🍷 32. Antara Jengkel dan Senang 🍷

Malem temans. Yang udah nungguin dr. Satrio langsung cari posisi yang enak buat mbaca🤭🤭

Btw ini belum aku edit typonya. Jadi kalo nemuin itu tolong diingetin. Saia gak papa kok😁😁

Hati Satrio sedang senang. Tabiatnya yang dasarnya menyenangkan, jadi lebih menyenangkan karena hal itu. Sepanjang pagi, senyum ramah selalu tersungging dari wajahnya yang memang rupawan. Beberapa dokter obgyn yang kebetulan dinas di waktu yang sama sempat menggodanya.

"Dokter Sat, sepertinya anda sedang dalam mood yang baik hari ini," komentar Made, rekan sejawatnya.

"Tentu saja Dokter Made, Dokter Satrio kan baru pulang dari bulan madu yang sedikit terlambat," timpal Radit.

"Kita tinggal menunggu kabar baiknya kalau begitu." Ayu tak mau kalah.

Satrio berdecak. "Kalian itu, suka bener godain saya. Bosan mingkem itu mulut?" Satrio menanggapi dengan santai. "Lagian nih, ya, pada gada kerjaan gitu? Sana kerja, jangan makan gaji buta!"

"Ada hal yang memang harus membuat kita itu wajib sedikit iseng dan hari ini sepertinya giliran anda yang menjadi korban keisengan, mengingat kebiasaan anda yang suka julid," sangkal Ayu tidak terima tuduhan Satrio.

"Apa yang mau dikerjain, Dokter Sat? Poli sudah tutup dan yang di luar itu pasien fanatiknya Dokter Imelda," ujar Bambang.

"Pada nggak praktik lagi ini?" Satrio masih berusaha mengusir rekan-rekannya.

"Tidak, Dokter." Serempak Ayu, Made dan Radit menjawab.

Satrio hanya bisa menggeleng melihat kelakuan rekannya yang terkadang bisa sangat absurd, tetapi dia langsung sadar bahwa dirinya pun tak kalah dari mereka. Di beberapa kesempatan, dirinya justru lebih tidak jelas dibanding semua orang maka yang bisa dia lakukan kini hanya diam.

"Ngomong-ngomong, Dokter Sat ... saya ini punya pasien, bikin galau sebenarnya." Radit memulai pembicaraan tentang kasusnya.

"Kenapa galau?" Satrio menanggapi serius.

"Dia ini sedang proses pembukaan sekarang. Dari kehamilan delapan bulan sudah saya suruh diet karbo, tapi entahlah ... dilakukan atau tidak. Bobot bayinya melonjak hingga lima kilo."

"Bedah saja, Dokter Radit. Jangan ambil resiko," saran Satrio.

"Itulah masalahnya."

"Semalam saya sudah menyarankan begitu. Formulir sudah diberikan dan kembali dengan pernyataan tidak setuju. Setelah itu mereka meminta ganti dokter dan di sinilah saya, nggak dibutuhkan lagi oleh keluarga mereka."

Alis Satrio bertaut. "Kenapa tidak setuju?"

"Si ibu bayi bilang pengen lahiran normal, si bapak bayi bilang nggak ada biaya buat OP."

"Apa?" Satrio mendadak kaget. "Itu bukan masalah. Kalau memang tidak mampu, kita bisa bantu carikan jalan keluar. "Siapa dokter yang menangani sekarang?"

"Dokter Hutama."

Satrio mengangguk. "Ya sudah tidak apa-apa. Dokter Hutama lebih senior dari kita. Beliau pasti tahu dengan apa yang harus dilakukan," ujar Satrio.

"Masalahnya Dokter Sat, kondisi itu harus bedah. Sudah nggak mungkin bisa melahirkan normal, Anda pasti tahu kasus seperti ini.

Satrio menegakkan duduknya dan meneguk air mineral yang ada di depannya. "Kita ini hanya dokter yang bertugas membantu pasien sesuai dengan kode etik. Keputusan pasien dan keluarganya masih lebih diutamakan daripada kita. Kita bisa apa kalau mereka tidak setuju?"

"Tapi Dokter Sat ...."

"Dokter Hutama pasti bisa menangani hal ini. Biarkan saja."

Rekan-rekan Satrio mengangguk setuju.

"Kalau kalian sedang nganggur, saya pergi dulu. Mesti visit pasien sebelum praktik nanti."

Ada gelak tawa menyambut ucapan Satrio. "Dokter Sat, sih, praktik terus. Rame dia pasiennya," komentar Radit.

***

Satrio selesai praktik tepat pada pukul sembilan malam. Dengan tergesa-gesa dia keluar dari tempat kerjanya dan melangkah ke apotek untuk menjemput istrinya. Rasa lelah dan sedikit sakit kepala membuatnya ingin segera bertemu Ocean. Dia pikir bisa istirahat sejenak sebelum pulang atau mereka bisa makan malam di luar setelah dia membersihkan tubuhnya nanti.

Langkahnya hampir sampai di tangga ketika matanya melihat keberadaan orang yang dia kenal dengan baik. Seketika emosinya memuncak. Bukan tanpa alasan jika rasa marahnya muncul secepat itu. Bergegas Satrio mendatangi orang itu sebelum terjadi hal yang tidak dia inginkan.

"Apa yang kau lakukan di sini, Del?" tanya Satrio sambil menatap Delta yang seketika berhenti.

"Dokter Satrio," sapa Delta. "Apa yang Anda lakukan di sini?"

Satrio tertawa mengejek. "Tempat ini milikku, kalau kau lupa." Jarinya menunjuk Delta dengan gerakan naik turun. "Kenapa kau sampai mengendap-endap seperti maling?"

"Dokter, aku hanya ...."

"Ocean tidak ada di sini dan berhentilah mengganggu istriku. Kau ini mengerti bahasa manusia atau tidak?"

"Dokter Sat, saya ha ...."

"Aku sudah lelah berbicara denganmu. Aku mengerti kalau kau adalah teman Ocean tapi kau tidak pernah sadar kalau dia sudah menikah. Aku bosan melihat mukamu nongol setiap hari. Pak!" Satrio melambaikan tangan pada Pak Hamid, keamanan yang sudah bekerja bertahun-tahun di tempat itu.

"Ya, Dokter," sahut Pak Hamid setelah tiba di dekat Satrio.

"Perhatikan wajah orang itu," kata Satrio seraya menunjuk ke arah Delta. "Usir dia kapan pun Pak Hamid melihatnya di tempat ini. Informasikan kepada rekan yang lain."

"Siap, Dokter!"

"Sam, ada ap ... Del, apa yang kau lakukan di sini?" Ocean tiba-tiba muncul di tempat itu.

Satrio merangkul bahu Ocean dan berbalik tanpa memedulikan penolakan Delta yang diusir keluar. Satrio benar-benar malas berurusan dengan orang tak tahu malu seperti itu. Sebenarnya, dia tidak ingin melarang istrinya untuk berteman dengan siapa pun, tetapi harus ada kesadaran pula dari semua orang bahwa Ocean sudah menikah.

"Sam, ada apa? Mukamu sampai merah gitu tadi." Ocean ingin tahu juga pada akhirnya.

Satrio tidak menjawab pertanyaan istrinya. Mereka menaiki anak tangga satu per satu sementara jemari Satrio meremas lembut bahu Ocean. Satrio sedang menata emosinya dan terus mengajak Ocean melangkah hingga ruang kerja istrinya.

Satrio langsung mengunci pintu begitu mereka ada di dalam. Tangannya belum melepaskan bahu istrinya dan terus merangkulnya sampai kamar. Ocean yang diam membuatnya senang. Satrio melepaskan snelli dan melemparkannya ke keranjang saat Ocean membuka lemari dan mengambil handuk untuknya.

"Kamu sudah mandi?" tanya Satrio.

Ocean mengangguk. "Sudah. Ini jam sembilan loh, Sam," jawab Ocean sambil mengulurkan handuk padanya.

Satrio melangkah ke kamar mandi dan membersihkan dirinya. Dia tidak habis pikir mengapa teman istrinya yang tidak tahu malu itu selalu muncul di saat yang tidak tepat. Ada beberapa hal yang sedang berkecamuk dalam pikirannya. Mengapa Delta begitu ngototnya mendekati Ocean? Mengapa pria itu seakan tidak tahu malu mengejar istrinya meski Ocean jelas-jelas sudah menikah?

"Sam, cepatlah!" teriak Ocean dari luar. "Jangan lama-lama mandinya. Udah malem banget ini."

Satrio mematikan shower dan meraih handuknya.

"Baru juga mandi, Cean," ujar Satrio begitu keluar dari kamar mandi.

"Barumu itu udah dua puluh menit, Sam. Mana mandi pake air dingin."

"Tau dari mana?"

"Nggak ada uap yang nempel di kaca," sahut Ocean.

Satrio membiarkan Ocean menarik tangannya dan mendudukkannya di ranjang mereka. Ocean mengeringkan rambut Satrio menggunakan handuk lain yang dipegangnya. Sepertinya istrinya itu tahu kalau Satrio sedang sakit kepala. Dia mengeringkan rambutnya sembari memberikan pijatan lembut hingga pundaknya.

"Cukup," kata Satrio setelah merasa nyaman. "Aku pakai bajuku dulu. Habis itu kita pergi makan."

Satrio senang dengan anggukan Ocean. Sebenarnya dia merasa lebih dari sekadar senang, lebih tepatnya bahagia. Ocean lebih mengerti dirinya dan tidak ada emosi yang keluar dari istrinya. Setidaknya itu cukup sebagai langkah awal untuk mempertahankan pernikahan mereka sambil menangani masalah satu per satu.

Nah ... sudah. Aku tak ubuk syantik, mumpung udah ngantuk😝

Yang minta cepet, melipir saja ke karyakarsa, di sana udah tamat.

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top