Tujuh

AKU menikahi orang yang rasional. Setidaknya, begitulah pendapatku tentang Bara. Tidak selalu berarti baik, karena dia akan mengunakan logikanya untuk membahas film-film komedi romantis yang kami tonton bersama ketika hubungan kami masih baik. Itu menyebalkan. Maksudku, film komedi romantis dibuat untuk menyenangkan kaum wanita. Siapa yang peduli logis atau tidak adegannya?

"Dia baru bangun tidur, Sayang," katanya suatu ketika saat menganalisis adegan film yang kami tonton. "Dan make up-nya seperti orang yang akan pergi ke pesta. Tidak masuk akal." Dan dia akan menemukan banyak hal tidak penting lain untuk dikomentari demi membuatku kesal dan melotot padanya. Dia sangat menikmati melihatku jengkel.

"Kenapa kamu tidak tidur saja?" geramku sambil menutup matanya dengan sebelah tanganku. Membuat kepalanya yang berada di pangkuanku bergerak-gerak.

"Itu ide bagus, Sayang. Matikan televisinya sekarang supaya kita bisa tidur."

"Kamu yang tidur! Aku mau menyelesaikan filmnya dulu."

"Ya... aku kan bukan mau tidur yang itu, Sayang." Dan tangannya kemudian mulai bergerilya nakal, berusaha merusak konsentrasiku menonton. "Atau di sini saja, ya?" bujuknya. "Bisa sambil nonton, kan? Mbok Asih tidak akan ke sini jam segini. Setelah kejadian minggu lalu, dia tidak mungkin berani masuk ke sini lagi tengah malam." Kejadian yang dimaksudnya adalah pandangan horor Mbok Asih yang menjatuhkan piring yang dipegangnya ketika mendapati kami saling memagut di sofa. "Boleh, ya, Sayang?"

Astaga, apa yang kupikirkan? Aku tadi hanya ingin bicara tentang betapa rasionalnya Bara dan bukannya malah mengingat hal-hal yang membuat tenggorokanku malah kering. Sial. Racun Bara benar-benar sudah menguasai tubuhku. Bercampur rata dengan darahku. Bahkan program intoksifikasi tidak mungkin bisa menyelamatkanku.

Baiklah, pada dasarnya yang ingin kukatakan adalah Bara itu seorang yang logis. Dia baru akan bertingkah menggelikan ketika sedang sakit. Dia akan menjelma menjadi seorang anak kecil. Dia pernah sakit sekali di awal pernikahan kami. Dia yang sakit tapi aku juga harus tinggal di tempat tidur karena dia tidak mengizinkan aku ke mana-mana. Katanya dengan memelukku perasaannya menjadi lebih baik. Ada-ada saja. Mbok Asih yang bolak-balik mengantarkan makanan dan minuman sampai tersipu-sipu sendiri melihat kami. Pura-pura melengos saat melihat tangan Bara yang tidak lepas dari pinggangku ketika aku menyuapinya.

Dan hari ini aku menemukan Bara yang berselimut di atas tempat tidurku ketika pulang dari restoran. Dari selimutnya yang tersibak, aku melihat dia masih mengenakan kaus kaki. Itu bukan kebiasaannya. Dia selalu berganti pakaian sepulang kantor.

Aku mendekat perlahan. Meletakkan telapak tanganku di dahinya. Seperti dugaanku, terasa panas. Bara sakit. Kalau tidak, dia tidak akan bergelung di ranjangku saat aku tidak ada.

"Sudah pulang?" Bara rupanya menyadari kehadiranku. Matanya membuka. "Maaf aku masuk ke sini tanpa izinmu."

Ini bukan saat yang tepat untuk bicara soal kepantasan dia masuk di kamar ini ketika aku sedang tidak ada. "Kamu sakit," kataku. "Kita ke rumah sakit?" sekarang sudah tengah malam dan tempat praktek dokter pasti sudah tutup.

Bara menggeleng. "Tadi sudah minum antipiretik." Sebelah tangannya menjulur dari balik selimut. Menggapai ke arahku. "Boleh aku memelukmu?"

Itu bukan permintaan aneh ketika dia sedang sakit. "Aku belum mandi." Tapi aku ikut menggabungkan diri dengannya di atas tempat tidur. Dari selimut yang kemudian tersibak, aku melihat dia juga masih mengenakan pakaian kerjanya. Sama sepertiku. Aku hanya diam dan membiarkan Bara menyurukkan wajahnya ke leherku. Napasnya sepanas suhu tubuhnya. "Seharusnya kamu meneleponku kalau kamu sakit," bisikku dengan suara pelan. Istri macam apa aku yang tidak tahu suaminya sakit? Sita mungkin benar, aku tidak memperhatikan Bara seperti yang seharusnya.

"Hanya capek," suara Bara di leherku memang terdengar lelah. "Besok pasti lebih baik. Aku hanya perlu tidur sambil memelukmu." Dan lengannya yang melingkar di pinggangku mengerat.

Mau tidak mau aku mengusap punggungnya. Apa yang sedang kita lakukan, Bara? Mengapa harus menjadi semakin berbelit? Tidak tahukah jika aku tidak akan menemukan keberanian melepasmu kalau kamu terus bersikap seperti ini?

Kami tidur sambil perpelukan sampai pagi. Aku terbangun lebih dulu. Setelah menyingkirkan tangan Bara dari pinggangku, aku masuk kamar mandi untuk mengganti pakaian, menggosok gigi dan membasuh wajah.

Aku lalu ke dapur untuk membuat bubur. Panas Bara sudah turun, tapi aku harus membujuknya supaya mau ke rumah sakit. Dia tidak suka rumah sakit, dan tidak akan pergi ke sana tanpa sedikit paksaan. Dulu kami harus menunggu tiga hari sebelum dia mau ke rumah sakit. Itu pun setelah ibunya turun tangan membujuk. Dan hasil laboratorium menunjukkan tes widal-nya positif. Dia terkena types. Harus bedrest selama seminggu.

Aku tidak akan kecolongan lagi. Aku akan membujuknya ke rumah sakit untuk mendapatkan pemeriksaan darah lengkap.

"Tidak mau." Seperti dugaanku, Bara menggeleng kuat-kuat ketika mendengar kata rumah sakit.

Aku meletakkan mangkuk bubur yang sudah kosong di atas nakas. Tanganku menyibak selimut yang masih menutupi bagian bawah tubuh Bara. "Ini bukan permintaan. Ini perintah."

"Aku tidak apa-apa." Bara merengut. Matanya memohon. Sebelah tangannya meraih pinggangku. Rasanya sudah sangat lama dia tidak bersikap seperti itu. "Aku hanya perlu memelukmu," katanya merajuk.

Aku mendesah, mengeraskan hati supaya tidak terbujuk, lalu membalas pandangannya. "Pelukanku bukan obat, Bar." Aku menarik tangannya, mencoba membuatnya meninggalkan tempat tidur. "Kamu bisa memelukku setelah kita kembali dari rumah sakit dan dokter mengatakan kamu tidak perlu dirawat inap." Kurasa aku ketularan ketidakwarasannya dengan menjanjikan hal seperti itu.

"Sungguh?" Bara benar-benar kekanakkan dengan menegaskan hal itu.

"Sungguh. Sekarang kita harus bersiap-siap."

"Aku boleh tidur di sini nanti?"

Aku tidak tahu siapa yang lebih gila di antara kami sekarang. "Ya, kamu boleh tidur di sini."

"Janji?"

Aku memutar bola mata. "Janji."

"Baiklah, kurasa aku bisa mengatasi tusukan jarum saat mereka mengambil darahku untuk diperiksa."

Apa yang sedang kami mainkan?

"SUDAH kubilang dia mencintaimu," ujar Sita terlihat bosan ketika aku menceritakan apa yang terjadi tiga hari lalu. Hasil pemeriksaan darah Bara normal. Demamnya karena gejala flu biasa. Dokter memberinya izin dua hari untuk tidak masuk kantor. Dan untuk pertama kalinya sejak dia sakit dulu, aku tidak datang ke restoran. "Kamu saja yang bebal. Mulai sekarang kamu seharusnya fokus memperbaiki hubungan kalian dan bukan berusaha merusaknya seperti yang beberapa bulan terakhir kamu lakukan. Berikan dia kesempatan."

"Aku sudah memberinya kesempatan."

"Dan kamu menyerah sebelum waktunya."

"Aku bertahan sampai batas di mana aku tahu harus melepaskan."

"Kamu terlalu gampang melepaskan, itu masalahmu." Sita mengibas. "Tapi sudahlah, itu masa lalu. Sekarang saatnya menambal bahtera rumah tangga yang sudah kamu bolongi dengan sengaja."

Aku tahu Sita berhasil memengaruhiku. "Menurutmu aku harus memberinya kesempatan lagi?"

"Kalau kamu ingin bahagia, iya."

"Kalau tidak berhasil?"

"Orang tidak pernah tahu sesuatu itu berhasil atau tidak sebelum mencoba."

"Ana akan datang bulan depan," aku mengutarakan apa yang kupikirkan. "Mereka akan bertemu. Menurutmu aku masih bisa mempertahankan hubungan kami?"

"Ini masalah antara kamu dan Bara. Tidak ada hubungannya dengan Ana." Sita mengarahkan bola matanya ke atas. "Astaga, kamu tidak bosan mengulang-ulang hal yang sama? Kita sudah membicarakan ini jutaan kali. Kamu bisa membaca perasaan Bara dari bahasa tubuhnya. Aku tidak percaya harus mengajarimu soal itu. Pengalaman seksualmu jauh lebih banyak."

Aku menganga. "Maksudmu bahasa tubuhnya saat kami..." Gadis ini sudah terlalu lama menjadi perawan. Otaknya pasti sudah korslet dimakan usia.

Sita mengangguk-angguk sambil menyeringai jelek. "Tentu saja bahasa tubuhnya saat kalian..." dia membuat tanda kutip dengan kedua tangannya di udara. "Tidak mungkin kamu tidak tahu."

"Kamu minta dilempar sandal?"

"Aku minta kamu berhenti bersikap seperti ratu drama. Berlagak sebagai korban padahal sebenarnya kamu tersangka karena sudah membuat pria baik seperti Tuan Kulkas itu merana."

Aku menggembungkan kedua pipi. "Kamu tahu kan aku tidak pintar berbaikan. Bara akan keheranan jika aku tiba-tiba baik padanya."

"Astaga, harga diri lagi. Kamu mau bahagia tidak sih? Rasanya aku yang mau melemparmu dengan sandal sekarang."

"Tapi..." Aku masih ragu-ragu.

"Aku tidak menyuruhmu menyeretnya ke tempat tidur. Hanya bersikap baik. Itu tidak akan terlalu sulit."

Dan untuk hal-hal seperti ini aku benci menjadi seorang yang introvert.

?�=��KB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top