Part 17 Sang Sahabat

Part 17 Sang Sahabat

Calia menatap Lukas lebih dalam sebelum memastikan pria itu mendengarkan dengan seksama jawaban yang akan diucapkannya. “Kau tahu jawabannya, Lukas.”

Kekecewaan melintasi wajah Lukas akan keyakinan di kedua mata Calia. “Lucius bisa saja memalsukan data mereka untuk membalas kita berdua. Ck, kau pasti tak terkejut dengan keposesifannya, kan. Dia bahkan tidak menceraikanmu hanya karena tak ingin kau menjadi milik pria lain. Tak sudi untuk menyentuhmu tapi juga tak ingin membuangmu.”

Calia lebih dari tahu untum yang satu itu. Tapi ia bahkan tak keberatan, setidaknya baginya semua hukuman itu sebagai bentuk rasa bersalahnya terhadap apa yang sudah mereka lakukan di belakang Lucius. “Ya, mungkin saja Lucius bisa melakukan itu.”

Ujung bibir Lukas menyeringai.

“Ketika mengetahui diriku hamil. Aku sempat merasa ragu apakah anak ini miliknya atau bukan. Aku tertekan oleh rasa bersalahku untuk kesalahan terbesar yang pernah kulakukan dalam hidupku.” Calia menatap lurus kedua mata Lukas. Memastikan setiap patah katanya didengan dengan seksama oleh pria itu sebelum melanjutkan. “Terhadap suamiku.”

Wajah Lukas membeku akan tambahan kalimat Calia yang penuh penekanan. Menciptakan gemuruh kecemburuan di dadanya yang tak pernah berubah sejak delapan tahun lalu. Bahkan rasanya semakin menguat hingga ia kesulitan mengendalikannya.

“Malam itu, malam terburuk di hidupku. Satu-satunya kesalahan yang tak pernah berhenti membuatku bermimpi buruk dan dihantui rasa bersalah pada Lucius. Juga pada anak dalam kandunganku.”

“Malam terburuk kau bilang,” desis Lukas dengan bibir yang menipis tajam tak terima. Tubuhnya berputar, sepenuhnya menghadap Calia. “Kesalahan terbesar?”

“Lalu, apa kau pikir itu malam terindah bagi kita? Kau berpikir kita melakukan hal benar? Hanya karena kita saling mencintai, bukan berarti kita harus membenarkan perselingkuhan kita, Lukas. Kau tahu itu tak pernah menjadi malam yang indah untukku. Kau tahu itu.” Calia hingga mengulang dengan suara dan tatapan penuh emosi.

Wajah Lukas memucat tak terima. 

“Aku tidak pernah mencintai Lucius. Bahkan hingga sekarang. Tapi aku tak pernah merasa buruk ketika menyerahkan tubuhku padanya. Berkali-kali. Pun ketika aku mendatanginya hanya demi anakku.”

Tak hanya memucat, sekarang wajah Lukas pun menegang oleh kemurkaan dan kecemburuan yang siap meluap. Dengan tatapan yang semakin menusuk tajam akan kata-kata Calia yang tepat mengena di dadanya.

“Dan jika aku tak yakin anakku adalah milik Lucius. Aku tak mungkin datang padanya, Lukas,” tambah Calia lagi yang membuat Lukas semakin terbungkam. “Tak ada alasan aku harus datang padamu. Pun untuk rasa yang pernah kita miliki.”

Lukas menggeram

“Terkadang aku menyadari …” Suara Calia lebih melunak, tetapi masih sangat jelas untuk ditangkap kedua telinga Lukas. “Apa yang pernah kita miliki hanyalah ketidak tahuanku saja.”

“Omong kosong, Calia.” Lukas mendorong tubuh Calia ke dinding, menghimpit tubuh wanita itu dengan tubuh besarnya. “Lucius yang merebutmu dariku.”

“Aku miliknya sejak awal.”

Wajah Lukas berhenti tepat di depan wajah Calia. Hidung keduanya nyaris bersentuhan, membuat hembusar napas kasar pria itu menerpa wajah Calia. “Kau menikahinya hanya karena dia menyelamatkan nyawamu. Hanya karena aku terlambat menyelamatkanmu.”

Calia menatap kedua mata Lukas, tanpa berkedip. Dengan jarak sedekat ini dan jantungnya yang tak lagi berdegup kencang, sekarang ia yakin. Perasaan apa pun yang pernah mereka miliki bersama, tak ada lagi di hatinya. Tak ada apa pun yang tersisa di antara mereka.

“Jika aku yang datang lebih dulu, kau tahu aku yang akan melakukannya untukmu. Bahkan jika itu ginjalku sendiri, aku akan memberikannya padaku.”

Ujung bibir Calia menyeringai dengan kalimat terakhir Lukas. “Ya, tapi … Lucius yang melakukannya untukku. Bukan kau.” Calia mempertegas kalimat tersebut dengan penuh kemantapan. Tepat seperti yang diinginkannya.

Tatapan Lukas semakin menusuk, menekan tubuh Calia lebih kuat. Hatinya sudah dipenuhi emosi yang memuncak di ubun-ubun. Kedua matanya sudah digelapkan oleh kecemburuan. Membuatnya benar-benar kehilangan akal sehat dan mencium bibir Calia. Menciumnya dengan kasar demi meluapkan emosi yang tak mampu dibendungnya lagi. Bahkan hanya untuk satu detik ke depan.

Namun wanita itu hanya bergeming, mematung seperti boneka. Yang membuat Lukas semakin frustrasi. Melepaskan ciumannya dalam geraman yang keras dan napas terengah. Menarik tubuhnya mundur satu langkah dari tubuh Calia.

Calia masih tercenung untuk beberapa saat. Kemudian tangan bergerak terangkat dan menyapu bibir dengan punggung tangannya. “Terima kasih,” ucapnya kembali menatap kedua mata Lukas yang masih membara oleh emosi. “Sekarang aku yakin, hatiku tak lagi menjadi milikmu.”

Seolah belum cukup dengan semua kemarahannya terhadap penolakan Calia, sekarang dada Lukas dipenuhi oleh kemurkaan.

Calia menegakkan punggungnya dan berjalan melewati Lukas  yang masih berdiri diselimuti oleh ketegangan. Buku-buku jarinya memutih, terangkat dan meninju dinding di depannya. Langkah Calia sempat terhenti mendengar suara hantaman yang kuat tersebut. Tetapi ia tidak berbalik dan melanjutkan langkahnya menuju kamar.

Di dalam kamar, ia langsung ke kamar mandi. Mencuci mukanya dengan air dingin. Ada kelegaan yang memenuhi dadanya untuk reaksi tubuhnya terhadap sentuhan Lukas. Sekaligus rasa bersalah terhadap Lucius karena membiarkan tubuhnya disentuh oleh pria lain. Lucius tak akan menyukainya.

*** 

Rhea membalikkan tubuhnya dan gegas berlari menuju kamarnya sebelum Calia memergokinya. Beruntung ia berhasil menutup pintu kamarnya ketika Calia muncul di ujung lorong. Ia menyandarkan punggungnya di pintu, memejamkan matanya dengan tangan menggenggam kuat gagang pintu. Bayangan Lukas, suaminya yang berciuman dengan Calia kembali melintasi benaknya. Membuatnya menggigit bibir bagian dalamnya dengan hati yang patah. Ini bukan pertama kalinya hatinya dipatahkan oleh sikap dingin Lukas terhadapnya, tetapi entah bagaimana hatinya masih bisa patah lagi dan lagi.

Ya, pernikahan mereka terlihat sempurna di mata siapa pun. Ditambah dengan kehadiran Cailey yang semakin menyempurnakan rumah tangga mereka. Namun, bahkan putrinya tersebut tetap tak membuat hati Lukas luluh terhadapnya. Masih dipenuhi oleh cinta pertama pria itu. Calia Xavera Cayson. Mantan sahabat baiknya. 

‘Apakah semua ini masih belum cukup membayar apa yang pernah ia lakukan pada Calia?’

‘Berapa banyak lagi ia harus menanggung hukuman tersebut?’

Suara langkah kaki dari balik pintu memecah lamuna Rhea. Wanita itu bergegas menjauh dari pintu dan memastikan ekspresi wajahnya terlihat normal. Mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali demi memgurai genangan yang mulai membentuk di kedua kelopak matanya.

Pintu terbuka dan pandangan Rhea langsung bertemu dengan tatapan dingin Lukas. Jika biasanya pria itu hanya menatapnya datar, kali ini sorot Lukas begitu dingin. Rhea memaksa senyuman tertampil sempurna di kedua ujung bibirnya. Menghampiri sang suami dan berkata dengan suara yang lembut. “Kau sudah pulang?”

Lukas tak menjawab, melepaskan jasnya dan dasinya kemudian memberikannya pada Rhea tanpa mengurangi kecepatan langkahnya menuju pintu kamar mandi.

“Lukas?” panggil Rhea sebelum pria itu benar-benar menyeberangi ruangan.

Langkah Lukas berhenti. Meski tak membalikkan tubuh, kepala pria itu tetap menoleh ke samping.

“Cailey menunggumu.”

Lukas mengangguk singkat, lalu berjalan masuk ke dalam kamar mandi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top