Enam
AKU dan Ana saling menyayangi, hanya saja karena sifat kami berbeda, cara menunjukkan rasa sayang itu berbeda pula. Ana seorang ekstrovert yang menikmati berada di keramaian. Sesuatu yang tipe introvert seperti aku tidak mengerti.
Jadi, Ana tidak akan ragu-ragu menarik dan memperkenalkan aku dengan bangga pada sekumpulan temannya. Teman-teman yang aku yakin menjabat tanganku hanya sebagai basa basi untuk menyenangkan kakakku.
Aku? Aku lebih menikmati menghabiskan waktu di dalam kamar dengan tumpukan buku. Dan biasanya aku akan berada di sana sampai Ana atau Gian menyerbu masuk dan menyeretku keluar. Mereka suka menggandengku ke mana-mana. Sebelum menyadari perasaanku pada Bara, aku selalu ikut saja. Sebagai pelengkap di antara Ana, Gian, dan Bara. Aku tidak terlalu peduli mereka membawaku ke mana, karena bila bosan, aku akan segera mencari tempat nyaman dan mulai membaca buku yang selalu kubawa ke mana-mana. Dan mereka akan membiarkanku selama aku masih berada dalam jangkauan pandangan mereka.
Setelah tahu aku menyukai Bara, aku mulai membatasi gerakku di antara mereka, maksudku, Ana dan Bara. Aku merasa mengkhianati kakakku sendiri karena tidak sepantasnya punya perasaan terlarang pada kekasihnya. Bukan perasaan menyenangkan untuk dirasakan dan diakui. Butuh usaha lebih untuk tidak menunjukkannya. Dan aku lalu lebih menikmati menghabiskan waktu dengan Sita yang kukenal kemudian. Bersamanya aku tidak perlu berpura-pura karena dia tahu apa yang kurasakan pada Bara.
"Kamu menyukainya," katanya suatu ketika kami sedang berada di rumah pohon, dan mengawasi Bara dan Ana yang duduk di gazebo. Sita buru-buru membuat gerakan mengunci mulut dan membuang kuncinya jauh-jauh. "Jangan khawatir, rahasiamu aman bersamaku." Dan dia memang benar-benar menjaga rahasia itu.
Kadang-kadang aku merasa kasihan pada Ana. Pada usahanya mendekatkan dirinya padaku. Aku bukannya tidak tahu, hanya saja, jarak yang telanjur kupasang sulit untuk dirobohkan. Adik macam apa yang menyukai kekasih kakaknya? Aku memang tidak melakukan apa-apa dengan perasaan itu. Hanya duduk diam di pojokan dan memandang pria idamanku dengan kagum. Tapi aku tetap saja tetap saja seorang pengkhianat. Musuh dalam selimut. Ana terlalu baik untuk mendapatkan adik sepertiku. Aku tidak pantas mendapatkan kakak seperti dia.
Jadi meski dekat, sekat kasatmata yang memisahkan itu tetap ada. Kami akan selalu ada untuk satu sama lain, saling mendukung tapi tidak pernah sedekat ketika kami masih kecil. Saat belum ada perasaan cinta tidak tepat yang memisahkan.
Memang tidak adil bagi Ana karena dia seperti bergerak sendiri dalam hubungannya denganku. Kami akan bicara karena dialah yang lebih dulu menelponku. Selalu begitu. Dia tidak butuh alasan untuk menghubungiku, sedangkan aku akan kesulitan mencari bahan pembicaraan bila akan meneleponnya. Tapi dia tidak pernah protes atau marah. Mungkin dia sudah menerima bahwa sudah seperti itulah adiknya. Membuat rasa bersalahku semakin membumbung, tapi tidak menemukan cara mengatasinya. Aku bisa memikirkan berbagai macam cara membalas sikap manis Ana, tapi bibirku tak pernah cukup ringan membuka untuk mengulas kalimat yang akan membuat kami saling meraih kembali. Tidak, sampai saat ini.
**
Ana menghubungiku saat aku sedang membantu Mbok Asih membersihkan meja makan. Ini hari minggu dan aku memutuskan untuk sarapan di rumah. Kedatangan Gian secara mendadak bagai inspeksi, membuatku merasa harus lebih sering berada di rumah untuk menghindari terulangnya peristiwa itu. Gian bukan orang yang mudah diyakinkan bila mencurigai sesuatu. Dan jarak Bandung-Jakarta tidak akan terlalu jauh untuk menuntaskan rasa penasarannya.
"Kamu baik, Sof?" seperti biasa, suara Ana terdengar riang. Sepertinya tidak ada apa pun di dunia ini yang bisa merusak keceriaannya. Hanya satu kali aku melihatnya menangis setelah kami meninggalkan masa kanak-kanak. Saat dia berada dalam pelukan Bara. Tahun lalu.
"Baik." Aku sungguh ingin terdengar seriang dirinya. Tapi suaraku bahkan datar di telingaku sendiri.
"Restoranmu bagaimana?"
"Restoran baik." Ana sungguh tidak pantas mendapatkan perlakuan burukku. Setidaknya aku harus berusaha, maka aku melanjutkan, "Kurasa aku tidak perlu mengkhawatirkan masa depan keuanganku selama pintunya masih bisa didorong dari luar."
Ana tertawa untuk lelucon yang tidak lucu itu. "Tanpa restoran itupun kamu tidak perlu khawatir soal uang. Kamu bisa memanfaatkan Bara, kan? Dia mesin ATM yang tidak terlalu buruk."
Aku tahu. Tanpa aku harus bekerja Bara akan sanggup memenuhi semua kebutuhanku. Aku punya dua kartu di dalam dompetku yang diberikan Bara di awal pernikahan kami. Satu kartu yang bisa kupakai untuk keperluan sehari-hari, dan sebuah kartu lain dengan nilai yang jauh lebih besar yang berisi tabungan bersama. Kedua kartu yang sudah lama tidak kugunakan karena aku lebih suka menggunakan uangku sendiri untuk belanja keperluan rumah tangga. Aku hanya tidak ingin menyinggung perasaan Bara jika mengembalikannya.
"Kamu mau bicara dengan Bara?" ujung mataku menangkap bayangan Bara yang baru keluar dari kamarnya. Dia tadi masuk ke sana setelah sarapan.
"Tidak," jawab Ana. "Kami baru bicara kemarin. Sepertinya aku lebih sering bicara dengannya daripada denganmu. Kadang-kadang aku bingung, saudara kandungku itu dia atau kamu." Tawa Ana masih menggema. "Aku bergurau. Kamu tahu aku menyayangimu, kan?"
"Aku tahu." Jadi mereka sering saling menghubungi? Tentu saja! Demi Tuhan, mereka saling mencintai. Apa yang bisa menghalanginya? Aku? Itu khayalan yang terlalu tinggi. "Aku juga."
"Kamu juga apa?" Ana terdengar menggoda.
Aku hampir memutar bola mata. Aku buruk soal mengungkapkan perasaan. "Aku juga menyayangimu. Kamu tahu itu."
"Entahlah, Sof. Kurasa kamu harus lebih sering menghubungiku bila benar-benar sayang padaku."
Aku sungguh ingin menghindari percakapan seperti ini. Hanya mengingatkanku tentang betapa baiknya Ana sebagai kakak, dan aku sama sekali tidak bisa membalasnya, kecuali mungkin melepaskan Bara untuknya. Masalahnya, mau dan mampukah aku? Aku telah menanyakan pertanyaan itu cukup lama dan tidak pernah bisa menjawabnya dengan yakin.
"Kurasa aku memang adik yang buruk," kataku akhirnya.
"Kamu adik yang sempurna, Sof. Hanya saja, kadang-kadang kuharap aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu."
Ana akan terkejut bila tahu apa yang ada dalam kepalaku. "Aku akan memberitahu apa yang ingin kamu tahu kalau kita bertemu."
"Bagus. Kita akan segera bertemu. Bulan depan aku cuti. Kita akan ngobrol banyak." Ana mengambil waktu untuk jeda sejenak. "Kemarin Gian menghubungiku dan aku tidak suka apa yang aku dengar darinya."
Aku menarik napas panjang-panjang. Dugaanku benar, Gian tidak bisa diyakinkan dengan mudah. "Kak Gian berlebihan. Dia selalu berlebihan. Semua orang tahu itu."
"Itu juga yang dikatakan Bara kemarin," suara Ana terdengar serius. "Aku menyayangi kalian berdua dan tidak ingin mendengar berita yang tidak enak. Apakah Bara baik padamu?"
"Bara baik padaku," aku merendahkan suara. Ekor mataku menangkap Bara yang mengawasiku. Akan terasa aneh jika aku memunggunginya untuk merahasiakan percakapanku dengan Ana sekarang.
"Jadi kami benar-benar tidak perlu khawatir?"
"Kami baik-baik saja," tegasku. Ya, berbohong adalah satu-satunya cara yang kutahu.
Dan aku butuh waktu beberapa menit lagi untuk meyakinkan Ana, sebelum dia mau memutus percakapan.
"Ana?" Bara sudah berdiri di depanku sebelum aku menyadarinya.
Aku mengangguk. "Katanya dia menelponmu kemarin."
"Untuk menanyakan hal-hal yang tidak perlu. Dia juga menanyakan hal yang sama padamu?"
"Kak Gian membuat masalah," ujarku tanpa berusaha melihat wajah Bara.
"Itu keahliannya. Membuat semua orang khawatir."
Tapi bukankah keadaan kami memang mengkhawatirkan? Kami berdua tahu persis itu. Tahu bahwa hubungan kami bermasalah. Kami hanya menolak mengakui apalagi harus membicarakannya. Aku tahu pasti alasanku. Aku hanya tidak tahu mengapa Bara mendiamkannya. Dia yang lebih banyak dirugikan. Istrinya tidak bisa diandalkan untuk urusan apa pun.
Mungkin ini saat yang tepat untuk bicara. Aku mengembuskan napas lewat mulut sebelum mengangkat kepala untuk mencari mata Bara. "Aku... Kurasa aku..." Tidak, aku tidak bisa melakukannya. Bagaimana jika ini akan menjadi perpisahan kami?
"Kamu kenapa?" Bara terlihat sama gugupnya denganku. Jari-jarinya dilarikan dalam saku celana pendeknya. "Ada yang ingin kamu bicarakan?"
"Tidak." Aku menggeleng. Kugigit bibir bawahku. "Kamu...kamu mau kita bicara?" tanyaku tercekat. Aku menyesal menanyakannya. Bagaimana kalau Bara juga merasa ini saat yang tepat untuk menyelesaiakan hubungan kami? Aku merasa tanganku berkeringat.
Bara menggeleng cepat. "Tidak. Memangnya ada yang harus kita bicarakan?"
"Tidak."
Kami saling memandang dan sama-sama terlihat lega. Meski tahu kami sama-sama membohongi diri sendiri dengan mengatakan tidak. Mungkin kami memang masih butuh waktu untuk menghadapi kenyataan.
**
Agak butuh waktu untuk up date karena membangun cerita yang mellow untukku sedikit lebih sulit daripada romcom. Semoga dapat feel-nya ya. Tengkiu udah mampir.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top