Lima

SAKIT itu adalah menyadari bahwa orang yang kucintai tidak melibatkan aku dalam rencana-rencana masa depannya. Dan intensitas perihnya semakin menjadi saat waktu yang kupakai sebagai persiapan menghadapi perpisahan tidak memberi hasil seperti yang kuinginkan. Alih-alih siap, aku malah sibuk dengan berbagai pengandaian.

Setelah semalam tertidur dengan telapak tangan Bara melekat di punggungku, dan akhirnya terbangun dalam pelukannya, aku kembali memikirkan ucapan Sita. Bahwa aku benar-benar harus bicara dengan Bara tentang hubungan kami. Tentang muara tempat di mana kami berakhir. Aku tidak mungkin selamanya diam dan menunggu Bara memulai percakapan tentang hal itu, karena sampai saat ini dia tidak terlihat punya keinginan melakukannya. Setahun telah berlalu sejak peristiwa itu.

Aku telah memikirkan beberapa skenario tentang hasil percakapan kami. Kemungkinan pertama, Bara akan mengakui bahwa perasaannya pada Ana tidak pernah hilang. Dia akan minta maaf telah melibatkanku dalam keruwetan hubungan mereka, meskipun tetap meminta berpisah denganku. Itu akan menghancurkanku. Tapi setelahnya aku bisa mengumpulkan remah-remah harga diri dan perlahan mulai menyusun hidupku kembali tanpa dirinya.

Kemungkinan yang lain adalah, Bara mengakui apa yang kulihat itu memang bukti bahwa Ana tetap tinggal di hatinya. Tapi dia tidak akan kembali pada kakakku karena telah menikah denganku. Dia laki-laki yang bertanggung jawab dan akan memikul semua konsekuensi keputusannya di masa lalu.

Melihat sikap dan karakter Bara, kemungkinan kedua jauh lebih mendekati kebenaran. Tapi itu tidak lebih melegakan daripada kemungkinan pertama. Sakitnya tidak lantas berkurang. Bagaimana aku harus menghadapi orang yang memilih berada di sisiku karena rasa tanggung jawab sialan itu daripada cinta?

Meskipun mencintainya, aku tidak bisa menerima pengorbanan Bara meninggalkan cinta dalam hidupnya demi janji yang telanjur dia genggamkan di telapak tangan ayahku ketika mengucapkan ijab Kabul. Itu bukan jenis sedekah yang bisa kuterima. Harga diriku terlalu besar untuk itu.

Memilih bertahan di sisi Bara dengan kondisi seperti itu sama saja menggali kuburan sendiri. Aku akan selalu teringat bahwa bukan aku yang seharusnya berada dalam pelukannya setiap kami tidur bersama. Bukan aku yang diinginkan matanya untuk dilihat pertama kali saat membuka di pagi hari.

Sita benar. Aku pasti akan menangis, sedih, dan hatiku mungkin akan pecah dan berserak menjadi kepingan kecil. Tapi aku akan mengatasinya. Aku tidak akan mati karena patah hati. Perlahan, mantra yang ditebar oleh waktu akan menyembuhkan semua luka-luka yang memerahkan hati. Suatu waktu -aku tidak tahu kapan- aku akan baik-baik saja. Ya, hanya perlu bersabar menungggu saat itu datang. Saat aku akhirnya berdamai dengan takdirku. Seperti kata orang-orang bijak, semua badai, bagaimanapun dasyatnya, pasti akan reda juga. Ada pelangi di ujung gerimis. Hanya perlu membereskan kerusakan yang ditinggalkan badai. Mengeringkan genangan yang diwariskan gerimis.

Berbekal keyakinan itu, aku menunggu sampai Sita selesai makan siang sebelum mengumumkannya. Dia suka makan, tapi pembicaraan seperti ini jelas akan merusak selera makannya.

"Aku akan bicara dengan Bara tentang hubungan kami," aku menjatuhkan bomnya setelah Sita meletakkan gelas minumannya di atas meja. Dia tahu arti Bara bagiku dan kemungkinan gelas kaca itu terlepas dari tangannya, saat aku memulai pecakapan ketika dia sedang menggenggamnya, bisa saja terjadi.

"Wow!" Sita menyandarkan punggungnya di sofa dengan mata yang tak lepas meneliti wajahku.

"Wow?" Mataku gantian menyipit melihatnya. Tidak biasanya dia hanya butuh tiga huruf untuk berita sebesar ini.

"Kamu mau aku bilang apa?" tanyanya kemudian.

"Entahlah. Sesuatu yang lebih panjang daripada sekadar 'wow', mungkin?" Aku membunyikan buku-buku jari dengan resah. Baru bicara dengan Sita saja sudah sesulit ini. Bagaimana aku bisa melakukannya dengan Bara?

"Apa yang terjadi?" Sita akhirnya bisa mengatasi keterkejutannya. "Bara mengatakan sesuatu padamu semalam?"

"Dia tidur di kamarku semalam." Aku buru-buru melanjutkan saat melihat binar menggoda dari mata Sita. "Hanya membantu menidurkanku. Hormon membuat tubuhku tidak nyaman. Tidak lebih dari itu, jangan berimajinasi!"

"Apa yang kamu harapkan dari pembicaraan yang akan kalian lakukan?" Sita akhirnya berkata setelah membiarkan jeda cukup panjang memeluk kami.

Aku mendesah. "Aku akan melepasnya," bahkan untuk diakui pada Sita terasa seperti membelah hati. "Bara pantas bahagia. Dia sudah baik padaku selama ini. Dia memang melakukan kesalahan dengan mengajakku menikah, tapi aku tidak mungkin menghukum dia selamanya untuk itu. Semua orang melakukan kesalahan. Aku juga salah saat menerima ajakan absurdnya menikah."

"Menurutmu Bara akan menerima keputusanmu?" Sita melambaikan kedua tangannya di udara. "Kita berdua tahu seperti apa Tuan Kulkas-mu itu."

Ucapan Sita sama persis dengan apa yang kupikirkan sebelumnya. Bahwa Bara akan menolak berpisah denganku atas nama tanggung jawab. Dia bisa saja membujukku tetap diam dalam pernikahan ini. Pernikahan yang melibatkan dua keluarga yang sangat dekat. Perpisahan yang bukan saja hanya membelah kami, tapi juga bisa merusak hubungan dua keluarga.

Bara mungkin saja akan minta waktu mengatasi perasaannya pada Ana. Menyuruhku menunggu sampai dia akhirnya mencintaiku. Tetap menyakitkan. Dan aku tak suka pilihan itu.

Aku sudah hidup berselimut rasa kasihan Bara lebih dari satu tahun. Dan rasanya tidak menyenangkan. Tahu dia selalu ada untukku ketika aku membutuhkannya tapi tidak bisa memberikan apa yang paling aku inginkan darinya. Cinta. Benar, cinta. Satu hal kecil sialan yang bisa membuat produksi endorfin semua orang yang merasakannya meningkat. Perasaan yang menyebarkan kebahagiaan dalam setiap sel dalam tubuh manusia. Kecuali padaku. Rasa cinta dan endorphin tidak bersinergi.

"Dia akan melepasku. Aku akan membuatnya melepasku. Semua keputusan ada di tanganku, kan?" aku ingin terdengar yakin saat mengucapkannya. Tapi getar dalam suaraku mengkhianati.

"Kamu yakin ini yang kamu inginkan?" Sita seperti tidak punya keinginan mendukungku. "Ada hal-hal yang tidak bisa kita dapatkan kembali setelah melepasnya. Hal-hal yang membuat orang hidup dalam penyesalan. Pikirkan itu sebelum kamu benar-benar mengakhirinya, Sof."

Aku mengembuskan napas berulang-ulang dari mulut. Menghalau panas yang mulai merambati wajah dan mata. Sedikit lagi aku akan menangis. Dan aku tidak suka menghadapi ini dengan air mata. Untuk sekali dalam hidupku, aku ingin melakukannya dengan benar. Tidak bersikap impulsif lagi. Lihat apa yang kudapatkan setelah menerima lamaran Bara secara membabi buta dulu.

"Aku harus melakukannya," ucapku, berusaha tegas. "Untuk diriku sendiri. Ini saat yang tepat untuk maju. Aku tidak bisa melakukannya bila masih terus bersama Bara. Akan lebih mudah mengatasi perasaan kehilangan setelah kami berpisah."

"Kamu tahu, Sof," desah Sita. "Ini akan menjadi pengulangan karena kita sudah pernah membicarakannya sebelumnya. Tapi kurasa Bara mencintaimu. Kalau tidak, dia tidak akan menerima perlakuan burukmu selama ini tanpa protes." Dia kini berdiri dan mendekati meja kerja tempatku menopangkan sebagian berat badan. "Aku menyayangimu karena kamu sahabatku, tapi akui saja kalau kamu bukan istri yang baik untuk Bara akhir-akhir ini. Kamu membiarkan Mbok Asih yang mengurusnya. Apa dia pernah pernah marah? Protes? Tidak. Apakah itu tidak cukup bukti betapa dia mencintaimu?"

"Bara memang sayang dan peduli padaku." Itu fakta yang tidak ingin kubantah. "Tapi tidak mencintaiku. Dan aku mau cintanya. Atau tidak sama sekali." Aku meringis sedih. "Ya, aku seserakah itu."

Sita terus mendekat, seolah mendesakku ke ujung jurang yang tidak ingin kutapaki. "Kamu tidak hanya serakah, Sof. Kamu juga egois. Apa yang kamu lihat memang menyakitkan hati. Tapi kamu juga harus mengakui bahwa kamu membuat asumsi. Kamu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Terkadang ada fakta lain yang tersembunyi di balik apa yang mata telanjang saksikan."

Aku menatap Sita tidak percaya. "Kamu tidak percaya padaku?"

"Aku hanya bilang bahwa ini adalah persoalan yang semestinya sejak dulu kamu dan Bara selesaikan. Bicarakan. Bukan hanya diam dan merusak diri kalian sendiri dari dalam."

"Kami akan menyelesaikannya sekarang."

Sita mengeluarkan tawa sinis yang tidak kusuka. "Dengan meminta perpisahan dari Bara tanpa peduli pada penjelasan yang akan dia berikan? Itu yang kamu sebut penyelesaian?"

"Aku...aku..." Aku tdak tahu apa yang harus kukatakan. Aku tidak mengharapkan serangan balik dari Sita ketika membukan percakapan ini.

"Kita kenal sebelum dada kita tumbuh, Sof. Aku sudah hafal apa yang sel-sel dalam otakmu pikirkan. Kamu selalu menganggap apa yang kamu pikirkan itu benar. Kamu selalu melihat semua dari sudut pandangmu. Biar kuulang kembali, kamu egois. Semua harus tentang kamu. Pernahkah kamu mencoba meletakkan kaki dalam sepatu Bara dan merasakan menjadi dirinya sesekali?"

Aku membelalak, menggeleng-geleng. Aku tidak percaya kata-kata itu keluar dari mulut Sita. "Kamu jadi tim penggembira Bara? Kukira kamu sahabatku."

"Aku mengatakan ini karena aku sahabatmu. Karena aku menyayangimu. Dan karena aku tahu pasti apa yang kamu maksud bicara dengan Bara adalah menyuruhnya duduk dan mendengarkanmu bicara. Apa pun yang akan dia katakan untuk menjawabmu tidak akan kamu percayai karena sejak awal kamu sudah memutuskan untuk tidak percaya."

"Aku tidak seperti itu!" bantahku dengan suara tinggi.

"Kamu memang seperti itu, Sof!" Sita tidak terdengar gentar. "Kamu lebih suka menggunakan kaca matamu sendiri ketimbang mencoba melihat dari sudut pandang orang lain. Akui saja!"

Benarkah aku seperti itu? Benarkah aku tidak percaya pada orang lain dan penilaiannya lebih daripada diriku sendiri? Benarkah aku selalu menjaga jarak dengan orang lain dan memasang tembok yang akan membuatku tak terjangkau bila tidak menginginkan orang tersebut dalam hatiku? Benarkah aku juga memperlakukan Bara seperti itu?

Tidak, Sita salah. Aku mencintai Bara. Sudah memberikan kesempatan pada hubungan kami sampai dia mengacaukannya. Aku kemudian memberi jarak untuk menyelamatkan hatiku. Tidak masuk akal Sita menyalahkanku untuk itu.

AKU sudah menyiapkan mental untuk bicara dengan Bara ketika memutuskan pulang dari restoran lebih awal daripada biasanya. Kami akan berpisah. Aku bisa menawarkan diri untuk bicara dengan orangtua kami karena akulah yang menginginkan perpisahan. Siap tidak siap, aku harus siap.

Tapi tidak semua rencana memang bersinergi dengan kesempatan mengungkapkannya. Aku melihat mobil Gian di halaman ketika aku tiba di rumah. Dia datang? Bisa-bisanya dia tidak memberi kabar padaku.

Mobil Bara tidak terlihat. Berarti dia belum pulang dari kantor. Aku bergegas masuk ke dalam rumah dan menemukan Gian bersila di depan televisi. Bermain game milik Bara. Mereka bisa saja berbeda kepribadian, tapi sama gilanya bila sudah berurusan dengan game.

"Hai, Dek!" Gian mengulurkan sebelah tangan saat melihatku masuk. Kepalanya hanya menoleh sebentar dan kembali sibuk dengan permainannya. "Baru pulang?"

Aku melempar tasku sembarang di sofa dan menggabungkan diri dengan Gian di atas karpet. "Kak Gian sudah lama?" tanyaku. "Kenapa tidak bilang-bilang mau datang?"

"Urusan kantor, Dek. Sudah terlanjur di Jakarta, sekalian jenguk kalian. Oh ya, aku tadi menghubungi Bara. Katanya dia terlambat karena ada meeting dengan klien. Dia bilang kita bisa makan lebih dulu."

Gian tidak tahu tentang hubunganku yang merenggang dengan Bara. Kami berhasil menutupinya dari semua anggota keluarga. Tanpa membicarakannya, aku dan Bara sepakat memberi kesan harmonis pada pandangan orang lain.

"Kalau begitu, aku mandi dulu sebelum kita makan." Aku bangkit dari duduk. "Sekalian lihat makanan yang disiaplan Mbok Asih. Atau Kak Gian mau makan sesuatu? Aku bisa memasakkannya setelah mandi."

"Tidak usah, Dek. Aku makan yang ada saja."

"Kutinggal mandi ya, Kak."

"Jangan lama-lama. Aku sudah lapar."

Aku bukan orang yang suka menghabiskan waktu berlama-lama di kamar mandi, kecuali pada saat-saat tertentu. Saat aku harus menyembunyikan air mata. Atau melarutkan kesedihan yang pori-poriku keluarkan di dalam busa bak mandiku. Selebihnya, aku lebih memilih pancuran dan buru-buru keluar setelah membasuh spons yang kugunakan menggosok tubuh.

Ada yang aneh dengan Gian. Kami makan dalam diam. Tidak biasanya dia begitu. Biasanya dia punya banyak lelucon untuk diceritakan padaku. Tapi aku tidak ingin bertanya. Sama seperti hariku yang tidak terlalu baik, Gian juga bisa saja mengalami hari yang buruk. Meskipun dengan karakternya yang supel, tidak biasanya dia menampakkan kemuraman hatinya di permukaan.

Setelah makan, Gian meraih tanganku dan mengajakku duduk di ruang tengah. Di depan televisi yang belum dimatikan setelah dia tadi bermain game. Bahasa tubuhnya tidak biasa. Maksudku, kami sangat dekat. Gian bukan orang peduli pada kemarahan yang kutunjukkan padanya. Dia tidak akan ragu-ragu mengacak rambut yang sudah kurapikan di detik terakhir aku akan keluar rumah untuk menghadiri suatu acara. Aku pernah mendiamkannya hampir sebulan karena tidak sengaja menabrak Aaron, kucing kesayangan yang sudah kupelihara selama empat tahun. Ketika itu, dia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Tetap mengajakku bercanda meski tidak kubalas. Sampai aku merasa bodoh sendiri karena seperti merasa marah pada tembok.

Pernyataan sayang Gian biasanya ditunjukkan dengan mengacak rambut, menoyor, menarik kuping, dan berbagai kekerasan fisik lain, yang tidak menyakitkan, tentu saja. Atau lewat candaan konyol.

Jadi, aku merasa sedikit aneh ketika dia membimbing tanganku dengan lembut dan mendudukkanku persis di sisinya. Dia malah menaikkan sebelah kakinya di atas sofa sehingga kami berhadapan. Kedua tanganku dikumpulkan dalam genggamannya yang besar.

"Ada apa antara kamu dan Bara, Dek?"

Itu pertanyaan di luar dugaanku. Kurasa wajahku pias karena genggaman Gian mengerat.

"Maksud...maksud Kak Gian apa?" Baiklah, itu pertanyaan yang buruk karena jawaban dan ekspresiku pasti sudah cukup manjawab kecurigaan Gian.

"Aku agak kelelahan tadi, Dek. Meeting panjang setelah dari Bandung lumayan menguras energi. Aku bermaksud istirahat sebentar di kamar itu." Gian mengarahkan kepala ke arah kamar Bara. Cukup untuk membuatku tercekat. "Dan kulihat semua barang Bara ada di sana. Pakaian, peralatan mandi, semuanya. Apa yang terjadi? Kalian pisah kamar?"

Aku membeku. Aku tidak ingin membicarakan ini dengan siapa pun sebelum membahasnya dengan Bara. Aku hanya menggeleng.

"Kalian ada masalah?" Gian mendesak. "Bara menyakitimu? Kamu tahu selalu bisa mengandalkanku, kan?"

Aku merasa mataku memanas. Kenapa sih air mata sialan itu selalu ikut campur di saat yang tidak tepat?

"Kami...kami... tidak apa-apa." Bahkan aku sendiri tidak percaya pada yang kukatakan. Keraguan itu kental terdengar.

"Kalau tidak apa-apa, kenapa harus tinggal di kamar terpisah?" Gian menyipit, seolah mencari kebohongan dari ekspresiku. Dia tidak terlihat senang. Aku hafal raut itu. Dia selalu begitu bila pulang dengan wajah babak belur ketika masih di sekolah menengah. Atau ketika bertengkar dengan ayahnya karena perbedaan pendapat.

"Itu...itu..." kuharap aku tidak segugup itu. Hanya akan membuat kecurigaan Gian menggunung.

"Kami baik-baik saja," suara Bara tiba-tiba terdengar. Aku bahkan tidak mendengar bunyi mobilnya memasuki halaman. Atau langkah kakinya. Aku menatapnya kebingungan. Dia mendekat ke arah kami. Menundukkan kepala mencium pipiku sebelum mengambil tempat di sisiku. Sebelah tangannya lalu mengelus punggungku. "Masih pegal?" tanyanya padaku.

"Tidak lagi." Aku melepaskan tanganku dari genggaman Gian ketika melihat pandangan Bara tertahan agak lama di sana. Seperti tidak suka. Tapi mungkin hanya perasaanku. Dia tahu bagaimana hubunganku dengan Gian. Tidak masuk akal beranggapan seperti itu.

"Punggungmu menyukai tanganku," ucapnya lagi. Kalimat itu seperti ditujukan pada Gian. Untuk meyakinkan bahwa hubungan kami baik-baik saja dengan membahas kedekatan fisik kami.

"Kalau baik-baik saja, kenapa mesti tinggal di kamar terpisah?" potong Gian. "Aku tadi bertanya pada Mbok Asih. Katanya kalian sudah lama tidak sekamar. Ada apa?"

"Benar tidak ada apa-apa, Kak," gantian aku yang berusaha meyakinkan. "Kak Gian tahu kan kalau aku suka menghambur dan meletakkan barang-barang sembarangan? Dan Bara sangat teratur. Kami memutuskan memakai kamar berbeda untuk meletakkan barang-barang pribadi supaya tidak terus-terusan ribut soal itu." Aku tahu itu jawaban ngawur dan sulit untuk dipercaya. Tapi Gian tahu tentang kebiasaanku menghamburkan barang-barang, dan Bara yang sangat terorganisir untuk semua hal.

"Barang kami terpisah, tapi kami tidur seranjang, kalau itu yang ingin Kakak tahu." Nada Bara tidak enak didengar. Membuatku mengernyit. Ada apa dengannya? Memang tidak nyaman membicarakan urusan pribadi kami dengan orang lain, tapi ini Gian. Dia tidak seharusnya sepedas itu. "Dan kami tidak harus melaporkan pada Mbok Asih apa yang kami lakukan, kan?"

Aku tidak tahan untuk tidak menyikut perutnya.

"Kamu tidak melakukan sesuatu yang menyakiti Sofi kan, Bar?"

"Apakah aku menyakitmu?" alih-alih menjawab, Bara malah bertanya padaku. Nadanya melembut.

Aku buru-buru menggeleng. Kenapa aku merasa ditekan dari kedua arah? Ini membingungkan. Satu hal yang pasti, ini bukan saat yang tepat untuk bicara dengan Bara untuk mengakhiri hubungan kami. Aku masih harus menunggu. Tetap diam di sisinya. Aku tidak tahu apakah harus menangis atau tertawa untuk itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top