🍷 21. Masih Tertolong 🍷
Malem, temans. Sahabat dr. satrio langsung merapat kuy 🥰🥰
Ocean baru saja tiba di apotek pagi itu ketika Lina sedang berteriak pada Devi, kasir yang bertugas pagi itu. Langkahnya terhenti, ingin berbalik dan meninggalkan tempat itu. Namun, rasa tanggung jawab sebagai atasan mengalahkan semua rasa di hatinya. Melangkah tanpa ragu, Ocean mendekat dan berhenti persis di dekat mereka berdua.
Melihat kehadirannya, Devi dan Lina langsung terdiam. Devi sedikit mengangguk dan mengucapkan selamat pagi pada Ocean yang hanya dibalas dengan anggukan. Sementara Lina hanya terdiam dan terus menatap garang pada Devi.
"Ada apa?" tanya Ocean.
Devi dan Lina saling pandang. Lina seperti menyiratkan sesuatu yang dapat dilihat Ocean dengan baik.
"Devi?" Ocean mendesak.
"Mbak Lina marah karena kunci tempat pajang susu diganti, Bu," jawab Devi.
Kedua alis Ocean bertaut. "Kenapa harus marah? Lina di sini sebagai apa?"
"Apoteker, Bu."
Ocean terdiam dan mulai mengerti ke mana semua hal itu terjadi. Stok susu dan vitamin yang memiliki banyak selisih antara jumlah fisik dan yang tertera di komputernya. Ocean memahami satu hal, bahwa Lina ada suatu kepentingan.
"Kembali bekerja, Dev," titah Ocean.
Devi berlalu setelah mengangguk sopan pada Ocean. Tinggal Ocean yang terdiam dalam tatapan tajam mata Lina. Senyum sinis di bibir Lina mengingatkannya pada senyum culas seorang ibu tiri di televisi.
"Merasa hebat hanya karena bisa mengganti kunci rak pajang untuk susu dan vitamin?"
Menyembunyikan seluruh ketidaknyamanan dalam dirinya, Ocean menatap wajah Lina. Wajah cantik dengan riasan yang menurut Ocean sedikit berlebihan dilengkapi dengan lipstik berwarna merah terang. Sangat berani, tetapi itu bukanlah hal yang akan dipermasalahkan oleh Ocean. Ocean hanya tidak suka jika sesuatu yang menyangkut pekerjaan menjadi tidak beres.
"Aku yang mengganti kunci, kenapa kamu yang rame?"
"Akan kulaporkan pada Mas Satrio," ancam Lina.
"Kau akan melaporkan Ocean pada suaminya? Tahukah kau kalau apotek ini adalah milik Ocean? Jam berapa ini dan kau masih berkeliaran? Kepengen dipecat?" Suara tajam dengan kalimat pedas terdengar dari belakang Lina.
Lina menoleh dan langsung menunduk. "Dokter Raphael, selamat pagi," sapanya.
"Mas Ael." Ocean turut menyapa Raphael.
"Kenapa masih di sini? Beneran mau kehilangan pekerjaan?"
Lina langsung berlalu dari hadapan Ocean dan Raphael. Tanpa sadar Ocean mengembuskan napas yang sedari tadi ditahannya. Ada kelegaan luar biasa setelah kedatangan Raphael. Ocean selalu merasa betapa banyak keberuntungan yang dia dapatkan ketika dia bertemu dengan Lina.
Ocean tidak tahu sampai kapan keberuntungan akan terus memihaknya, tetapi Ocean harus menguatkan hatinya untuk menghadapi ketakutannya. Sumber masalahnya harus dia singkirkan jika memang dia ingin hidup tenang. Itu artinya dia harus siap masa lalu dan seluruh kesakitannya muncul ke permukaan.
"Teruslah seperti itu, Ocean. Jangan terintimidasi oleh siapa pun."
"Mas Ael ngomong apa?" Ocean tidak mengerti.
Raphael menyunggingkan senyum lebar. Itu adalah senyum pertama yang dilihat Ocean tanpa keberadaan Athena. Rupanya suami Athena ini juga bisa ramah, dia kira hanya bermulut pedas saja seperti yang dia ketahui selama ini.
"Meski aku bukan istriku, percayalah kalau aku cukup tanggap dengan apa yang terjadi. Semangatlah dan ini ...." Raphael mengulurkan sebuah kotak pada Ocean. "Nasi kuning buatan Athena. Katanya untukmu."
Ocean menerima kotak yang dibawa Raphael. "Makasih, Mas Ael. Kapan hari sop, sekarang nasi kuning. Bisa kenyang tanpa modal nih aku."
"Aku praktik dulu." Raphael langsung pergi setelah anggukan Ocean.
Ocean melanjutkan langkahnya ke atas. Memasuki ruang kerjanya, Ocean meletakkan tas dan kotak makan titipan Athena di meja. Tatapannya langsung tertuju pada anthurium di belakang kursinya. Bunganya yang bermekaran membuat suasana hatinya membaik. Ocean mengambil gunting dan memotong tangkai-tangkai yang sudah mulai mengering.
Selesai dengan bunganya, Ocean duduk di kursi kerjanya. Tangannya terulur meraih air putih yang sudah disediakan ketika matanya menangkap sebuah foto berpigura kaca. Alisnya bertaut, dia merasa tidak meletakkan apa pun di sana selain sebuah gelas biru pemberian ibunya. Dalam foto itu ada gambarnya yang tersenyum lebar dalam pelukan Satrio.
Ocean tersenyum miris mengingat betapa naif dirinya dulu. Hanya dengan ucapan cinta yang begitu sering diucapkan oleh Satrio, dia jatuh begitu saja pada pesona pria menarik itu. Sangat-sangat terpesona hingga dia terlena dan melupakan sesuatu yang penting. Kejujuran tidak pernah menjadi milik mereka dalam hubungan singkatnya dengan Satrio.
Ocean terus menatap foto itu dalam diam. Menyadari betapa enam tahun telah sia-sia ketika akhirnya dia kembali bertemu Satrio dan menikah tanpa persiapan. Ocean tersenyum dalam hati, betapa takdir mempermainkannya hingga sejauh ini. Susah payah dia menjauh dan keluar dari kehidupan Satrio, tetapi justru kembali dalam kehidupan pria itu dalam hitungan jam dan dia yakin akan susah untuk menjauhinya kembali.
Apa yang Ocean khawatirkan adalah jika ada anak yang hadir dalam kehidupan mereka. Itu artinya dia akan terjebak dalam kehidupan tanpa cinta demi anak mereka. Ocean bisa mencegah kehamilan jika mau, tetapi hal itu sudah terlambat mengingat dia yang selama ini melupakan tindakan pencegahan itu.
Tidak ada waktu untuk menyesali diri, Ocean menyalakan komputernya. Memeriksa stok terakhir dan semuanya aman sesuai dengan yang dia harapkan. Pembayaran yang jatuh tempo dan permintaan baru yang harus segera dikirim ke sales produk atau dia bisa menunggu hingga sales berkunjung dan mengambil pesanannya.
Suara ketukan dari luar memutus konsentrasi Ocean. Dia mempersilakan siapa pun yang berada di balik pintu supaya masuk sementara dia meneruskan pekerjaannya yang tinggal sedikit lagi. Suara pintu terbuka dan kembali menutup belum membuat Ocean mengalihkan pandangannya dari komputer.
"Selamat pagi, Bu Ocean," sapa tamunya.
Ocean langsung mengalihkan tatapannya pada tamu yang suaranya dia kenal baik. "Pagi. Loh kamu SPG yang suka saya suruh masuk hari Minggu, 'kan? Ngapain di sini?"
"Benar, Bu. Di sini demi omset," jawab si SPG dengan senyum sopan.
Ocean mengangguk paham. "Trus ngapain ke sini?"
"Saya SPG susu hamil sekarang, Bu. Mau ditempatkan di apotek ini. Sejak dengar Bu Ocean kerja di sini, saya keluar dan ngelamar di produk ini," jelasnya.
Alis Ocean bertaut dan menatap SPG itu dengan teliti. "Susah jualan susu, kenapa kamu malah pindah, sih?"
"Saya suka kerja dengan Bu Ocean."
Ocean tertawa pelan. "Suka saya suruh-suruh, ya? Aneh banget."
"Omset saya tergantung kebaikan hati Bu Ocean. Apa pun saya mau ikutin."
Ocean mendengarkan ucapan SPG itu dengan penuh perhatian. Gadis itu mengatakan kalau dia menyukai cara kerja Ocean yang meskipun memintanya menukar hari libur, tetapi hasil yang didapat benar-benar sebanding.
"Baiklah ...," kata Ocean setelah cukup mendengarkan. "Saya bisa menaikkan order ke kantormu, tapi saya nggak mau kalau diskon saya nggak ditambah.
Si SPG mengeluarkan amplop dari tasnya dan menyerahkannya pada Ocean. Ocean menerimanya dan membacanya sekilas kemudian tersenyum lebar.
"Baiklah, kamu mau masuk sore? Saya butuh kamu antara jam 6 sampai 9 malam. Pasiennya Dokter Satrio banyak, kamu tawarkanlah di sana setiap hari Senin sampai Jumat. Kalau Sabtu biasanya pagi jam 7 sampai 9 saja. Bisa?"
"Bisa, Bu. Jam berapa pun saya mau kalau itu mau Bu Ocean. Tapi ...." SPG itu ragu. "Dokter Satrio pernah menolak kerja sama dengan produk kami, Bu."
"Serahkan saja padaku. Lakukan tugasmu seperti biasa. Datang mulai nanti sore dan hubungi saya kalau kamu sampai. Akan saya antarkan ke tempat praktiknya Dokter Satrio.
Ocean kembali meneruskan pekerjaannya setelah kembali sendirian dalam ruangannya. Senyumnya masih terus mengembang karena keberhasilannya mendapatkan diskon-diskon besar untuk setiap produk yang dia jual. Beberapa apotek sudah mulai mengambil barang dari tempatnya dan itu membuatnya senang. Ocean meraih gawainya dan membaca pesan yang masuk.
"Aku makan siang sama kamu, ya, Istriku. Jangan lupa siapin makanan penutupnya juga."
Ocean hanya menggelengkan kepala. Setelah melirik jam tangannya, dia merasa tidak perlu membalas pesan Satrio. Sudah hampir jam 1 dan itu artinya Satrio akan tiba dalam beberapa menit. Baru saja dia memfokuskan kembali perhatiannya ke komputer, pintunya sudah membuka.
"Cean, aku lapar. Mau makan kamu dulu, ya?"
Wes ... wes ... punya bojo begitu amat sih, Cean😁😁
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top