Part 11 Kenyataan Lainnya
Part 11 Kenyataan Lainnya
Napas Calia tercekat, matanya melebar menyadari keseriusan dalam pertanyaan Lucius.
Dokter Arfin terdiam sejenak. "Apakah Anda pernah mendonorkan ginjal Anda pada pasien lain?"
Lucius terdiam.
"Kenapa kau bertanya tentang ini, Lucius?" Calia mengajukan pertanyaan lain meski sang dokter belum mendapatkan jawaban dari Lucius. Kecurigaan yang mendadak muncul di hatinya semakin meruncing tajam. Membawa kilasan-kilasan masalalu mereka berdua terhampar di hadapannya.
Lucius masih bergeming. Bahkan pria itu sama sekali tak menoleh ke arahnya.
Calia memegang pundak Lucius, berusaha mendapatkan perhatian pria itu yang masih membeku oleh kepucatan. "Jangan bilang kalau kau yang mendonorkan ginjalmu untukku?" Suara Calia diselimuti emosi yang campur aduk. Matanya membelalak penuh ketidak percayaan dengan kedua mata yang mulai digenangi kaca.
"Jangan bilang kau yang menyelamatkanku 10 tahun yang lalu, Lucius!" Kali ini Calia melompat berdiri. Kesulitan mengendalikan emosinya dan melangkah keluar dari ruangan sang dokter.
Lucius mendesah panjang dan berat. Sedangkan dokter Arfin seketika menutup mulutnya yang menganga oleh perubahan suasana menjadi semakin menegang. "Kami akan kembali dalam sepuluh menit," ucap Lucius sebelum bangkit berdiri dan menyusul Calia keluar ruangan.
"Tunggu, Calia." Lucius akhirnya berhasil menangkap pergelangan tangan sang istri yang sudah setengah melintasi lorong.
"Lepaskan!" Calia menyentakkan lengannya. Ia benar-benar kesulitan merasakan emosi di dadanya yang bergemuruh tak terkendali.
Lucius jelas tak mendengarkan. Cengkeramannya di pergelangan tangan Calia semakin menguat. Bahkan mendorong wanita itu ke dinding dan menghimpit dengan tubuh besar dan kekarnya.
"Kau membohongiku!" teriak Calia tepat di depan wajah Lucius. "Kau bilang kau sudah mendapatkan pendonornya tapi tak pernah mengatakan kalau itu dirimu sendiri. Kau membuatku kerasa buruk, Lucius. Tak hanya menyedihkan. Sekarang kau membuatku menjadi wanita yang jahat dan tak tahu diri. Apakah kau puas sekarang?"
Lucius bernapas dengan keras. "Apakah itu masalah yang penting saat ini? Semua sudah terjadi. Kau ingin aku mengambil kembali ginjalku, hah?"
"Jadi ini alasanmu yang sebenarnya tak ingin melepaskanku? Bukan karena kau mencintaiku dan masih menginginkanku. Tapi karena sejak awal hidupku memang sudah menjadi milikmu."
Lucius menarik tubuhnya menjauh meski tetap mempertahankan jarak yang cukup dekat di antara mereka. "Sekarang kau sudah tahu kalau kau tak bisa lepas dari genggamanku, kan? Jadi tetaplah di sisiku. Sebagai ucapan terima kasih atau sekedar membalas budi. Aku tak peduli alasan mana yang akan kau gunakan. Atau bahkan jika itu untuk memanfaatkanku agar Zayn selamat, apa pun itu aku tak akan peduli. Kau hanya perlu bernapas di sisiku, sampai napas itu terenggut daro hidupmu."
Calia terisak. Air matanya meleleh dan sepenuhnya kehilangan kata-kata. Perasaannya begitu buruk hingga tak sanggup menatap kedua mata Lucius.
"Kita kembali ke ruangan dokter. Ada banyak hal yang harus kita bicarakan tentang Zayn dengan dokter Arfin."
Calia berusaha mengembalikan napasnya yang tak beraturan oleh emosinya. Menghapus air mata dengan punggung tangannya. Meski emosi di dadanya masih bergejolak, ia harus terlihat tenang. Sekarang hanya Zayn yang perlu mereka pikirkan.
Lucius menarik tangan Calia dan keduanya kembali ke ruangan dokter. Lucius bersikeras ingin menjadi pendonor untuk sang putra. Seumur hidup, tak ada riwayat penyakit yang serius dengan tubuhnya. Ia juga menjaga pola makan dengan baik dan melakulan cek medical secara rutin. Bahkan tak ada bedanya sebelum ataupun sesudah ia mendonorkan ginjalnya pada Calia.
Namun, dokter tetap tak bisa menerima semua alasan itu. Yang membuat Lucius lebih bersikeras dan akhirnya dokter menyarankan Lucius untuk diperiksa lebih dulu untuk menguji kecocokannya dengan pasien demi meredakan kekeras kepalaan pria itu.
Pembicaraan alot tersebut akhirnya berakhir setelah satu jam lebih. Lucius dan Calia melangkah keluar, keduanya langsung naik ke ruang perawatan Zayn yang ada di lantai sebelas.
Zayn menyambut keduanya dengan senyum bahagia. Namun raut Calia berubah muram ketika melihat makan siang sang putra yang hanya berkurang sedikit. Perawat mengatakan kalau Zayn tidak mau makan meski wanita muda itu sudah membujuk berkali-kali.
Calia mengangguk paham dan mengambil mangkuk bibir di meja. "Sayang, …"
Zayn yang tahu apa yang akan diucapkan sang mama bergegas menutup mulut dengan telapak tangan.
"Kenapa, kau tidak suka rasanya?"
Zayn menggeleng. "Zayn hanya tak ingin makan. Perut Zayn rasanya tidak nyaman."
"Bagian mana yang sakit."
Zayn menggeleng. "Perut Zayn hanya tak suka diganggu. Buka sakit."
"Tapi, sayang. Zayn harus menghabiskannya jika ingim cepat sembuh." Calia mendekatkan satu suapan ke mulut Zayn, yang segera merapat.
"Zayn ingin papa yang menyuapi?" tawar Lucius kemudian.
Zayn terdiam, telapak tangan masih membekap mulut menatap sang papa. Tapi tetap menggeleng.
Tak menyerah, Lucius pun membujuk lagi. "Apa Zayn ingin sebuah hadiah?"
Zayn menggeleng.
Hening sejenak.
"Zayn hanya ingin papa tidak meninggalkan kami lagi," ucap bocah mungil tersebut tiba-tiba dengan suara yang lirih dan penuh emosional. Yang seketika membuat Lucius dan Calia membeku.
Calia melirik ke arah Lucius yang bergeming. Berusaha membaca ekspresi macam apa yang tergambar di wajah Lucius. Kebekuan? Kepucatan? Namun kemudian tiba-tiba pria itu tersenyum dan menggenggam tangan sang putra.
"Ya, sayang. Papa akan selalu bersama kalian. Papa tidak akan meninggalkan kalian lagi. Jadi, Zayn harus makan yang banyak agar cepat sembuh. Dan kita semua bisa berenang bersama."
"Janji?"
Lucius mengangguk dengan penuh keyakinan. "Papa juga sudah menyiapkan kamar untuk kalian bertiga. Masing-masing. Dan papa butuh masukan darimu untuk menghias kamarmu seperti apa."
Mata Zayn membeliak lebih lebar dengan penuh keantusiasan di wajahnya yang pucat. Tangannya juga tanpa sadar jatuh di atas pangkuan. "Apa kasurnya bertingkat? Zaiden sering mengeluh karena setiap tidur harus memanjat tangga untul tidur di atas."
"Tidak. Papa akan mengisi semua perabotnya seperti yang kalian inginkan." Lucius memberi jeda sejenak. "Jadi, apa sekarang kau ingin papa yang menyuapimu makan."
Raut Zayn berubah tak suka, tetapi tetap mengangguk meski pelan. "Apakah Zayn akan sembuh jika …"
"Ya, tentu saja." Lucius menyuapkan sesendok bubur ke mulut sang putra. "Papa akan melakukan apa pun untuk jagoan papa yang tampan ini. Jagoan papa adalah anak terkuat. Pasti akan sembuh."
Senyum Zayn mengembang lebar. Mengangguk-angguk dengan penuh semangat. Membuka mulutnya lebar-lebar untuk sang papa.
Calia hanya terdiam, menatap kesungguhan Lucius akan janji yang diucapkan pria itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top