[2] Julukan Untuk Cantika

Cantika berjalan menyusuri koridor sekolah dengan tas di belakang punggungnya. Banyak pasang mata yang melirik ke arah Cantika. Ada pula yang terang-terangan berbisik mengejek Cantika—paus cantik.

"Apa lo, lihat-lihat?" tantang Cantika pada sekumpulan siswa siswi di depan kelas yang dia lewati memandang Cantika dengan tertawa mengejek.

Siswi yang bernama Siska di badge seragam Sma Angkasa melipat tangan di dada memandang penampilan Cantika dari atas sampai bawah.

"Eh, paus, lo makin hari kok makin buntel?"

"Kayak ikan buntal!" Hahaha!" seru salah satu siswa ikut menyahut.

Cantika menghela napas. Ejekan seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hari untuknya. Menangis? Cantika tidak cengeng seperti kebanyakan anak perempuan yang jika diejek atau di bully. Tapi, ini Cantika, yang akan mengeluarkan tanduk jika emosinya sudah ingin meluap.

"Oh, kalau badan gue makin buntal bagus dong. Kok, kalian yang sewot? Itu tandanya gue sehat. Nggak kayak kalian. Kurus, kayak papan penggilas— datar!"

Siska yang tidak terima dikatakan papan penggilas—datar menatap Cantika dengan tatapan sinis. Tangannya mengepal, maju beberapa langkah di depan Cantika.

"Lo berani sama gue?" Siska menunduk menatap Cantika, karena tubuh Siska lebih tinggi.

"Siapa yang takut sama lo?"
Cantika mendongak, dengan tatapan sengit. Cantika menantang Siska.

Alya—sahabat Cantika satu-satunya melihat dari jauh siswa siwi yang mulai berkerumun di koridor. Alya segera menyusul, berlari menuju koridor mendengar desas-desus mereka yang mengatakan jika akan terjadi pertengkaran antara Cantika dengan Siska.

"Cantika, Siska! Kalian mau berantem?"

Alya datang dengan napas yang tersengal-sengal. Siska mundur dua langkah ketika Alya sengaja berdiri di tengah-tengah mereka.

"Al, lo ngapain sih? Gue perlu bikin perhitungan sama dia!" tunjuk Cantika ke arah Siska.

Alya memutar tubuh menghadap Cantika memegang bahunya menenangkan.

"Cantika, tahan amarah lo. Ini bukan saatnya melampiaskan amarah. Apapun yang mereka katakan tentang lo, jangan diambil hati. Mereka hanya iri," nasihat Alya menatap teduh Cantika.

"Tapi, Al, Siska udah keterlaluan! Dia semakin provokasi anak-anak biar ejek gue," protes Cantika.

"Lo nggak akan mati, kalau diejek. Udah, sekarang lo tenang ya. Masuk kelas yuk," Alya menggiring Cantika pergi meninggalkan Siska dan teman yang lain.

"Beda jauh Alya sama Cantika. Alya udah baik, tinggi, putih, badannya langsing kayak model. Kok, mau ya bersahabat sama buntelan paus?"

"Emang sih, cantikan Cantika daripada Alya, tapi, bodynya itu loh!" sambung siswi yang menyahuti ucapan Siska.

Siska tertawa yang diikuti oleh siswa siswi lainnya. Cantika yang mendengar mengepalkan tangan yang ditenangkan oleh Alya.

"Sabar, Cantika," bisik Alya di samping telinga Cantika.

Cantika memanyunkan bibirnya dengan wajah yang sangat geram.

***

Bel tanda istirahat berbunyi sejak beberapa menit yang lalu. Cantika dan Alya merehatkan tubuh di kantin. Pelajaran matematika dengan Pak Satya sangat menguras otak. Belum lagi, penjelasan singkat, padat dan jelasnya seperti biasa membuat Cantika menggaruk kepala. Menunggu bel berbunyi lah yang selalu Cantika harapkan di dalam hati. Alya dan Cantika berpisah, Cantika mencari bangku kosong, dan Alya yang bertugas memesan makanan. Ketika Cantika sampai di kursi meja kantin yang kosong, Cantika menghempaskan bokongnya. Ada-ada saja ucapan yang membuat Cantika geram.

"Eh, eh, lo nggak ngerasa goyang? Ada gempa woi! Ada kingkong!" seru salah satu siswi bernama Vero—salah satu most wanted di sekolah Sma Angkasa.

Cantika yang duduk membelakangi Vero menolehkan kepala sekilas melihat kumpulan siswa yang terkenal most wanted seantero sekolah. Padahal, Cantika rasa mereka tidak ada tampannya melihat kelakuan mereka yang nggak ada akhlak. Tampan sih, tapi jerk!

"Lo kenapa Cantika? Kok, gue baru balik pesanin makanan muka lo udah kayak jeruk purut?"

Alya membawa nampan berisi dua buah mangkuk mie ayam yang di ikuti pelayan kantin membawa dua gelas jus jeruk dingin yang di letakkan di meja. Alya ikut duduk berhadapan dengan Cantika.

"Hai, Al," sapa Vero tersenyum lembut pada Alya.

Alya hanya membalas senyum sekilas, setelahnya mengalihkan pandangan menatap Cantika.

"Al, gue nggak mau makan," tolak Cantika mendorong mangkuk mie ayamnya.

"Kenapa? Biasanya, lo juga suka makan tiap jam istirahat. Kenapa sekarang nggak mau makan? Apa karena—"

"Mau diet kali," celetuk salah satu siswa dari belakang meja Alya dan Cantika.

Alya menghela napas, melihat teman-teman Vero yang ikut mengejek Cantika. Terkadang, Alya sangat kasihan dengan Cantika.

"Nggak usah di dengarin. Omong-omong, katanya ada murid pindahan baru loh," Alya mengalihkan perhatian mencari topik lain yang menarik perhatian Cantika.

Cantika  tidak mendengarkan ucapan Alya. Cantika menatap mangkuk mie ayamnya. Sebenarnya, perut Cantika sangat lapar. Apalagi melihat suwiran ayam di mangkuk yang seakan melambai minta di makan. Alya yang melirik gurat wajah Cantika mengulum senyum.

"Gue tahu, lo lapar. Makan aja, gih. Lo takut apa Cantika?" Alya menuang saus, kecap, serta cabai di mangkuk mie ayamnya.

"Takut makin gendut ...," lirih Cantika cemberut.

"Makan mie ayam nggak akan buat lo gendut. Kalau lo nggak makan, yaudah, sini buat gue aja." Alya menarik mangkuk mie ayam di depannya.

"Eh, enak aja. Mie ayam lo belum habis, punya gue yang lo ambil." Cantika menepis tangan Alya.

Alya hanya mengulum senyum, mulai menyuapkan mie ayamnya ke mulut. Cantika dengan cekatan ikut memberi cabai, saus serta kecap di mie ayamnya karena perut Cantika yang meronta sedari tadi.

***

Rasa lelah yang menggunung membuat Cantika sangat malas bergerak. Jam terakhir pelajaran di sekolah adalah olahraga. Cantika sangat malas jika berurusan dengan olahraga. Apalagi lomba lari. Napas Cantika rasanya habis, ketika disuruh berlari keliling lapangan yang luasnya hampir seperti lapangan bola kaki untuk melakukan pemanasan. Cantika masuk ke rumah dengan masih menggunakan sepatu, duduk di sofa beludru coklat ruang tamu, menyandarkan punggung dengan kepala menengadah.

"Assalammualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab Cantika ketus.

"Ya, ampun Dek. Penampilan lo kenapa kumal begini? Lihat deh, wajah lo kucel banget." Wira memperhatikan penampilan Cantika yang berantakan. Wajahnya yang kusam, baju seragam yang di keluarkan, belum lagi sepatu yang masih melekat di kakinya.

"Nggak usah banyak bacot deh, Bang! Gue haus, ambilin minum dong," perintah Cantika.

"Apa? Lo suruh gue? Jangan mimpi lo! Wira ikut mendudukkan dirinya di sofa depan Cantika.

"Ck, gue minta tolong," dalih Cantika.

"Buat sendiri, gue malas." Wira menyandar di sandaran sofa mengambil ponselnya.

Cantika menghela napas. Cantika memindai sudut rumah, tidak ada tanda-tanda keberadaan sang mama.

"Mama mana Bang?"

"Oh, mama paling pergi arisan. Kenapa?" Wira menatap Cantika mengalihkan perhatian dari ponsel di tangannya.

"Nggak ada." Cantika bangkit dari duduknya menyeret langkah tanpa melepaskan sepatu yang di pakainya menuju dapur.

"Dek, buka dulu sepatu lo!"

Cantika tidak mendengarkan. Cantika menuju dapur. Pandangan Cantika terhenti ketika melihat siluet laki-laki bertubuh atletis dari belakang memakai kemeja jeans sedang membuat sesuatu di bilik kompor. Cantika mengernyit, kata sang abang, mamanya pergi arisan. Sedangkan di dapur siapa? Abangnya tidak memberi tahu siapa saja yang datang ke rumah.

Maling zaman sekarang gitu ya? Masak? Baru tahu gue, maling bisa masak," Cantika terkekeh dalam hati.

Cantika membuka kedua sepatunya, berjalan jinjit mendekati laki-laki yang memunggunginya. Tanpa aba-aba, Cantika memukul kepala laki-laki itu dengan sepatu di tangannya.

"Aduh! Aw! Kepala gue," jerit laki-laki itu mengaduh kesakitan mematikan api kompor.

Laki laki itu menangkis sepatu Cantika yang ingin mengenai kepalanya lagi.

"Lo siapa? Datang-datang main pukul kepala orang," sewot laki-laki itu menatap Cantika sengit.

Cantika membuang sepatunya ke lantai, setelahnya berkacak pinggang, siap memuntahkan amarahnya. Cantika tidak mempedulikan laki-laki di hadapannya yang menaikkan sebelah alis melihat penampilan Cantika.

"Harusnya, gue yang nanya. Lo siapa?"

"Gue—"

Ucapan laki-laki itu terputus, ketika Wira datang menyusul ke dapur mendengar suara gaduh yang berisik.

"Ada apa sih, ribut-ribut? Berisik tahu!" omel Wira berdecak kesal.

"Wir, dia siapa lo?" tunjuk laki-laki itu pada Cantika.

"Dia adik gue, Cantika."

"Namanya nggak sesuai sama orangnya," kekeh laki-laki di hadapan Cantika.

"Heh, kenapa lo ketawa? Jangan sok kegantengan deh, lo! Percuma lo punya wajah tampan kalau kelakuan nggak ada akhlak," cerocos Cantika memungut sepatunya memandang sinis laki-laki di hadapannya.

Cantika memakai sepatunya dengan menginjak seperti memakai sandal menuju kulkas mencari minum dan makanan favoritnya—air es dengan cokelat silverqueen.

"Ck, cita-cita mau kurus, tapi suka ngemil," celetuk Wira.

"Bodo amat!" ketus Cantika pergi dari dapur.

"Adik lo galak banget! Nggak mempan sama pesona gue, ya?"

"Udah luntur kali pesona lo."

Laki-laki itu kembali menghidupkan kompor gas. Wira mendekat, melihat apa yang ingin di lakukan temannya itu.

"Lo masak apa Ori? Serius banget." Wira melihat teplon berisi bumbu bawang merah, bawang putih, suwiran ayam, sosis serta cabai yang sedang diaduk ala koki memasak.

"Nama gue Orion! Bukan Ori, asal lo tahu," ketus Orion.

"Nggak usah sensi, kayak cewek lagi PMS aja lo," goda Wira.

"Ck, nggak usah bahas cewek. Gue lagi malas."

Wira yang merasa tertarik dengan ucapan temannya itu memberondongnya dengan hujan pertanyaan.

"Kenapa? Lo putus dari pacar lo? Udah nggak laku?" sindir Wira dengan asal.

"Lo tahu sendiri lah, mereka semua itu cuma lihat dari fisik dan materi. Nggak pernah tulus sama gue." Orion mengambil nasi di mangkuk yang telah disediakannya menuang ke teplon bergabung bersama bumbu di dalamnya.

"Terus, lo mau apa? Emang rata-rata semua cewek kayak gitu."

"Nggak sih, gue yakin masih ada yang tulus nggak pandang fisik."

Wira menepuk pundak Orion ketika Orion mengaduk bumbu beserta nasi di teplon memggunakan spatula.

"Lo nggak usah banyak mikir, nggak semua cewek begitu. Lo lihat, kan adek gue? Dia aja nggak kagum lihat pesona lo," kekeh Wira tertawa mengejek.

"Gue bosan jalanin hidup gue. Apalagi banyak cewek yang ngejar-ngejar gue, risi. Soal adek lo? Mungkin mata adek lo katarak nggak bisa lihat kegantengan gue!"

"Risiko orang ganteng, mending lo di kejar cewek, nah, gue dikejar doggy biasa aja tuh. Heh, lo jangan hina adek gue! Cantik gitu adek gue, awas lo suka, nggak bakal gue restui," Wira menoyor kepala Orion.

"Nggak banget, gue suka sama cewek galak kayak adek lo! Cantik, tapi gendut," celetuk Orion.

"Yah, kita lihat aja nanti. Dengar sama adek gue, lo bilang dia gendut habis lo," cerocos Wira.

"Suka-suka lo deh, kita udah temanan lama. Tapi, sikap lo masih aja sama. Nggak berubah," kata Orion menuangkan nasi gorengnya yang sudah jadi ke piring dua porsi.

"Bukan Wira nama gue, kalau gue berubah," kekeh Wira membawa  piring satu porsi nasi goreng keluar dari dapur.

Orion hanya menggeleng.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top