15 - 16

Part 15

“Apa?” Caleb melompat berdiri saling terkejutnya dengan apa yang baru saja dijelaskan oleh Calia. “B-bagaimana mungkin aku tidak tahu tentang ini, Calia. Aku yang menunggumu di depan ruang operasi.”

“Lucius pasti menyembunyikannya dari siapa pun, Caleb. Aku… aku bahkan kehilangan kata-kata untuk semua yang dilakukannya padaku.

Kening Caleb berkerut, mendadak teringat sesuatu. “Ah, ya. Hari itu dia tiba-tiba mengatakan ada perjalanan bisnis keluar negeri dan kembali satu minggu kemudian.”

“Dokter bahkan tak mengatakan apa pun. Hanya mengatakan kalau operasi berjalan lancar dan semuanya baik-baik saja berkat bantuan dari Lucius. Kupikir itu karena koneksi dan uangnya yang membuatmu mendapatkan donor lebih cepat. A-aku …” Caleb kembali membanting pantatnya di kursi sambil mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. “Kupikir hanya sampai di sana keterlibatannya dalam operasi mu,” desahnya lirih.

Mata Calia ikut terpejam. Setelah operasi tersebut dan ia dinyatakan sembuh, saat itu tiba-tiba Lucius mengungkapkan perasan pria itu padanya. Dan setelah semua yang dilakukan Lucius pada hidupnya, bagaimana mungkin ia sampai hati untuk menolak pria itu. Keduanya berkencan selama satu tahun hingga akhirnya Lucius melamarnya dan keduanya menikah. Dengan Lucius yang tak pernah tahu dirinya mencintai Lukas. Sampai kisah masa lalunya dan Lukas terbongkar, kesalah pahaman yang semakin meruncing hingga malam itu ia harus meninggalkan kediaman Cayson. Hanya dengan satu-satunya harga diri yang masih dipertahankannya.

“Jadi, akhirnya dia juga tidak bisa menyelamatkan Zayn?” Caleb memecah keheningan yang sempat menyelimuti keduanya.

“Dia bersikeras. Tapi … kau tahu keadaannya tak memungkinkan. Sama sepertiku.”

Caleb kembali menghela napas panjang. “Apa sekarang kau menyesal menemuinya?”

“Aku bahkan tak berhak merasa menyesal meskipun dia tidak bisa menjadi pendonor untuk Zayn, Caleb.”

Caleb menatap sang adik, membawa ke dalam pelukannya.

“Hidupku sepenuhnya memang sudah menjadi milik Lucius sejak awal.”

“Jadi itu alasannya tak mau menceraikanmu,” dengus Caleb. “Cara yang licik.”

“Aku pun tak berhak mengomentari kelicikannya.”

Keduanya saling terdiam dalam keheningan.

*** 

"Kau pulanglah biarkan aku yang bermalam menjaga Zayn."

Calia menoleh melihat lucius yang menyeberangi ruangan sambil melepaskan jas dan menyampirkannya di punggung sofa. Pria itu menggulung lengannya hingga siku kemudian berhenti tepat di sampingnya. "Sopir sudah menunggumu di bawah."

"Aku ingin di sini."

"Pulanglah. Zsazsa dan Zaiden pasti merasa sendirian di tempat asing. Ini pertama kalinya mereka bermalam di rumah."

Calia terdiam. Membenarkan kata-kata Lucius. Ya, kedua anaknya baru berada di tempat asing dan keduanya pasti membutuhkan dirinya."

Calia pun mengangguk. Mengambil tasnya di meja kecil dan membungkuk untuk mencium kening Zayn.

"Aku akan pulang agak siang karena harus menunggu hasil tesku dan bicara dengan dokter sebelum pulang. Sopir akan mengantar anak-anak pergi ke sekolah tapi sebaiknya kau ikut karena ini sekolah pertama mereka. Aku ingin kau yang menemani mereka."

Calia mengangguk mengerti. Tapi kemudian menatap wajah Lucius. "Apa kau tidak bekerja?"

Lucius menyeringai.  "Kau mengkhawatirkan pekerjaanku atau mengkhawatirkanku?"

Calia mengerjapkan matanya. "Aku hanya tidak ingin kehadiran kami mengganggu kehidupanmu, Lucius."

Lucius mendengus. "Sejak awal kau muncul untuk pertama kalinya di hidupku, kau sudah mengganggu kehidupanku, Calia. Kenapa kau baru mengkhawatirkannya sekarang?"

Calia terdiam, tak mengatakan apapun lagi. Ini bukan pertama kalinya Lucius mengatakan hal semacam itu. 

"Kalau begitu aku akan pulang sekarang." Calia melangkah ke samping, namun sebelum benar-benar melewati Lucius  tangan pria itu menangkap pinggangnya dan menempelkan tubuh mereka.

"Kau akan pergi begitu saja?"

Wajah Calia terdongak, menatap tatapan intens Lucius dan seketika rautnya menghangat. "Apa maksudmu?" suaranya mengering.

"Kau tahu apa yang kuinginkan?"

Tak tahan dengan tatapan Lucius yang semakin intens, Calia menurunkan pandangannya.

Ujung dagu Calia ditangkap oleh jari Lucius, membawa seluruh perhatian wanita itu untuknya. 

Lucius menundukkan kepalanya dan menyapu bibir sang istri dalam satu lumatan yang panjang. Dengusan tipis mengakhiri pagutan tersebut, Lucius sedikit menjauhkan wajah mereka. Kali ini ibu jarinya yang menyapu jejak lumatannya di bibir bagian bawah wanita itu. "Kau masih saja bersikap kaku setiap kali aku mencumbumu," bisiknya.

Wajah Calia jelas tak bisa lebih merah padam lagi. Menggeliatkan tubuhnya untuk mengurai lengan Lucius sembari memalingkan wajah. "Ini di rumah sakit, Lucius."

"Hmm, jika tidak ingat di rumah sakit, aku pasti sudah melepaskan semua pakaianmu."

Calia benar-benar kehilangan kata-kata dengan ucapan Lucius yang vulgar dan tak pernah mengenal tempat. Ia pun bergegas melangkah menjauh sebelum Lucius mendapatkan kesempatan untuk menahan dirinya lagi. Berjalan keluar ruang perawatan Zayn dengan jantung yang masih berdegup kencang.

*** 

Lokasi rumah sakit dan kawasan perumahan Lucius tidak berjarak terlalu jauh, membuat Calia lebih menghemat waktu untuk pulang pergi.

Ditambah ada sopir Lucius yang sudah siap ketika ia sampai di teras rumah, ia tak perlu pergi ke halte untuk menunggu bus atau menunggu taksi kosong lewat di jalanan.

Ya, semua fasilitas yang diberikan Lucius memang memudahkan semua urusannya. Meski masih ada satu hal yang menggayuti hatinya. Zayn. Ia bahkan tak berani memikirkan pada siapa akan meminta bantuan untuk menyelamatkan nyawa putranya tersebut.

Mama mertuanya? Ya, dokter mengatakan kemungkinan Vania Cayson dan dua saudara Lucius memiliki hasil yang cocok pasti ada meski tidak 100 persen. Setidaknya butuh 50 persen kecocokan untuk menjadi pendonor bagi Zayn.

Akan tetapi, ia tahu meminta bantuan pada mereka jauh lebih buruk daripada kembali ke hidup Lucius. 

"Nyonya, sudah sampai." Suara sopir membangunkan Calia dari lamunannya. 

Calia mengerjap, mengedarkan pandangannya ke luar mobil yang sudahh berhenti di depan teras kediaman Cayson. Wanita itu pun mengambil tasnya dan melangkah turun. Langsung masuk ke dalam rumah.

Saat melewati ruang keluarga, ia mendengar suara dari area ruang makan. Tangan kanannya terangkat dan melirik jam di pergelangan tangannya. Waktunya makan malam, sepertinya kedua kembarnya ada di ruang makan. Ia pun berbalik arah dan masuk ke ruang makan.

"Mama?!" Suara Zsazsa dan Zaiden menyambutnya dengan riang. Tetapi kedua anaknya tidak beranjak dari tempat mereka. 

Senyum Calia melebar, menghampiri keduanya dan bergantian mendaratkan kecupan di kening. Ia berdiri di antara kursi keduanya dan mengusap kepala mereka ketika perhatiannya teralihkan oleh tatapan tidak suka Vania dan Divya yang duduk di seberang meja. Kemudian pada Rhea yang menatapnya sekilas sebelum wanita itu kembali sibuk membantu menyuapkan nasi pada putrinya.

Melihat keceriaan di wajah Zsazsa dan Zaiden, sepertinya Vania menepati janji Lucius untuk tidak membuat kedua anaknya merasa tidak nyaman di tempat ini. Setidaknya ia bisa merasa lega jika harus meninggalkan mereka di rumah ini. Ditambah ada dua pengasuh yang membantunya mengawasi Zsazsa dan Zaiden, ia pun merasa cukup tenang.

Calia bergabung di meja makan dan duduk di samping Zaiden, mengabaikan tatapan tidak suka dua wanita di seberang meja dan menyibukkan diri dengan isi piringnya. Dan sesekali menanggapi celotehan kedua anaknya yang menceritakan kebahagiaannya dengan semua yang ada di rumah ini.

Setelah malan, kedua pengasuh membawa Zsazsa dan Zaiden. Juga Cailey. Vania dan Divya beranjak lebih dulu. Meninggalkan Calia dan Rhea yang paling akhir menyelesaikan makan malamnya karena harus menyuapi Cailey lebih dulu..

"Kau kembali ke rumah ini?" ucap Rhea memecah keheningan di meja makan.

Calia yang tengah mengunyah suapan terakhirnya meletakkan sendoknya. Menatap Rhea dengan ekspresi yang datar dan anggukkan singkat  menanggapi seulas senyum yang diberikan pria itu.

Setelah menandaskan gelas jusnya, Calia bangkit berdiri dan langsung keluar dari ruang makan.

"Tunggu, Calia." Rhea menangkap pergelangan tangan Calia yang hendak menaiki anaka tangga pertama.

Calia memutar kepala dan menatap Rhea. Menunggu beberapa saat wanita itu yang tampak ingin bicara tapi masih membisu.

"Aku berjanji akan membacakan cerita untuk anakku. Jika tidak ada …"

"Aku hanya ingin mengucapkan selamat datang kembali."

Calia terdiam. Menatap dalam-dalam wajah tersenyum Rhea yang tidak sampai di kedua mata wanita itu. Ia menyentakkan tangannya dari genggaman Rhea, memutar tubuh hingga menghadap wanita itu dan berkata, "Apakah itu ucapan dari hatimu?"

Mata Rhea mengerjap dan wajahnya memias.

"Atau hanya bentuk rasa bersalahmu untuk delapan tahun yang lalu?"

Kali ini wajah Rhea memucat, tak ada jejak senyum palsu yang sempat menghinggapi wajahnya. "A-apa maksudmu, Calia?"

Calia tersenyum tipis. "Kita berdua tahu apa yang kubicarakan, Rhea. Dan … selamat datang kembali? Karena aku meninggalkan rumah inilah kau bisa menginjakkan kaki di tempat ini sampai sekarang. Bukan kau yang berhak mengucapkan kalimat itu."

Kepucatan di wajah Rhea benar-benar tak tertahankan.  Bibirnya menipis kehilangan kata-kata ketika Calia berbalik dan menaiki anak tangga. Tanpa melepaskan tatapannya pada punggung Calia hingga di ujung tangga.

*** 

Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaiannya, Calia mulai menyisir rambutnya sambil sesekali membalas pesan dari Caleb. Sejenak memeriksa isi kopernya sebelum berjalan keluar untuk ke kamar si kembar.

Ia baru saja menutup pintu kamar ketika melihat sosok yang baru saja muncul dari arah tangga. Berupaya setenang mungkin dengan keberadaan Lukas di rumah ini.

Sejak Lucius membawanya ke rumah ini, tentu saja ia sudah mempersiapkan hati dan pikirannya menghadapi adik ipar sekaligus mantan kekasihnya tersebut. Namun tetap saja ia butuh usaha lebih keras untuk berhadapan dengan pria itu.

Untuk sesaat pandangannya keduanya saling bersirobok. Calia memutus kontak mata lebih dulu dan membalikkan badan melangkah pergi menuju lorong di sebelah kiri yang akan membawanya ke kamar si kembar.

“Calia?” gumam Lukas lirih, gegas berlari menyusul wanita itu dan menahan lengan Calia.

“Lepaskan, Lukas,” sentak Calia sembari melangkah menjauh.

“Kita butuh bicara.”

“Tidak ada apa pun yang perlu kita bicarakan," tegas Calia dingin.

Lukas bergerak maju, menangkap kedua tangan Calia.

“Lepaskan atau aku akan berteriak, Lukas,” ancam Calia.

“Berteriaklah.” Keseriusan di wajah Lukas jelas tak bisa Lukas remehkan. Pria itu tak pernah memedulikan apa pun selain perasaan yang dimiliki untuknya. Sama sekali tak berubah dan masih egois.

“Apa lagi yang kau inginkan, Lukas? Kau bahkan sudah memiliki kehidupanmu sendiri dengan istri dan putrimu.”

“Kau tahu aku tak menginginkan pernikahan ini.”

Calia terdiam. Segurat kecewa melintasi wajahnya. “Apa kau benar-benar mengatakannya dari hatimu? Pada istri dan anakmu?”

Lukas segera terdiam.

“Dan lagi, kau menginginkannya atau tidak, itu sama sekali bukan urusanku, Lukas. Lepaskan.”

Lukas tetap bergeming, menatap lebih dalam pada kedua mata Calia. Untuk beberapa saat yang lama, keduanya saling menatap dalam kebekuan. Calia dengan penolakan mentah-mentahnya dan Lukas dengan kekeras kepalaannya bahwa permasalahan di antara mereka belum selesai. Tak akan pernah selesai jika ia belum memiliki wanita itu. Atau setidaknya memiliki kembali perasaan wanita itu untuknya. Yang masih berusaha ditolak oleh wanita itu.

“Mama?” Suara memanggil dari arah belakang Calia membuat keduanya teralihkan. Calia bergegas mendorong dada Lukas menjauh kemudian berbalik dan melihat Zsazsa yang melangkah mendekat.

“Ya, sayang.” Calia melebarkan kedua lengannya dan membawa sang putri ke dalam gendongannya. "Kau belum tidur?"

"Zsazsa kangen Zayn. Apa dia sudah tidur?"

"Kau ingin mama menelpon papa dan memastikannya?"

Zsazsa segera mengangguk semringah. "Rumah papa luas sekali. Semuanya menyenangkan, tapi jadi lebih sering ingat Zayn karena dia tidak ada di sini."

Calia mengangguk, mengecup pipi Zsazsa dan merangkum wajah mungil tersebut. "Ayo, kita telpon papa," ajaknya menurunkan Zsazsa dari gendongannya.

"Ah, paman? Apakah paman adik papa?" ucap Zsazsa yang baru menyadari keberadaan Lukas. "Papanya Cailey?"

Lukas yang sejak tadi hanya mengamati interaksi Calia dan Zsazsa, sekarang memasang senyum untuk bocah kecil itu. Ia berjongkok untuk menyejajarkan pandangan dan menyulurkan tangan ke arah Zsazsa. "Ya, kau bisa memanggil paman dengan papa Lukas."

Wajah  Calia seketika memucat oleh ketegangan. Menatap tajam pada Lukas yang juga meliriknya dengan seringai tersamar di ujung bibir.

"Papa Lukas?" Kening Zsazsa berkerut terheran. 

Lukas mengangguk. Mengusap rambut panjang Zsazsa yang memiliki warna sama dengan rambut Calia. "Ya, Cailey biasa memanggil papamu dengan papa Lucius."

Zsazsa tampak mengangguk-angguk pelan. "Papa Lukas?"

"Ya, keponakan yang cantik?"

Zsazsa tertawa kecil.

"Ayo, Zsazsa." Calia segera menyela dan menarik tangan Zsazsa. Membawa sang putri melintasi lorong menuju kamar tidur.

*** 

Zsazsa masih selalu penuh semangat setiap kali berbicara dengan Lucius. Calia hanya mengamati sambil duduk di samping sang putri. Hatinya tak bisa berbohong untuk tidak meledak mellihat kebahagiaan di wajah Zsazsa yang menjadi sempurna sejak Lucius datang kembali ke hidupnya. Menegaskan keegoisannya selama delapan tahun ini.

Setelah puas bicara dengan Zayn dan lebih lama dengan Lucius, akhirnya panggilan berakhir. Calia membacakan cerita, hanya beberapa lembar sebelum akhirnya Zsazsa terlelap lebih dulu

 Ia pun menutup buku cerita tersebut di laci meja. Merapikan selimut dan mencium kening Zsazsa lalu mematikan lampu dan menyalakan lampu tidur. Berjalan dengan hati-hati menuju pintu.

Calia bahkan belum sempat menutup pintu kamar Zsazsa ketika tersentak kaget dengan keberadaan Lukas yang bersandar di dinding di samping pintu. Sengaja menunggunya.

"Apa yang kau lakukan di sini, Lukas," desis Calia dingin setelah memastikan pintu kamar Zsazsa tertutup rapat.

Salah satu alis Lukas terangkat naik dengan tatapan yang tajam. “Apakah dia benar-benar anak, Lucius?”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top