14 Tak Pernah Berubah
Part 14 Tak Pernah Berubah
Calia melanjutkan langkahnya, meninggalkan Divya yang masih terperangah oleh kata-katanya. Ya, tadi sangat jelas Lucius menyuruhnya untuk masuk ke dalam kamar mereka. Itu artinya tidak ada siapa pun yang sudah menggantikan dirinya di kamar lama mereka, kan. Setidaknya itu sedikit memberinya keberanian untuk melawan sang mertua dan Divya yang masih dan tak henti-hentinya menginginkan Lucius.
Ia bahkan tak peduli jika Lucius memang sudah menikah dan mungkin sudah memiliki anak dengan wanita lain. Tapi … cincin pernikahan mereka tak pernah lepas dari jari manis pria itu. Saat ia mendatangi Lucius malam itu dengan tiba-tiba, hingga sekarang.
Bukan perasaan Lucius yang selama ini menjadi masalah dalam pernikahan mereka. Juga bukan berapa banyak wanita yang menginginkan pria itu. Dirinyalah masalah dalam pernikahannya. Perasaannya yang masih melekat pada masa lalu merekalah yang menjadi masalah dalam pernikahan mereka.
Begitu masuk ke dalam ruangan luas yang menjadi kamar utama kedua di rumah ini, mata Calia terpejam. Aroma dan bahkan suasananya masih sama ketika ia terakhir kali berada di tempat ini. Posisi tempat tidur, pigura pernikahannya dan Lucius yang terpajang di dinding di atas ranjang, meja rias, set sofa, meja hias. Semuanya masih berada di tempatnya masing-masing.
Begitu pun di ruang ganti. Selain kanting-kantong belanjaan yang dibiarkan tergeletak di tengah ruangan. Calia bisa melihat pakaian-pakaiannya yang masih berada di balik lemari kaca. Juga hadiah tas dan sepatu yang masih berada di laci-laci kacanya. Dan perhiasannya yang diletakkan di meja kaca tepat di sampingnya. Semua sama seperti bagaimana ia meninggalkan tempat ini. Tak banyak perubahan yang berarti.
***
“Lalu bagaimana tentang rencana pertunanganmu dan Divya bulan depan, Lucius?” Vania menahan Lucius yang hendak naik ke lantai dua setelah memerintahkan kedua pengasuh anaknya untuk melihat Zsazsa dan Zaiden di depan dan membawanya ke kamar mereka di sayap barat.
Lucius mendesah dengan gusar. Pertunangan yang bahkan sama sekali tidak melibatkan persetujuan darinya. Terlalu banyak gosip yang beredar tentang hubungannya dan Divya di publik, membuat mamanya berinisiatif dengan rencana tersebut. “Apakah mama masih perlu membicarakannya? Istriku sudah kembali.”
“Tidak ada yang tahu tentang pernikahanmu dan Calia, Lucius.”
“Mereka bukan tidak tahu tentang pernikahanku dan Calia. Mereka hanya tidak tahu aku tak pernah bercerai dengannya. Jadi, kenapa kita harus membuatnya menjadi rumit?”
“Apa maksudmu?”
“Mama ingin aku bertunangan dengan Divya sementara keluarga kami baru saja berkumpul? Anakku ada di rumah sakit, berjuang untuk hidup. Tidak cukupkan ini sebuah masalah yang besar untuk keluarga kami? Tanpa harus menjadi pria berengsek yang malah sibuk menjalin hubungan dengan wanita yang bahkan tak pernah kulihat seperti selayaknya wanita?”
Tepat ketika Lucius menyelesaikan kalimatnya, Divya baru saja muncul di tengah anak tangga. Tercengang dengan kata-kata Lucius.
“Maaf mengatakannya, Divya. Tapi … kau tahu aku tak pernah menganggapmu lebih dari sekedar orang sudah begitu dekat dengan keluarga kami. Dan … kau tahu bagaimana perasaanku terhadap rencana pertunangan ini,” pungkas Lucius, kemudian melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga dan melewati Divya yang masih membeku dengan wajah pucat pasi. Dengan genangan kekecewaan di kedua matanya.
***
Pintu kamar diketuk ketika Calia baru saja keluar dari kamar mandi, seorang pelayan membawakan koper kecil miliknya. Calia berterima kasih dan meletakkan kopernya di samping meja rias. Saat itulah ponsel di dalam tasnya berdering, ia bergegas mengangkat panggilan tersebut.
“Hallo, Alex?” sapa Calia pada bosnya tersebut.
“Hai, Calia. Maaf menghubungimu di tengah cuti tahunanmu. Tapi aku punya sedikit masalah dengan berkas dengan tuan Revano. Mengenai proyek taman bunga di rumah beliau.”
“Ah, ya. Kenapa?”
“Apa kau punya salinan rancangannya? Ada sedikit masalah dengan rancangan aslinya. Tertumpah kopi panas dan tak terselamatkan. Gina tidak menyimpan salinannya, sehingga dia sulit membuatnya kembali.”
“Sepertinya aku menyimpannya. Sebentar. Aku akan memeriksanya.” Calia berjongkok. Membaringkan kopernya dan membukanya. Mulai mencari di antara tumpukan berkasnya. “Ya, aku menyimpannya.”
Kelegaan terdengar dari seberang. “Terima kasih, Calia. Kau menyelamatkan kami.”
“Aku akan memberikannya pada Caleb.”
“Oke. Besok pagi aku akan ke ruangannya. Sekali lagi terima kasih, Calia.”
“Ya, sama-sama.”
“Hmm, bagaimana keadaan Zayn?”
“Dia baik. Dua hari lagi harus menjalani kemoterapi. Keadaannya akan membaik setelah kemoterapi. Dan mungkin aku akan kembali bekerja lebih awal.”
“Kau bisa mendapatkan waktumu sebanyak yang kau inginkan, Calia.”
“Terima kasih untuk pengertiannya, Alex. Tapi aku sudah terlalu sering meminta ijin dan ini adalah cuti terakhir yang kumiliki.”
Alex mendesah panjang. “Kita bicarakan tentang ini setelah Zayn keluar dari rumah sakit. Oke? Kita akan mendapatkan solusinya bersama.”
Calia tersenyum tipis. Kehilangan kata-kata dengan kebaikan yang diberikan oleh Alex sudah terlalu banyak. “Bagaimana pun terima kasih, Alex. Aku sangat menghargainya.”
“Bukan masalah. Semoga Zayn cepat sembuh.”
“Ya, terima kasih, Alex.” Panggilan pun berakhir. Calia menurunkan ponselnya dan merapikan salinan berkas di tangannya kembali ke tempatnya.
“Siapa Alex?” Pertanyaan Lucius mengagetkan Calia yang baru saja berdiri dari jongkoknya. Nyaris membuat ponsel di tangan wanita itu meluncur jatuh.
“Lucius? Kau mengagetkanku?”
“Kau belum menjawab pertanyaanku.”
Kening Calia berkerut. “Dia bosku.”
“Kau bekerja?”
Calia mengangguk singkat.
“Di mana kau bekerja?”
Calia tak menjawab, menatap wajah Lucius.
“Tak menjawab tak akan menghalangiku untuk tahu, Calia. Tapi … di mana pun itu, sepertinya tidak penting. Sebaiknya kau segera mengundurkan diri.”
“Apa?” Mata Calia melebar. “Apa maksudmu, Lucius? Kenapa aku harus berhenti?”
“Karena aku yang memerintahmu.”
“Aku tidak mau berhenti.”
“Kau menentangku?”
“Aku tidak bisa berhenti begitu saja, Lucius.”
“Kenapa?”
Calia membuka mulutnya tapi kembali tertutup. Menatap Lucius sekali lagi dan menjawab dengan keras kepala. “Aku tidak bisa.”
“Kau bersikeras?”
Calia mendesah berat. “Ini pekerjaan yang kuinginkan, Lucius.”
“Kau lupa kau sudah tak punya keinginan untuk dirimu sendiri, ya?” Lucius melangkah maju, membuat Calia mundur ke belakang. Tapi baru satu langkah wanita itu menghindarinya, Lucius berhasil menangkap pinggang sang istri. Menyentakkan tubuh Calia ke tubuhnya dan menyambar satu lumatan di bibir.
Dan hanya butuh satu lumatan tersebut untuk membuat gairahnya meletup. Mendorong tubuh Calia ke arah ranjang dan membaringkan di sana. Setengah tubuhnya menindih tubuh Calia, tanpa melepaskan pagutannya, salah satu tangannya menahan berat tubuh di samping kepala sang istri dan tangannya yang lain mulai bergerak melucuti pakaian Calia.
Masih ada waktu untuk melihat si kembar dan pergi ke rumah sakit. Sekarang, ia menginginkan Calia. Lebih besar dari yang diinginkannya. Dan memang selalu seperti itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top