🍷 22. Jadi, Kenapa? 🍷
Malem temans. Hyuk temannya dr. Satrio merapat.
Satrio menyelesaikan praktik sorenya setengah jam lebih cepat. Dia meninggalkan ruang kerjanya begitu saja dan pergi ke apoteknya. Langkah lebarnya terlihat santai dan senyumnya tersungging disertai anggukan kepala ramah saat beberapa orang menyapanya. Seorang petugas kebersihan sempat menyapa dan mengabarkan kalau Alfredo menitipkan sesuatu di meja pendaftaran. Satrio juga hanya mengangguk tanpa repot-repot untuk berbalik dan mengambil titipan temannya.
Fokusnya hanyalah kantor Ocean. Dia lelah dan ingin membersihkan diri sesegera mungkin. Memasuki kantor Ocean, Satrio melihat istrinya itu sedang sibuk dengan komputernya. Fokusnya tak teralihkan meski pintu dia tutup agak kencang. Satrio menghempaskan dirinya di sofa panjang dan menatap Ocean dalam diam.
Ocean dan pekerjaannya,rasanya seperti melihat sebuah dunia yang selama ini belum pernah dilihat oleh Satrio. Ocean yang sulit untuk ramah dan bersosialisasi menjadi sosok yang berbeda ketika berhubungan dengan pekerjaannya.
"Cean," panggil Satrio. "Kenapa tiba-tiba ada SPG susu di tempat praktikku?"
Ocean masih terus mengetikkan sesuatu di komputernya. Mata Satrio terus melihat istrinya, tidak memaksa untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang dia ajukan. Satrio memejamkan mata, mengusir lelah dari tubuhnya.
"Pertanyaan apa itu, Sam? Jelas supaya laku dan pasienmu beli susu hamil itu. Diskonku gede soalnya," jawab Ocean setelah beberapa saat.
Satrio membuka matanya. Ocean sudah bangkit dari duduknya dan mengambil segelas air putih untuknya. Satrio menerima air itu dan menandaskannya seketika. Setelah meletakkan gelasnya di meja, Satrio kembali menyandarkan tubuhnya.
"Belum pernah ada SPG yang bekerja seperti itu di tempat praktikku," kata Satrio. "Rasanya aneh saat aku tidak perlu lagi menjelaskan soal nutrisi dan asam folat pada pasien yang masuk."
"Salah sendiri menolak kerja sama dengan produk itu. Sebenarnya mereka sedikit mengurangi lelahmu, kalau kamu mau mikir."
Satrio mengerutkan alisnya, tidak mengerti dengan pernyataan Ocean. Doa tidakmerasa menolak apa pun. Sejauh ini, dia hanya berpikir tentang bekerja dan tidak ada hal lain yang berhubungan dengan kerja sama dalam bentuk apa pun. Seingatnya, kerja samanya hanya dengan Raphael dan Alfredo saja.
"Menolak apa maksudmu?"
"Produk susu itu pernah mengajukan kerja sama padamu dan menurut mereka kamu menolaknya. Aku nggak peduli hal itu, karena sekarang semua urusan apotek ini adalah bagianku, maka terserah aku mau bagaimana. Bener begitu, 'kan, Sam?"
"Tentu saja terserah kamu, Istriku. Asal kenyamanan pasienku tidak teranggu, tapi katakan padaku maksud dari aku menolak produk itu," pinta Satrio.
Ocean mencibir. "Udah aku bilang, dasar males nyimak."
Satrio kembali menganalisis kalimat Ocean. Dia memang benar-benar tidak mengingat apa pun mengenai kerja sama yang dia tolak. Katakanlah Satio tidak mempunyai ingatan jangka panjang, tetapi untuk pekerjaan ... dia merasa semuanya masih dalam kontrolnya.
"Aku nggak pernahmenerima pengajuan kerja sama," tutur Satrio setelah beberapa saat.
"Masa? Trus siapa yang mengurus apotek ini sebelum aku?"
"Aku. Beberapa urusan dibantu oleh Lina dan semuanya menjadi urusanmu sejak kamu datang ke sini. Nggak ada lagi yang bantu kecuali orang-orang yang sudah kamu tunjuk sendiri."
Satrio melihat Ocean yang langsung menarik diri. Dia tidak tahu alasannya, tetapi ada sedikit titik terang yang mulai dia dapatkan. Ketidaknyamanan Ocean harus disingkirkan dan Satrio berusaha keras untuk itu. Memang ada yang salah dalam tingkah laku Ocean. Bukan secara umum, tetapi dalam waktu-waktu tertentu bisa sangat mengganggunya.
"Ayo pulang, Sam," ajak Ocean. "Kamu kelihatan lelah banget."
"Tidur sini aja, Cean. Aku ngantuk."
Ocean mengangguk dan membuka pintu begitu mendengar ketukan dari luar. Setelah menerima sesuatu, Ocean mengunci pintu dan duduk di samping Satrio. Satrio sendiri hanya memerhatikan semua yang dilakukan Ocean dalam diamnya.
"Apa itu?" tanya Satrio spontan tepat setelah Ocean meletakkan kantong di meja.
"Kepo," jawab Ocean.
"Aku kepo aja kamu nggak terbuka, gimana kalau aku nggak kepo?"
"Mandi dulu, Sam," saran Ocean. Habis itu kita makan. Itu sate landak, tadi aku pesan, kupikir mau dibawa pulang. Kamu minta tidur di sini ya udah, kamu mandi aja sementara aku siapin makan malamnya."
Satrio menyeringai, menyukai semua kegiatan Ocean yang menurutnya cocok sekali sebagai istri. "Mandi bareng, yuk," ajaknya.
"Aku sudah mandi," sahutOcean langsung. "Lagian kamu bilang ngantuk, jadi cepetan."
Satrio bangkit dengan tawakeras. "Kalau aku nggak ngantuk, berarti boleh, ya Cean?"
"Sam!" jerit Ocean.
Tawa Satrio makin keras ketika Ocean mendorongnya masuk ke kamar. Masih dia dengar rentetan omelan Ocean saat mulai membersihkan diri. Guyuran air hangat terbukti ampuh untuk mengembalikan semangatnya. Satrio melihat deretan produk perawatan kulit dan mengambil salah satunya serta menggunakannya. Senyumnya mengembang memikirkan betapa menyenangkan aroma Ocean terhirup oleh indera penciumannya.
"Sam, cepatlah," teriak Ocean dari luar.
Satrio keluar dan mengenakan pakaian yang disiapkan oleh istrinya. Dia meletakkan handuk di tempatnya dan bergegas keluar lagi setelah mengenakan sandal rumahan yang dia ambil dari bawah tempat tidur.
Pikiran Satrio terus berputar pada ucapan Ocean sesaat sebelum dia mandi. Tentang penolakan kerjasama yang katanya pernah ditolaknya. Bagaimana dia bisa menolak ketika dia merasa tidak pernah menerima pengajuan kerja seperti yang dikatakan Ocean. Satrio bingung, sepertinya ada yang tidak beres dengan orang-orang yang bekerja padanya.
"Cean ... aku benar-benar penasaran soal uacapanmu mengenai kerja sama yang tadi itu," ujar Satrio di antara suapannya.
"Makan dulu, Sam," sahut Ocean.
"Nggak bisa. Aku beneran pengen tahu."
"Singkatnya kamu menolak. Udah gitu aja.
"Kalau aku ngerasa nggak pernah menolak, lalu apa pendapatmu?"
"Artinya kamu memelihara ulat."
"Nggak mungkin!" seru Satrio.
Satrio melihat senyum Ocean. Jenis senyum meremehkan ketika mengetahui kebodohan seseorang. Satrio tidak menyukai senyum itu, tetapi dia memang harus mengetahui apa pun yang sudah diketahui oleh Ocean.
"Apanya yang nggak mungkin? Aku sudah mempelajari usahamu ini dan kamu merugi setidaknya seharga mobil yang kamu kendarai itu. Masih bilang nggak mungkin?"
"Maksudmu?"
"Selisih stok barang dan tagihan yang belum dibayarkan padahal menurut laporan sudah dibayar. Beberapa tagihan sudah jatuh tempo, makanya kamu nggak bisa order beberapa produk dan untungnya itu bukan jenis obat yang bisa diminta rumah sakit Mas Al."
Satrio terdiam mendengar penjelasan Ocean. Berapa lama istrinya itu bekerja dan kebusukan administrasinya langsung terbuka. Apa kata Ocean tadi? Merugi seharga mobilnya ... bukan kerugian yang fantastis, tetapi tidak bisa dibiarkan.
"Berapa yang harus kita bayar untuk tagihan yang jatuh tempo itu ...."
"Sudah aku bayar," potong Ocean. "Aku mempelajari semuanya dan menggunakan uang usahamu bergantian. Kamu nggak perlu memakai uang tabunganmu."
Satrio tercengang mendengar penuturan Ocean. Sepanjang yang dia ingat, tagihannya tidak pernah sedikit dan Ocean membereskannya dengan keuangan yang ada. Rasanya berat untuk memercayai pendengarannya, tetapi semua bukti yang disodorkan Ocean benar adanya. Satrio melihat lembaran bukti pembayaran yang dinyatakan lunas berikut nota pemesanan yang datang 2 hari setelahnya.
Benar-benar luar biasa pekerjaan istrinya itu. Satrio mengakui, Ocean memiliki naluri bisnis yang sangat tajam. Dia juga melihat beberapa arsip kerja sama yang sudah diterima Ocean berikut penambahan diskon untuk beberapa produk yang dia tahu memiliki penjualan besar.
"Produk-produk itu nggak mungkin kasih tambahan ke kita loh, Cean. Apalagi setelah telat pembayaran." Satrio tidak mengerti.
"Aku kenal mereka. Pemasok susu, popok sekali pakai dan semua keperluan ibu dan anak. Mereka memberikan sedikit keringanan dengan menambahkan satu kali kiriman pada kita. Jadi dengan itu keuangan apotek bisa kubuat stabil dan kuharap kamu percaya padaku."
"Istriku, kamu ...." Satrio tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Apa yang dilakukan Ocean adalah sesuatu yang tidak pernah dia duga dan dia hanya bisa mengangguk.
"Jadi kamu percaya aku?"
"Lakukan apa saja semaumu, Cean. Usaha ini milik kita. Aku pikir kita merugi banyak."
"Bukan merugi, Sam," tukas Ocean. "Hanya saja uangmu telah dicuri, tapi jangan khawatir, semuanya nggak akan terjadi lagi."
Satrio menyadari satu hal, bahwa memang ada hal yang sangat salah telah terjadi dalam usahanya. Setidaknya sudah ada Ocean yang mengatur semuanya dan dia tetap fokus pada kerjanya sendiri. Menikah benar-benar menyenangkan, begitu pikir Satrio.
Auto mumet niyy mikirin tokonya Mas Satrio😁😁😁.
Yang mau duluan mbaca, silakan melipir ke Karyakarsa.
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top