🍷 24. Kesadaran Satrio 🍷
Siang temans. Sahabat dr. Satrio merapat yakk😁😁😁
Satrio bukannya tidak tahu kalau istrinya masuk dan keluar secepat kilat tanpa mengatakan apa-apa. Sejujurnya dia ingin Ocean marah, mengomel, atau protes di saat yang sama. Sekalipun Ocean bertindak barbar, dia tetap akan menyukainya karena Satrio menganggap bahwa itu menunjukkan emosi sehat ketika seseorang mengusiknya.
Satrio ingin merasa dimiliki seperti Alfredo dan Raphael dimiliki oleh istri-istri mereka. Bagaimana istri kedua temannya itu tampak begitu perhatian. Bahkan kedua temannya juga terlihat memuja wanita yang menjadi istrinya dan tidak malu-malu untuk menunjukkannya.
Satrio ingin Ocean berteriak untuk mengatakan bahwa dia adalah suaminya. Sebenarnya itu hanyalah keinginan sederhana, tetapi sangat sulit dia dapatkan mengingat Ocean yang tidak peduli padanya. Istrinya lebih memilih pergi daripada mempertahankan apa yang sudah menjadi miliknya.
Melihat Ocean yang tetap pasif, Satrio sadar bahwa cara untuk mengembalikan Oceannya tidaklah mudah. Dia harus memikirkan berbagai macam cara, termasuk memutus akses Ocean terhadap dunia luar sekiranya itu akan memberikan pengaruh yang tidak baik untuk hubungan mereka. Dia yakin kalau tidak lama lagi pasti akan muncul orang yang akan membuat Ocean merasa nyaman dan dibutuhkan.
Satrio beranjak dan berniat keluar ruangannya untuk menemui Ocean. Dia yakin istrinya masih berada di gudang dan mengurusi pekerjaan yang mulai menggila seiring naluri bisnis Ocean yang menuntut untuk diwujudkan.
"Mas Dokter mau ke mana?" Lina bertanya setelah menelan makanan yang berada dalam mulutnya.
"Memangnya apa hakmu bertanya? Lagian harus, ya, kamu bawa makananmu dan makan di sini?" Satrio balik bertanya.
"Aku kan hanya kangen, Mas Dokter. Susah banget sih mau ketemu aja," protes Lina.
"Masalahnya ... kamu nggak ngerti kalimat. Aku sudah menikah."
"Istrimu tak perhatian. Apa yang bisa dibanggain?"
Satrio terdiam seketika. Ada kemarahan yang mendadak muncul dalam dirinya. Dia tidak suka ketika ada orang menilai perhatian Ocean padanya. Tunggu ... mengapa Lina mengatakan kalau Ocean tidak perhatian padanya?
"Kamu tahu, ya, kalau Ocean nggak perhatian?" Satrio penasaran.
"Tahu dong, pake banget. Aku beberapa kali ketemu dia dan dia bilang nggak peduli sama Mas Dokter."
Sepasang alis Satrio berkerut. Lina mengatakan kalau Ocean tidak peduli padanya? Bagaimana Lina bisa berbicara pada Ocean sementara mereka tidak saling kenal?
"Kamu kenal istriku?"
"Ehm ... nggak sih. Cuma sambil lalu aja."
Satrio meyakini sesuatu dan meraih gawainya di atas meja. Baru dua langkah berjalan, Lina kembali menghentikannya.
"Tunggui aku makan, Mas Dokter. Aku belum selesai ini," ujarnya.
"Aku nggak ngundang kamu ke sini. Lagipula aku bukan pengasuhmu. Mulai jaga batasanmu, karena aku tidak menyukainya."
Satrio berlalu tanpa memedulikan ucapan Lina yang masih mencoba terus menahannya. Langkah lebar Satrio membawanya sampai di gudang lebih cepat dari yang seharusnya. Penanggung jawab gudangnya langsung menyongsong dan mengucapkan salam.
"Selamat siang, Dokter. Tumben ke sini."
Satrio mengangguk. "Siang. Mana istriku?" tanya Satrio tanpa basa-basi.
"Bu Ocean baru saja pergi mengantar barang," jawab karyawannya lancar.
"Mengantar barang? Bukankah pikapnya masih digunakan untuk mengantar permintaan ke rumah sakit?"
"Dokter Satrio belum tahu? Tadi Bu Ocean sempat mengeluh tentang pikap. Beliau pergi dan kembali sudah membawa pikap baru. Barang pesanan dinaikkan dan beliau menyopir sendiri."
Menyopir sendiri. Emosi Satrio langsung naik sampai ke kepalanya. Bagaimana mungkin istrinya menyopir sendiri dan mengantarkan barang sementara beberapa pria hanya berada di gudang.
"Dan kamu biarkan? Itu istriku!" serunya Satrio tanpa sungkan.
"Maaf, Dokter, tapi kami tidak berani melarang."
Emosi Satrio yang rasanya sudah sampai di ubun-ubun perlahan menurun. Dia baru menyadari kalau tidak akan ada yang berani melarang Ocean, bukan karena takut melainkan sungkan. Tanpa kata Satrio meninggalkan gudang. Pikirannya kacau mengingat semua kejadian yang rasanya begitu cepat seolah tanpa jeda.
Dengan kepala yang rasanya panas, Satrio masuk ke ruangan Athena tanpa mengetuk pintu. Dia menghempaskan dirinya di sofa lalu memejamkan matanya sejenak. Saat matanya terbuka, tatapannya langsung bertemu dengan mata tajam Raphael yang seolah menuduh dan Athena yang menyiratkan rasa ingin tahu.
"Kalian suami istri sama-sama kepo," kata Satrio malas.
"Kalo aku sih ... nggak dijawab juga nggak papa." Athena menanggapi.
"Kalau nggak mau kami kepo, jangan ke sini. Kedatanganmu itu sudah pasti ngerepotin istriku," timpal Raphael.
"Lagian ngapain kamu di sini jam segini Raph? Poli jantung sepi?"
"Syukurlah sepi."
"Sesat. Polinya sepi malah bersyukur," omel Satrio.
"Harus bersyukur, artinya yang sakit sedikit," kata Raphael.
Satrio benar-benar sedang malas berdebat. Raphael yang minim bekerja sudah pasti memiliki banyak energi untuk menghinanya tanpa ampun. Temannya itu benar-benar tidak akan melihat situasi dan kondisi jika berurusan dengan menghina.
"Masalah Ocean lagi?" tanya Athena tepat sasaran.
Satrio mengangguk seolah hanya itu yang bisa dia lakukan terlebih dahulu. "Begitulah." Mengalirlah cerita dari Satrio sementara Athena mendengarkan dengan saksama.
"Cemburu itu," sahut Athena enteng.
"Gimana cemburu? Mencintai aku saja dia tidak," keluh Satrio. "Dia memilih pergi daripada berkonfrontasi untuk mempertahankan aku."
"Nih!" Raphael meletakkan segelas besar air es di hadapan Satrio. "Guyurkan ke kepalamu biar kamu sadar perasaan istrimu," lanjutnya. "Kupikir aku dan Al itu sudah nggak peka. Eh ... kamu lebih parah."
"Maksudmu apa, Raph?"
"Mas Sat ...." Athena menengahi. "Ocean itu berbeda. Jika dia normal, mungkin Mas Sat bisa lihat dia begitu. Masalahnya kan dia ...."
"Aku harus gimana, Bayiku?"
"Lupakan keinginan buat lihat dia posesif. Untuk sekarang, asal dia berani saja itu sudah bagus."
"Tapi apa masalahnya? Aku ini nggak paham, Bayi."
"Orang dengan sedikit gangguan itu cenderung menghindari masalahnya. Jadi Mas Sat harusnya tahu apa yang dihindari oleh Ocean."
Seperti palu menghantam kepalanya, Satrio menyadari sesuatu. Ocean menghindari masalahnya dan itu adalah ....
"Bayi aku harus bagaimana untuk mengatasi masalah itu?"
"Intinya ya buat dia menjadi lebih percaya diri. Pastikan dia tahu kalau dia lebih penting dari apa pun. Dan yang terutama, dia harus berdamai dengan dirinya terlebih dahulu, ini bagian tersusahnya."
"Akan kuusahakan."
"Halah gayamu usaha. Modelmu nggak bisa lepas dari wanita. Playboy cap kakap ya tetap akan begitu sampai tua," omel Raphael.
"Mulutmu, Raph. Athena sial dapat kamu sebagai suami. Nggak beda sama pisau mulutmu itu, ngaca tidak?"
"Aku pusing dengar kalian saling mencela. Bisa-bisa anakku lahir prematur mendengar papa dan omnya menyebalkan setiap hari," jerit Athena.
Satrio tergelak sementara Raphael hanya bisa diam tak berkutik. Semua yang disaksikan Satrio benar-benar menarik. Dia hanya berharap sesegera mungkin mendapatkan anugerah yang sama. Memiliki rumah tangga menyenangkan dan bayi-bayi lucu yang akan meramaikan rumahnya dengan teriakan heboh menyambut kedatangannya.
Nah kan, sadarnya lambat amat, Mas Sat. Kelamaan ngubur kepala dalem pasir tuh😝😝
Btw yang suka baca cerita Mas Satrio udah follow saya belum? #malakfollow 😁😁
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top