13 Sambutan Yang Dingin
Part 13 Sambutan Yang Dingin
Lucius menurunkan Zsazsa di samping Zaiden. Lalu berjongkok di depan keduanya dengan masing-masing telapak tangan memegang pundak Zsazsa dan Zaiden. “Kenapa? Kalian ingin tetap bersekolah di sini?”
“Apakah kami harus pindah?” tanya Zaiden.
“Apa papa ingin kami pindah?” tanya Zsazsa.
“Ya, papa ingin kalian pindah ke tempat yang jauh lebih baik. Lebih banyak teman, lebih luas, dan lebih segalanya yang terbaik yang bisa papa berikan pada kalian.” Lucius memberi jeda sejenak. “Hmm, ini sebagai bayaran karena tidak pernah menjadi papa yang baik selama papa pergi.”
“Papa yang terbaik.” Zsazsa menyela.
Lucius tersenyum, mengusap kepala sang putri. “Ya, tapi papa ingin menjadi lebih baik lagi untuk menjadi papa kalian. Bagaimana?”
Zsazsa dan Zaiden kembali saling pandang. Kemudian keduanya menatap Calia yang menyerahkan pilihan pada mereka sendiri. Menatap Lucius lebih lama dan serempak mengangguk.
“Dan satu lagi, mulai hari ini kalian akan tinggal bersama papa. Di rumah papa.”
Wajah Zsazsa dan Zaiden kembali membeku. Bertanya bersamaan. “Kenapa? Kenapa kami harus meninggalkan mama?”
Lucius tertawa, merangkum wajah Zsazsa dan Zaiden lalu menggeleng. “Tentu saja tidak, sayang. Kita semua akan tinggal bersama papa. Mama, Zayn –setelah Zayn sembuh tentu saja-, juga kalian berdua.”
Senyum pun mengembang di wajah mungil kedua kembar tersebut. Mengangguk dengan penuh semangat dan Lucius membawa keduanya dalam pelukannya.
“Mulai sekarang, kita akan selalu bersama,” bisik Lucius dari balik punggung mereka, dan dengan pandangan yang melekat pada Calia.
***
Dalam perjalanan menuju kediaman Cayson, Lucius tak berhenti bercerita bahwa keduanya juga memiliki seorang nenek, paman, dua tante. Juga seorang sepupu perempuan yang lebih muda dari mereka.
“Ya, namanya Cailey. Anak dari paman Lukas dan tante Rhea.” Lucius melirik ke arah Calia yang masih terdiam sejak naik ke dalam mobil. Hanya mendengarkan apa yang diucapkan dan celoteh dari kedua kembar.
Calia tentu saja menyadari arti tatapan Lucius. Saat ia masih tinggal di rumah Lucius, Lukas masih menolak perjodohan dengan Rhea. Rupanya sekarang Lukas sudah memiliki pernikahan dan seorang putri. Ada cubitan yang menyentuh dadanya, samar tapi tetap terasa. Namun … saat itu juga ia menyadari bahwa perasaan itu sudah berubah. Sepenuhnya berubah.
“Dia anak yang manis dan baik. Cailey pasti akan senang bertemu dengan kalian,” tambah Lucius kemudian pada si kembar. Yang bertanya-tanya lebih banyak lagi tentang rumahnya. Ada kolam renang, tempat bermain. Hal-hal yang tentu saja asing untuk keduanya.
Tanpa terasa, kecepatan mobil mulai melambat dan napas Calia tertahan melihat gerbang tinggi yang semakin dekat. Warnanya masih hitam dengan hiasan bunga berwarna emas. Bahkan ia masih ingat dengan baik detail bunga dan gaunnya.
“Itu rumah papa?” Zsazsa menjerit takjub begitu pintu gerbang terbuka dan bangunan bertingkat empat terlihat di hadapan mereka. Tak hanya itu, air mancur yang ada di sisi kanan dan kiri, kolam ikan di sisi tengah, juga taman bunga dan koleksi mobil di carport membuat kedua bocah tersebut menganga kehilangan kata-kata. Tak puas-puasnya memanjakan kedua mata polosnya dengan pemandangan mewah dan menakjubkan di sekeliling mobil.
Lucius pun tersenyum, sengaja membiarkan kecepatan mobil selambat mungkin akan keduanya menikmati semuanya tanpa terburu-buru. Tertawa kecil ketika Zsazsa dan Zaiden saling bertukar posisi di jendela mobil sebelah kanan dan kiri.
“Bolehkah kami keluar?” Zsazsa tiba-tiba muncul di antara jok, menjulurkan kepalanya kea rah Lucius.
Lucius mengangguk. Menghentikan mobil dan kedua kembar langsung melompat turun. Zsazsa dengan memegang pergelangan tangan Zaiden, menarik sang kakak ke arah kolam ikan. Senyum Lucius semakin mengembang melihat kedua anaknya yang dengan lincah berlari ke sana kemari.
Tetapi, kemudian perhatiannya teralihkan pada Calia yang sejak tadi masih membisu. Menatap kedua anak mereka dengan raut yang datar. “Kau tahu mamamu tak akan menyambut mereka dengan baik, Lucius.”
“Aku tahu. Tapi … mereka tak akan berani membuat anakku tidak nyaman ada di rumah papanya sendiri.” Lucius kembali melajukan mobil dan berhenti tepat di depan teras. Vania dan Divya melangkah keluar begitu keduanya turun dari mobil.
Ketidak sukaan Vania terlihat jelas ketika melihat Zsazsa dan Zaiden dari kejauhan. “Benar-benar kampungan. Jadi seperti itu caramu mendidik anak, hah? dengusnya pada Calia. Tapi, begitu mendapatkan tatapan tajam dari sang putra, Vania segera memperbaiki ekspresi wajahnya. “Mama hanya khawatir mereka jatuh ke kolam, Lucius.”
“Zsazsa dan Zaiden tahu caranya berenang. Mama tak perlu khawatir.”
Mulut Vania pun seketika tertutup rapat.
“Kita masuk.” Lucius memegang pinggang Calia dan membawa wanita itu masuk ke dalam rumah. “Apakah pengasuh untuk anakku sudah datang?”
“Ya, mereka datang siang tadi.”
“Aku ingin menemui mereka.”
Vania mengangguk. Memerintah pelayan untuk memanggil kedua wanita muda yang baru saja mereka pekerjakan.
“Kau naiklah ke atas. Kau masih ingat di mana kamar kita, kan?” Lucius berhenti di depan tangga spiral dan mengarahkan Calia untuk langsung naik ke lantai atas.
Calia mengangguk dan mulai menaiki anak tangga. Sedangkan Lucius langsung mengarah ke ruang keluarga bersama Vania.
Divya yang masih berdiri di samping tangga, bergegas menyusul Calia begitu punggung Lucius menghilang di ruang keluarga.
“Tunggu, Calia.” Divya berhasil menahan Calia yang baru saja menginjakkan kaki di lantai dua.
Calia berhenti, menatap Divya yang berhenti tepat di hadapannya. Dan seperti yang masih Calia ingat, Divya memang wanita yang begitu lancang.
“Kenapa kau kembali? Berapa banyak lagi yang kau inginkan dari Lucius dengan kembali ke rumah ini?”
“Sepertinya itu bukan urusanmu, kan?”
“Ya, itu akan menjadi urusanku. Kau tahu bulan depan kami akan bertunangan. Rencana ini sudah kami persiapkan sejak lama.”
Mata Calia melebar. “Bertunangan?” ulangnya tak percaya.
“Ya. Apakah Lucius tidak memberitahumu tentang itu?”
Calia menggeleng. “Tidak. Tapi … bukankah seharusnya kau bertanya pada Lucius. Kenapa dia tidak memberitahuku tentang ini?”
Raut Divya membeku, tatapannya menajam pada Calia.
Calia tersenyum tipis. “Setelah delapan tahun, bahkan kupikir kalian sudah menikah dan memiliki seorang anak. Tapi … rupanya masih akan bertunangan. Satu bulan lagi.”
Wajah Divya seketika memucat, matanya mendelik tajam. “Apa maksudmu?”
Calia menggeleng sambil mendesah panjang. “Tidak ada. Aku hanya mengatakan apa yang ada di pikiranku.” Ia berhenti sejenak. Menatap kedua mata Divya lekat-lekat. Memastikan wanita itu tahu bahwa dirinya bukanlah Calia yang lemah seperti delapan tahun yang lalu. Yang selalu lebih memilih diam ketimbang mengungkapkan apa yang dipikirkannya. “Sepertimu.”
Sekali lagi mata Divya membeliak dan mulut yang menganga lebar. Seolah nyaris tersedak air liurnya sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top