Lucius.
Calia mengangguk. Meletakkan tasnya di meja kecil dan dengan hati-hati merapikan selimut Zayn. Kemudian duduk di kursi, menatap wajah Zayn yang pucat meski kedua ujung bibir sang putra melengkung membentuk sebuah senyuman.
Ia mendengar Lucius memberikan beberapa intruksi dengan jadwal pertemuan pada si sekretaris, juga perintah untuk menghubungi nama yang disebutkan untuk memeriksa kembali berkas. Setelah selesai, si sekretaris berpamit pergi dan Lucius berjalan mendekati Calia.
"Kau tidur nyenyak?" tanya Lucius menyandarkan tubuhnya di ranjang dan menundukkan wajah ke arah Calia dengan tangan bersidekap di depan dada.
Calia menelan ludahnya, kepalanya berputar perlahan dan membalas tatapan Lucius tanpa jawaban. Entah apa yang diinginkan pria itu dari pertanyaan tersebut.
Ujung bibir Lucius menyeringai. "Baguslah kalau kau tidur dengan nyenyak. Karena itu memang tempatmu."
Calia tak membalas apa pun. Melihat mata Lucius yang sedikit merah, sudah pasti pria itu hampir tidak tidur semalaman. Apalagi dengan banyaknya berkas di meja. "Mandilah. Kau harus pergi ke kantor, kan?"
Lucius tersenyum tipis. Mengangguk sekali kemudian membungkuk untuk mendaratkan satu kecupan singkat di bibir sang istri sebelum beranjak menuju kamar mandi.
Suara gemericik air terdengar dari dalam kamar mandi menyadarkan Calia kebekuan. Tangannya bergerak menyentuh bibir, ketika merasakan sesuatu yang tak nyaman hinggap di hatinya mengingat apa yang dilakukan Lukas tadi malam. Terasa begitu mengganjal. Seolah belum cukup pengkhianatannya delapan tahun yang lalu terhadap Lucius.
Lama ia bergeming dalam lamunannya, ketika terbangun oleh suara panggilan Lucius dari dalam kamar mandi.
"Y-ya." Calia bangkit berdiri dan mendekat ke pintu kamar mandi. Mendengarkan suara pria itu.
'Bisakah kau membawakan handuk untukku? juga pakaian gantiku.'
Calia mengerjap, menoleh ke arah sofa panjang dan melihat kantong pakaian yang ia bawa masih di sana. Ia pun gegas memgambil kantong tersebut, mengambil handuk bersih di lemari kecil yang diletakkan di samping pintu kamar mandi dan …
Tangannya yang hendak memutar gagang pintu mendadak membeku. Menatap kedua barang di tangan kanannya. Sudah pasti Lucius telanjang bulat di balik pintu kamar mandi. Yang membuat jantung Calia mendadak berdegup kencang.
'Kenapa lama sekali?' Suara Lucius kembali terdengar. Membuat Calia memejamkan mata dan merasakan wajahnya yang memanas. Ini bukan pertama kalinya ia melihat tubuh Lucius telanjang, kenapa ia masih saja merasa gugup. 'Apa kau tidak menemukan handuknya? Panggil perawat …'
"A-ada." Suara kering Calia menjawab. Menarik napas dalam-dalam kemudian memutar gagang pintu dan mendorongnya terbuka. Mengulurkan lengannya ke dalam. "I-ini."
Calia menahan tubuhnya tetap di luar, memalingkan wajah membelakangi Lucius. "Ini yang kau minta, Lucius," ucapnya hampir terbata.
Tak ada jawaban dari dalam. Calia menggoyang-goyangkan tangan, tetapi kedua benda itu masih ada di tangannya. "Lu …"
Tiba-tiba pergelangan tangan Calia ditangkap, kemudian ditarik masuk ke dalam. Wanita itu terperanjan, nyaris berteriak ketika pintu kamar mandi sudah tertutup rapat kembali.
Tubuhnya didorong ke dinding kamar mandi dan dihimpit oleh tubuh polos dan basah Lucius.
"A-apa yang kau lakukan, Lucius?" Calia menggeliatkan tubuhnya, berusaha terbebas dari himpitan tubuh Lucius.
Lucius tak menjawab, kepalanya bergerak turun sementara tangannya yang lain menahan tengkuk Calia.
“Ada yang ingin kukatakan padamu,” ucap Calia buru-buru. Lalu memiringkan wajah sekuat yang ia bisa sebelum bibir mereka saling bersetntuha. Melepaskan handuk dan kantong pakaian di tangannya lalu kedua tangannya menyelinap di antara tubuh mereka dan menahan dada Lucius. Berusaha menciptakan jarak di antara tubuh mereka yang saling menempel.
***
Ada yang nungguin ebooknya???
Kening Lucius berkerut. “Apa?”
Calia tak menjawab, malah hanya menatap wajah Lucius dengan kecemasan yang mulai menelusup ke dalam hatinya.
Wajah Lucius miring ke samping, mendalami ekspresi di wajah Calia. Ada rasa bersalah yang menyelimuti wajah cantik wanita itu. Yang ia tak tahu alasannya. “Apa yang ingin kau katakan padaku?”
“A-aku minta maaf.”
“Untuk?”
Lagi-lagi Calia terdiam. Menatap waspada ke arah Lucius. “Semalam … Lukas …”
Wajah Lucius seketika menegang, rahangnya mengeras dan geraman lirih keluar dia antara celah bibirnya yang akan merapat. “Apa?”
Napas Calia tertahan, siap menerima semburan amarah Lucius. Bahkan hanya dengan mengucapkan nama Lukas saja sudah membuat amarah Lucius membludak. Namun, ia hanya menerima tatapan tajam Lucius yang menusuknya.
“Apa yang dilakukannya padamu?” desis Lucius tajam. Pegangannya di pinggang Calia semakin menguat tetapi wanita itu jelas tak berani mengaduh.
“Kami bicara.”
“Dan sepertinya tak hanya bicara,” hembus Lucius kasar tepat di depan wajah sang istri. Ya, Calia tak mungkin minta maaf jika sang istri dan adik hanya bicara. Rasa bersalah di wajah Calia sudah cukup sebagai bukti.
"Apakah kalian berciuman."
Calia diam.
Lucius mendapatkan jawaban dalam keterdiaman Calia.
"Dia yang melakukannya."
"Kau pikir ada bedanya?" sengit Lucius. Bersumpah akan meniduri Calia di tempat ini untuk menghilangkan jejak sentuhan adiknya di tubuh Calia.
"Bagiku ada," jawab Calia. Jawabannya terdengar konyol. Mencoba untuk tenang meski mustahil. Ia bisa merasakan dengan baik setiap amarah yang menguar dari tubuh pria itu. “Tapi aku tak akan menyesalinya.”
“Apa?” geram Lucius dengan mata yang membara oleh kecemburuan.
“Setidaknya sekarang aku yakin, aku sudah tidak mencintainya lagi.”
Lucius membeku. Menelaah kalimat Calia dua kali sebelum kemudian kemarahannya meluruh begitu saja. Matanya berkedip, masih tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Calia. “A-apa?” Suaranya berubah lunak tanpa ia duga.
Calia tahu Lucius mendengar dengan baik.
“Apakah semua ini karena kau tahu aku yang mendonorkan ginjal untukmu? Untuk rasa bersalahmu …”
Wajah datar Calia seketika membeku, hatinya kembali dicengkeram oleh kekesalan. Kedua tangannya mendorong dada Lucius menjauh. “Ya, anggap saja seperti itu,” ucapnya tajam dan memalingkan wajah.
Lucius segera menangkap wajah Calia, membawa wanita itu menghadapnya dan terkejut oleh air mata yang tiba-tiba mendesak keluar dan jatuh ke pipi. “Kau menangis?”
Calia tak menjawab, berusaha menjauhkan tangan Lucius dari wajahnya. Tapi cengkeraman pria itu semakin kuat, membuatnya menyerah dan terpaksa membalas tatapan penuh selidik Lucius dengan rasa malu.
“Kenapa kau menangis?”
“Aku seharusnya tidak menangis. Bukan salahmu jika kau berpikir aku mengatakan semua ini karena kau yang sudah menyelamatkan hidupku. Itu yang sebenarnya terjadi.”
Lucius terdiam. Seketika menyadari kata-katanya yang tanpa hati. Menyadari bahwa pengakuan Calia adalah benar ketulusan wanita itu terhadapnya. Yang tak seharusnya ia sangkut pautnya dengan hutang nyawa wanita itu padanya. Calia mengakui perasaan tersebut untuknya. Calia mencoba memperbaiki hubungan mereka. yang seharusnya ia lakukan untuk mereka berdua. Untuk pernikahan mereka.
Ketegangan di wajah Lucius seketika melunak. Cengkeramannya di wajah Calia melonggar. Ujung ibu jarinya mengusap air mata sang istri yang meleleh di wajah. Kemudian membawa tubuh Calia ke dalam pelukannya dan berbisik lembut. "Kali ini kesalahanku. Aku minta maaf."
Calia terdiam, terkejut dengan perubahan emosi Lucius yang begitu mendadak dan tak menolak pelukan lembut pria itu. Merasakan telapak tangan pria itu yang mengusap kepala bagian belakangnya.
"Kau tahu dengan pasti bagaimana perasaanku dengan pengakuanmu, Calia. Meski aku menghargai kejujuranmu, aku tak pernah bisa mengontrol emosiku dihadapkan dengan hal seperti ini untuk kedua kalinya."
Calia memahami perasaan tersebut. Merasakan hatinya yang teriris. Delapan tahun yang lalu, ia mengaku tidur dengan Lukas. Saat itulah pertama kalinya ia melihat kekecewaan di wajah Lucius yang menghancurkannya dari dalam. Seolah separuh jiwanya direnggut paksa dari tubuhnya.
Mata Calia terpejam, air mata kembali meleleh di pipinya. Dalam hati tak berhenti mengucap maaf untuk Lucius. Untuk keburukan yang ia berikan pada pria itu delapan tahun yang lalu. Mulai sekarang, ia akan memberikan seluruh hidupnya untuk Lucius. Dengan sepenuh hati.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top