Empat
Bagian yang ini belum disunting dengan baik, jadi typo yang terkutuk pasti bertebaran. Tolong bantu perbaiki, ya. Happy reading!
**
Meskipun tahu hubunganku dengan Bara tidak punya masa depan gemilang dan menjanjikan kebahagiaan, harapanku untuk mendapatkan anak dari hubungan kami yang tidak jelas itu tetap besar. Aku suka anak-anak. Dan karena dia yang berstatus sebagai suamiku, impian itu jelas hanya bisa diwujudkan olehnya.
Tidak, aku tidak butuh anak untuk menyatukan hubungan kami yang retak. Aku membutuhkannya untuk diriku sendiri. Sesosok makhluk mungil yang akan memberiku alasan tetap tersenyum menjalani hari meskipun Bara sudah tidak ada di antara kami. Seseorang yang bisa kusebut sebagai milikku seutuhnya tanpa merasa ragu dia akan menolakku. Seseorang yang akan menjadi tempatku menumpahkan semua persediaan kasih sayang yang kupunyai. Seseorang yang akan balik mencintaiku sebesar aku menyayanginya.
Jadi, ketika aku ke kamar mandi dan mendapati haidku hadir sesuai jadwal setelah kejadian di rumah Bara, aku sedikit kecewa. Baiklah, sangat kecewa. Aku tidak mungkin kan menemui Bara dan mengatakan, "Tolong terus bercinta denganku sampai aku hamil. Jangan salah paham, aku bukan ingin memilikimu. Aku hanya butuh donor sperma. Setelah itu kamu boleh kembali pada Ana."
Bagaimana jika Bara menatapku dengan aneh dan mengatakan, "Sperma? Aku bisa mengeluarkannya di kamar mandi dan kamu bisa mempertemukannya dengan sel telurmu di tabung kaca, kan?" atau, "Kamu yakin itu bukan hanya akal-akalanmu untuk tidur denganku?"
Aku lebih memilih melempar diri dari Monas seperti janji para politikus itu. Mati pasti lebih menyenangkan daripada menanggung malu seperti itu.
Oke, itu tadi pengandaian yang berlebihan. Aku kenal Bara dan dia tidak mungkin berkomentar seperti itu. Dia pasti akan mengabulkan permintaanku. Dia juga butuh mengosongkan testis, kan? Tapi aku jelas tidak akan meminta hal seperti itu pada Bara. Kami tidak terlalu banyak bicara lagi, dan aku tidak mungkin tiba-tiba melemparkan diri padanya. Dia pasti mengira aku sudah tidak waras.
AKU hanya sanggup bertahan sampai sore di restoran. Pegal di punggungku sangat mengganggu. Perasaan tidak nyaman seperti ini biasanya terasa sebelum periode menstruasi. Tidak pernah pada hari H seperti sekarang.
Mbok Asih membuatkan wedang jahe meskipun sudah kukatakan tidak yakin minuman itu akan berkhasiat untuk meringankan pegal di punggung. Wanita tua itu tidak ingin dibantah. Dia muncul dengan gelas besar di tangan ketika aku berbaring di sofa sambil nonton televisi.
"Mbak Sofi kecapekkan," katanya sambil mengurut betisku. "Orang capek gampang sakit, Mbak."
Aku tahu. Tapi memuaskan ego dengan membantah Mbok Asih yang terdengar tulus rasanya tidak benar. Aku hanya meringis dan menikmati gerakan tangannya yang lentur di betisku. Aku selalu suka dipijat olehnya. Sudah lama dia tidak memijatku. Terhitung sejak Bara mengambil alih tugas itu ketika aku mengeluh pegal.
"Tanganku jauh lebih kuat dari tangan Mbok Asih, Sayang," katanya waktu itu. "Pijatanku pasti lebih enak."
"Tanganmu tidak bisa dipercaya," sanggahku. "Lebih sering menjauhi tempat yang pegal."
Dan dia akan terbahak dengan mata bersinar. "Itu treatment tambahan, Sayang. Ampuh untuk menghilangkan semua jenis penyakit."
Astaga, aku mengembuskan napas kuat-kuat. Bisa-bisanya aku berpikir tentang hal seperti itu sekarang! Aku benar-benar tidak tertolong lagi.
Aku memejamkan mata, berusaha mengosongkan pikiran, dan akhirnya tertidur. Sudah lama aku tidak tidur di jam seperti ini. Tubuhku rasanya sungguh tidak enak.
Cahaya lampu yang sudah dinyalakan segera menabrak mataku begitu aku terbangun. Aku pasti tertidur lumayan lama. Sekarang sudah malam. Aku kembali memejamkan mata, menghindari silau karena mataku belum beradaptasi setelah membuka.
Tangan Mbok Asih masih terasa di betisku. Dia pasti kelelahan memijatku. Aku hendak menekuk kaki dan menyuruhnya berhenti ketika aku menyadari itu bukan Mbok Asih.
Bara duduk di ujung sofa tempatku berbaring. Kedua belah kakiku sekarang berada di pangkuannya. Entah sudah berapa lama dia mengambil alih tugas Mbok Asih memijatku.
"Kata Mbok Asih kamu sakit," suara Bara terdengar. Dia pasti menyadari aku sudah terbangun.
"Hanya pegal-pegal," jawabku pelan. Aku tidak suka nyaman yang ditebar telapak tangannya di betisku. "Hanya masalah bulanan biasa. Sudah makan?" Aku mengalihkan percakapan.
"Tunggu kamu bangun dulu. Ayo makan sama-sama."
Ritual makan bersama itu juga sudah lama kami tinggalkan.
"Aku harus mandi dulu. Rasanya tidak nyaman." Rasanya memang gerah dan aku harus mengganti pembalut. Hal yang tidak mungkin kukatakan pada Bara. Dulu mungkin percakapan tentang hal itu tidak pernah jadi masalah. Waktu itu dia dengan senang hati membantuku menghitung hari-hari di mana kami kami tidak bercinta dan hanya saling memeluk ketika tidur.
Bara tersenyum maklum. "Aku juga belum mandi. Setelah itu kita makan bersama, ya?"
Aku mengangguk seperti orang bodoh. Inilah mengapa aku lebih suka tidak berada di dekatnya. Karena dia akan membuatku merasa bersalah telah menjadi istri yang buruk untuknya. Istri macam apa yang meninggalkan rumah pagi hari supaya tidak bertemu suaminya, dan pulang setelah tengah malam?
Tapi aku harus melakukannya untuk menyelamatkan hatiku sendiri. Karena berada di dekatnya dan terus menerima perlakukan manisnya akan menggoyahkan niatku belajar tegar untuk menghadapi perpisahan. Terus bertahan di sisinya setiap saat hanya akan membuatku meragukan apa yang mataku pernah lihat dan lalu menganggap peristiwa yang melibatkan dirinya dan Ana hanyalah imajinasiku dan tidak benar-benar terjadi. Dan rasanya akan sakit ketika kami benar-benar berpisah.
Tapi mungkinkah ada rasa sakit yang lebih daripada yang aku rasakan sekarang? Aku tidak terlalu yakin.
Aku tergoda untuk tidak keluar kamar setelah mandi, tapi membuat Bara kelaparan karena menungguku tidak membuatku tenang. Aku akhirnya menyingkirkan ego dan keluar juga.
Kami makan dalam diam. Hanya sesekali Bara menyuruhku menambah lauk. Aku bersyukur saat berhasil mengosongkan piring dan akhirnya menyingkir ke ruang tengah.
Bara menyusulku tidak lama kemudian. Di tangannya ada piring buah yang sudah dikupas dan dipotong-potong Mbok Asih. Piring yang diangkutnya dari meja makan.
"Mau nonton apa?" dia mengulurkan remote yang diambilnya dari atas meja.
Aku menggeleng. Aku hampir tidak pernah nonton televisi. Hanya sesekali ketika televisi berlangganan kami menayangkan film-film bagus. "Aku tidak mau nonton," tolakku. "Kamu saja."
"Buka mulut." Sepotong melon yang ditusuk garpu sudah berada di depan mulutku. Aku mendesah resah. Tapi tak urung membuka mulut dan membiarkan Bara menyuapkan potongan melon itu.
Dulu (lagi!), kami memang biasa saling menyuap sambil nonton. Bara dengan telaten mengupas kulit ari sebuah jeruk manis sebelum menyuapkannya padaku, karena tahu aku tidak suka makan jeruk yang terbungkus kulit arinya. Atau aku yang menyuapkan camilan di mulutnya yang tidak berhenti mengunyah sambil nonton, sementara tangannya sibuk mengusap dan meremas anggota tubuhku yang berada dalam jangkauannya. Dan karena itu kami jarang sekali menyelesaikan film-film yang kami tonton bersama.
Ya, Bara seperti itu. Dia seperti terobsesi padaku. Baiklah, pada tubuhku, meskipun aku sama sekali tidak keberatan. Aku juga menyukai apa yang kami lakukan. Senang mengetahui bahwa dia tidak sedingin yang semula kukira. Jujur, kehidupan seks kami setelah pernikahan adalah masalah yang paling aku khawatirkan dan terus kupikirkan setelah menyetujui lamarannya. Kekhawatiran yang kemudian terasa menggelikan karena kami terbukti tidak mengalami kendala apa pun untuk hal yang satu itu. Bila bukan karena Ana, aku bahkan yakin dia juga mencintaiku dari caranya memperlakukan aku. Ya, bodoh, aku tahu, tidak perlu diingatkan.
"Aku mau berbaring di kamar saja." Aku bangkit dari duduk. Berdampingan seperti ini memang menyenangkan, sampai aku teringat bahwa sebenarnya bukan aku yang diinginkannya untuk berada di sisinya. Dan aku gampang sekali teringat. Ingatan yang dengan cepat mengirimkan signal ke kepala untuk segera memerintahkan kelenjar air mataku segera berproduksi. Aku tidak ingin terisak-isak di depannya seperti orang idiot. Harga diriku melarangnya.
Aku kehilangan banyak hal seiring berjalannya waktu dalam hubungan kami. Kepercayaan, harapan, keinginan bertahan meski juga tak bisa melepaskan. Banyak. Satu-satunya yang teringgal hanyalah harga diri. Dan aku bertekad untuk mempertahankannya sebisa mungkin. Entah apa gunanya untukku, tapi aku berniat tidak akan melepas harga diri apa pun yang terjadi. Aku tidak akan menjadi orang yang lebih dulu melemparkan diri padanya.
Aku meninggalkan Bara tanpa menunggu dia merespon. Setelah mengosok gigi, aku segera masuk dalam selimut dan meraih novelku di atas nakas. Aku belum lama bangun dan tidak mungkin segera tertidur.
Novel yang kubaca ini adalah seri Crossfire karangan Silvia Day. Sita yang membelinya. Aku belum pernah baca buku Silvia Day, dan sedikit ragu saat Sita menyerahkannya sambil mengedipkan mata. "Ada banyak cara yang bica dipelajari di dalamnya untuk memperbaiki hubunganmu dengan Bara."
Aku tadi sudah menyelesaikan lebih dari seratus halaman, dan sekarang yakin bahwa ini bukanlah novel psikologi. Tanda-tanda bahwa novel ini tidak akan berbeda jauh dengan Fifty Shades of Grey jelas sekali. Cara memperbaiki hubungan dengan Bara yang dimaksud Sita pasti tidak jauh-jauh dari segala macam pose yang melibatkan tempat tidur.
Aku hanya bertahan sampai sekitar dua puluh halaman sebelum melepasnya. Ini bukan bacaan yang cocok untuk kesehatan mentalku. Aku baru hendak bangkit untuk menuju lemari bukuku di sudut kamar untuk mencari bacaan ringan yang tidak melibatkan desahan, rabaan, dan keringat ketika pintu terkuak dan Bara masuk. Dia langsung menuju tempat tidur dan membaringkan tubuh di dekatku.
Aku tidak jadi bergerak. Selimut yang tadi sudah sebagiak kusibak, kukembalikan ke tempatnya. Buku yang tadi sudah kututup, kubuka kembali dengan sengaja. Bersikap seolah-olah aku memang sedang serius membacannya dan tidak berniat melepasnya.
"Punggungmu masih pegal?" tanya Bara. Dia sekarang memiringkan tubuhnya menghadapku yang telentang.
"Hmm..." Aku melarikan mata pada adegan novel yang sama sekali tidak membantu untuk bersikap normal. Eva Tramell dan Gideon Cross sedang berusaha menghancurkan ranjang sekarang.
"Mungkin kita harus ke dokter," kata Bara lagi.
Aku terpaksa menutup novel itu. Mengerikan bila Bara mengintip dan ikut membaca. Ada masanya dia mengolok-olok karena ikut membaca secara acak novel yang biasa kuletakkan di nakas untuk pengantar tidur.
"Aku tidak tahu kalau kamu membaca buku seperti ini, Sayang," ujarnya sambil tertawa. "Kupikir kamu tidak suka bacaan seperti ini." Dia meninggikan buku yang berusaha kurebut dari tangannya, sambil membaca adegan vulgar itu keras-keras. Membuatku malu dan terus mengejarnya berkeliling kamar. Setelah berputar-putar seperti anak kecil yang berebut mainan selama beberapa menit, dia membiarkan aku menarik buku itu, dan mengalihkan tangannya pada pinggangku. "Kurasa kita harus mencoba gaya yang itu, Sayang."
Bayangan itu membuatku menyelipkan buku itu di bawah bantalku. Sita sialan. "Tidak perlu dokter," aku menjawab pertanyaannya. "Ini hanya pengaruh hormon bulanan. Besok juga sudah baik."
"Berbaliklah." Bara tidak menunggu aku mengikuti perintahnya. Dia mendorong bahu dan punggungku sehingga aku membelakanginya.
"Ada apa?" tanyaku dengan suara pelan.
"Aku akan mengusap punggungmu. Kamu selalu suka aku mengusap punggungmu kalau pegal, kan?"
Ya, dulu. Tapi aku hanya menjawab dalam hati. "Aku baik-baik saja kok."
"Diam dan cobalah tidur." Telapak tangan Bara sudah menyusuri punggungku. Meninggalkan rasa hangat pada setiap usapannya. Mengapa harus senyaman itu?
"Aku belum lama bangun," kataku. "Kamu akan kelelahan bila berniat melakukannya sampai aku tertidur." Aku bertanya-tanya dalam hati. Apakah dia berniat tinggal di kamarku mala mini karena aku mengeluh tidak enak badan?
"Aku tidak akan kelelahan. Punggungmu tidak selebar itu."
Apa yang sedang kamu lakukan, Bara? Bisakah kamu tidak membuat harapanku bertunas lagi? Aku sedang berusaha membunuhnya sekarang. Tolong bantu aku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top