Satu

Nara buru-buru turun dari ojek online yang ia tumpangi, dan segera masuk ke kafe Polaris, tempatnya reuni kecil-kecilan dengan teman sekolah dasarnya. Nara lupa jika ia sudah mengiakan untuk datang di reuni itu, sehingga dengan seenaknya ia menyetujui ajakan Deska untuk membantu Mbak Lani untuk membereskan majalah dan koran lama di perpustakaan.

“Telat empah puluh menit,” gumamnya pelan sembari membuka pintu kaca ganda kafe tersebut.

Kafe Polaris didesain dengan atap kaca miring dan interior minimalis yang dirancang dari kayu. Dinding penyekatnya terbuat dari kaca grafir painting berpola not balok, yang didominasi warna-warna pastel.

Cahaya matahari sore yang kemerahan masuk melalui celah-celah atap kaca membuat suasana kafe itu terasa hangat dan nyaman. Di sudut ruangan terdapat sebuah panggung kecil lengkap dengan seperangkat alat musik yang menyertainya.

“Selamat datang, Kak,” sapa seorang pelayan perempuan ramah dengan kostum berwarna hitam, dan celemek putih yang dihiasi dengan pola not balok kecil-kecil berwarna hitam pula.

Mata Nara berkeliling, tampak kebingungan mencari sesuatu, “Eng… teman saya sudah pesan tempat, Mbak, tapi ... sebentar saya telepon dia.”

“Ra, sini.” Sesorang gadis memanggil namanya, membuat gadis dalam balutan kardigan merah anggur untuk menutupi seragamnya itu, menengok kanan-kiri mencari sumber suara.

Senyum mengembang menghiasi wajah Nara sesaat setelah menghampiri teman-temannya. “Gila ... gue kangen banget sama lo,” tukasnya sembari memeluk Nadia, si pemanggil dan tersenyum lebar ke arah teman lainnya.

“Lo yang gila! Lama banget telatnya!” sergah gadis berambut hitam sebahu dengan nada sinis, “Bukannya lo bilang nggak ada kegiatan hari ini? Gue udah laper nungguin lo sama Sam.” Nadia kembali berdecak. “Ini mana lagi si Sam. Telatnya lebih parah. Kalian pengin melanggengkan kebiasaan telat warga plus enam dua?”

“Lo nggak lupa napas kan, Nad?” tanya Nara takjub. “Lo nggak berubah ya, tetap cerewet kayak dulu.”

“Ya gitu, Ra. Lo mending beda sekolah. Lah gue, satu sekolah mana sekelas pula.” Kali ini laki-laki berambut cepak dengan warna pirang di bagian atas, ikut berkomentar.

“Diem lo, Bim,” tukas Nadia pada Bima. “Jangan macem-macem ya sama gue. Gue punya foto lo pas ngecat rambut. Gue aduin ke nyokap lo baru tahu rasa.”

Bima memutar bola matanya malas. “Ah elah ... cat temporer doang ini. Entar pulang gue guyur air juga ilang.”

Nara memandang mereka sembari menggeleng ringan, lalu duduk di sebelah Pram.

“Bosen gue lihat mereka ribut terus,” seloroh laki-laki itu sembari menyesap jus alpukatnya. “Nggak di komplek, nggak di sekolah, kayak nggak ada waktu lain aja. Untung gue nggak sekelas sama mereka.”

Nara mengangguk setuju, lalu memperhatikan Pram sejenak. “By the way, lo lebih berisi sekarang ya, Pram.”

“Iya lah. Dia rajin fitnes. Emangnya Bima, yang rajin fitnah,” sahut Nadia, lalu melirik Bima dengan sinis. “Masa nih, Ra, dia ngadu ke nyokap, gue ciuman sama pacar. Padahal mah sumpah nggak! Disuruh putus deh gue.”

Bima menghela napas kasar sebelum membalas ucapan Nadia. “Gue tuh nyelametin lo dari crocodilanus daratanensis kayak dia. Lagian nih ya--"

"Berisik banget lo berdua."

Ucapan Bima terputus dan mereka berempat menoleh ke sumber suara. Seorang laki-laki dengan potongan undercut mendekat dan duduk di hadapan Pram dan Nara.

"Nad, sumpah gue malu pas pelayan nunjukin meja ini. Omongan lo soal ciuman kedengeran sampai depan pintu tahu!" seru laki-laki itu lagi.

Nadia berdecak kecil kemudian membalas, "Lagak lo ngomongin soal malu. Nih, lihat jam berapa sekarang?" tanyanya retoris sembari menujukkan jam tangannya pada Sam.

Sam mengangkat bahunya sekilas. "Sorry deh. Gue tadi nganter pulang Princess dulu."

Seketika Nara teringat mimpinya dan memperhatikan laki-laki yang ada di hadapannya ini dengan seksama. Sudah lama mereka tak bertemu, dan banyak yang berubah dari laki-laki di hadapannya ini.

Rambut jabriknya dulu, kini berubah menjadi undercut pendek. Kulit putih pucatnya kini menjadi kecoklatan. Tentu saja dia jauh lebih tinggi dibandingkan saat sekolah dasar dulu. Hanya lesung pipinya saja yang tidak berubah dari dulu sampai sekarang.

"Gue nggak tahu kalau lo ngundang dia, Nad," kata Sam sembari melirik Nara sekilas. "Gue pikir cuma kita berempat."

Kalimat Sam membuat Nara tersadar dari pikirannya yang melanglang buana. Dari dulu memang dia dan Sam tak sedekat dengan Nadia, Bima, atau bahkan Pram. Gadis itu merasa tak nyaman, langsung menukas, "Gue sebenarnya juga nggak pengin ganggu kalian, tapi --"

"Gue yang ngajak," sela Nadia cepat. "Dulu dia juga ikutan misi ini tahu."

"Ini sebenarnya kita mau ngapain sih?" tanya Pram tak sabar. "Gue skip fitness demi undangan lo kali, Nad, tapi omongan lo ngelantur. Misi apaan maksud lo?"

Nadia tersenyum lebar. "Sebelum kita lanjut, siniin HP lo pada. Gue nggak mau ya, pas ketemuan gini malah pada main HP sendiri-sendiri."

"Tumben. Entar kalau lo mau foto-foto gimana?" tanya Bima meremehkan.

"Bukan soal foto sih, gue lebih khawatir kalau nyokap Bima telepon. Kausnya doang yang 'My Trip My Adventure', dia mah pulang maleman dikit diteleponin mulu," sindir Pram membuat Bima pura-pura akan mengajaknya gelut.

"Kalau telepon ya diangkat lah. Kalau foto bisa entar. Biar kalian nggak nunduk mulu main game."

Hanya Bima yang menggerutu saat Nadia menyimpan ponsel mereka di tote bag-nya. Selebihnya merasa setuju dengan usul gadis itu.

"Terus, misi yang lo bilang itu apa?" tanya Sam cepat.

"Sabar dong Sam, lo tahu orang kalau ngomong kan ada pembukaan, isi, penutup. Nah, biarin gue ngejelasin dulu kek."

Nadia melanjutkan ucapannya saat yang lain sudah memperhatikannya penuh. "Sebelumnya gue mau ngucapin makasih buat temen-temen yang mau dateng. Gue kangen banget sama kalian. Maksud gue Sam sama Nara. Kalau Upin-Ipin ini mah gue sering ketemu," tukas Nadia sembari melirik Pram dan Bima. "Kalau sama kalian mah hampir nggak pernah. Sama Sam aja terakhir ketemu dua tahun lalu. Sama Nara malah pas gue masih SMP, untung nomor HP lo nggak ganti, Ra."

"Gue juga kangen sama temen sebangku gue waktu SD ini." Nara tersenyum kecil. "Kayaknya gue doang ya, yang beda circle. Eh, dari dulu sih. Kalau gue nggak sebangku sama Nadia, paling lo pada nggak mau main sama gue. Kalian berempat kan bareng terus karena temenan dari TK."

"Dih, baperan. Lo ngambek gara-gara omongan gue tadi?" tanya Sam retoris.

"Siapa yang baper?" Nara tampak tak terima. "Gue cuma inget-inget waktu SD. Bener kan kalian selalu berangkat bareng karena rumah deketan."

"Kenapa malah ribut sih? Gue kan pengin kangen-kangenan sama kalian." Nadia berusaha melerai mereka. "Gue pengin nunjukin sesuatu ke kalian."

Gadis itu mengambil kotak kayu kecil dari tasnya. "Gue nemu ini pas bersihin gudang."

Empat orang di hadapan Nadia, menatap gadis itu dengan wajah penuh tanda tanya.

"Alhamdulillah gue dianugerahi ingatan yang baik ya, nggak kayak kalian," sindirnya. "Pada lupa ya? Dulu kan waktu awal masuk kelas 6, gue ngajakin nulis impian kita di kertas terus dimasukin ke kotak ini, ala-ala time capsule gitu lah."

"Oooh, yang lo bilang pengin kayak di komik Miiko itu kan?" Pram tampaknya sudah ingat.

Sam menyeringai kecil. "Komik yang lo bilang, tokoh cowoknya jabrik kayak gue dulu."

Tawa Nadia terburai lantang. "Iya, rambut lo dulu tuh jabrik kayak Tappei gitu."

"Jadi, ini misi yang lo maksud? Gue kira misi apaan. Buruan buka, gue penasaran dulu nulis apa." Bima tak sabar karena Nadia bertele-tele.

Ada beberapa gulungan kertas menguning dan foto-foto saat mereka SD ketika Nadia membuka kotak itu.

Nara terkikik geli melihat fotonya dan Nadia saat pentas kelas dulu. Mereka sama-sama menjadi pohon yang tugasnya hanya bergoyang saat tertiup angin.

Aku mau foto di depan stadion Old Trafford.

Bima Harisetya

Pram membaca salah satu gulungan yang ternyata milik Bima.

"Tulisan lo jelek banget, Bim. Bikin mata kejang."

Pram menyerahkan gulungan itu pada Bima, membuat laki-laki itu mendengus geli.

"Dulu tuh gue selalu dibangunin bokap, terus ngumpet-ngumpet dari nyokap kalau mau nonton bola malem-malem. Pas ketahuan, bokap gue yang dimarahin."

Setelah itu, Bima mengambil gulungan lain dan membukanya. Mata laki-laki membulat sempurna, kemudian terkikik kecil.

"Apaan sih?" tanya Sam sembari merebut gulungan kertas itu dari Bima.

Sam menyeringai kecil, lalu diperhatikannya gadis berambut ikal sebahu yang tengah menyesap teh lemon di hadapannya. Dalam hati, dia membaca tulisan di gulungan kertas itu.

Aku suka banget sama Samudra Andalas. Aku pengin nikah sama dia ❤

Kinara Larasati

“Jadi, dulu lo suka banget sama gue?” tanya Sam dengan seringai menyebalkan.

Burr!!!

Nara yang terkejut, menyemburkan teh lemon yang ada di mulutnya.

***

Menurut kalian, Nara masih suka sama Sam nggak ya? 😁

Halo, setelah sekian purnama akhirnya update juga 🙈 Terima kasih sudah menunggu 🥰

Jangan lupa baca cerita saya yang lain ya 😁 silakan follow instagram saya @jurnalifia untuk info lainnya 💕

Keep voting, keep posting comments, and happy reading, beloved readers~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top